Sejak kecil, saya punya kemampuan mendapatkan energi berlebih dari Semesta; baik energi positif maupun negatif. “Kelebihan” ini membuat teman-teman kadang menjuluki saya sebagai cenayang atau orang malang yang energinya kalang kabut gegara bisa mencecap energi lain di tengah malam. Seperti halnya malam sebelum tragedi peledakan bom di Surabaya, hati saya berkemelut. Saya menangis sejadinya dan merasakan bahwa sesuatu yang besar di negeri ini akan terjadi. Lalu, BOOM!
Apakah peristiwa ini membuat saya berhenti gelisah? Tidak. Saya semakin gelisah, apalagi setelah keesokan harinya melihat timeline media sosial saya dipenuhi dengan tagar #KamiTidakTakut dan kutukan terhadap terorisme dan pelakunya. Tidak sedikit orang yang menilai para pelaku teror sebagai “bukan manusia”. Lalu, semanusia apakah kita?
#KamiTidakTakut, benarkah?
Pertama, saya akan membahas tagar #KamiTidakTakut yang begitu viral. Apakah kita benar-benar tidak takut atau justru tagar itu merupakan salah satu mekanisme pertahanan kita yang sebenarnya merasa terancam dengan kejadian ini? Apa pun alasannya, saya pikir, jika kita menganggap mereka [baca: pelaku teror] sebagai bukan manusia, tagar #KamiTidakTakut bukan ancaman balik bagi mereka sebab dengan melakukan aksi bom bunuh diri ini, mereka jelas-jelas tidak merasa terancam dengan sekadar tagar. Malah, bisa jadi tagar tersebut semakin membuat mereka bersemangat untuk kembali melancarkan aksi teror karena merasa tertantang. Bisa jadi lho, ya. Bukan berarti saya tidak mendukung masyarakat lho, ya. Tapi, saya pikir, tagar ini belum terlalu kuat merepresentasikan pemikiran kita terhadap terorisme.
Ngomong-ngomong, ada yang tahu nggak siapa yang pertama kali menggagas tagar ini? Yakin, kamu tidak takut dengan terorisme? Yakin, kamu tidak takut dengan peledakan bom yang mungkin bisa terulang setelah mereka yang terjebak pada ideologi itu merasa semakin tertantang setelah melihat tagar #KamiTidakTakut di mana-mana? Kalau saya sih takut.
Tapi, apa pun alasannya, yang jelas saya tetap melihat bahwa tagar ini sebenarnya dimaksudkan agar seluruh WNI bisa satu visi-misi dalam mengentaskan terorisme. Jadi, saya setuju sih kalau itu tujuannya.
Kutukan dan dehumanisasi terhadap pelaku teror
Kedua, saya tergelitik untuk membahas soal kutukan dan dehumanisasi terhadap pelaku teror yang semakin membuat kita terlihat sebagai masyarakat yang ambekan dan mudah tersulut emosinya. Kenapa? Karena menurut saya, kutukan bukan solusi yang tepat untuk membuat pelaku teror menghentikan ideologinya. Menurut saya lagi, kutukan justru membuat mereka semakin yakin bahwa kita adalah musuh yang wajib mereka lawan.
Sementara itu, dehumanisasi terhadap pelaku teror pun berkobar di mana-mana; dari mulai pernyataan soal “teroris bukan manusia” hingga “teroris adalah iblis”. Sebelumnya, kita ngobrol sedikit dulu soal dehumanisasi, ya. Kalau kita lihat di KBBI, dehumanisasi adalah penghilangan harkat manusia. Kalau ditafsirkan lebih jauh lagi, dehumanisasi bisa dibilang perbuatan yang dilakukan dengan menganggap pihak yang didehumanisasi sebagai bukan manusia.
Di satu pihak, para pelaku teror memang mendehumanisasi masyarakat di sekitarnya sebagai bukan manusia sehingga mereka bisa dengan kejam membantai semua orang yang dianggapnya sebagai “bukan manusia” atau “memiliki harkat dan derajat yang lebih rendah dari mereka”. Lalu, apakah kita akan balik mendehumanisasi mereka sebagai “bukan manusia” untuk mengakhiri situasi ini?
Menurut saya, solusi terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengakhiri situasi “peperangan” ini adalah dengan memanusiakan mereka, bukan mendehumanisasi mereka. Jika kita lihat mereka sebagai manusia, kita mungkin bisa menemukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah kita sangka.
Begini, tahun 2016, saya pernah berbincang-bincang dengan tiga orang mantan pelaku teror asal Surakarta. Mereka mengemukakan alasan kenapa ikut dalam gerakan terorisme. Satu orang menjawab “karena faktor ekonomi”, yang satu menjawab “karena doktrinisasi soal jihad”, dan satunya lagi menjawab “karena diajak kawan”. Dari tiga orang mantan pelaku teror, kita bisa menemukan motif yang sangat manusiawi.
Pertama, soal ekonomi. Mereka yang menjadi pelaku teror karena motif ekonomi cenderung lebih mudah menyerah setelah mengetahui bahwa tidak ada kemakmuran ekonomi yang dihasilkan terorisme. Tapi, kita juga tidak bisa menyangkal bahwa negeri ini belum cukup mampu untuk bisa memberikan kesejahteraan secara ekonomi kepada masyarakatnya.
Kedua, soal ideologi. Mereka yang menjadi pelaku teror karena motif ideologi cenderung menjadi intoleran terhadap keyakinan lain karena melihat ideologi mereka sebagai utopia. Dalam bayangan mereka, hanya dengan menegakkan kekhilafahan lah maka negeri ini akan makmur, damai, dan sentosa.
Ketiga, soal pendidikan. Pendidikan rendah membuat sebagian besar orang mudah tergiur dengan ajakan orang lain, sedangkan pendidikan tinggi bisa bikin orang jadi keblinger.
Dari ketiga motif di atas saja, kita sudah bisa melihat bahwa para pelaku teror adalah manusia yang merasakan ketidakadilan, ketidakpuasan, dan keputusasaan. Jika bertemu dengan tiga hal itu, apakah kita masih mampu mendehumanisasi mereka? Apakah kita pernah berada di posisi mereka harus susah payah mencari nafkah, mencari petunjuk agama yang benar, dan mencari cahaya penyemangat hidup?
Semakin malam, semakin saya berpikir bagaimana cara memahami situasi yang kompleks ini. Hingga pada saat menjelang tidur, satu pertanyaan muncul di benak saya: jangan-jangan, kita yang lebih dulu mendehumanisasi mereka? Jangan-jangan, kita yang tidak pernah melihat mereka. Kita yang menganggap mereka baik-baik saja, sedangkan mereka sedang kelimpungan mencari makan dan makna. Kita yang sibuk dengan surga kita masing-masing sehingga lupa bahwa di belahan dunia yang lain ada sekelompok orang yang menanti pencerahan tentang negara yang makmur dan sejahtera. Kita yang mencela jika mereka punya pendapat dan ide yang berbeda. Kita yang menilai sesuatu dari materi. Kita yang menilai bahwa kebenaran ada di tangan kita. Dan jangan-jangan lainnya yang muncul berhamburan di benak saya.
Iya, jangan-jangan kita yang lupa bahwa kita pernah mengabaikan mereka. Lalu, ketika sekarang mereka muncul untuk “memperlihatkan eksistensi mereka”, dengan bengis kita mengatakan bahwa mereka bukan manusia. Bahwa mereka adalah iblis. Lalu, kita pun lupa bahwa iblis pernah menjadi malaikat yang dimuliakan Allah sebelum mereka diminta bersujud pada Adam.
Apakah kita sudah menjadi sebenar-benarnya manusia?
ketidakpedulian, kerakusan, individualis, memang itu akar masalah. ideologi, agama, memang ada ideologi teror? emang ada agama yg mengajarkan teror?
ReplyDeleteBetul. Terorisme bukan ideologi, melainkan metode yang digunakan untuk sebuah kelompok yang menganggap ideologi mereka sebagai "yang paling benar". Tentu kita semua tahu bahwa tidak ada satu pun agama di dunia yang mengajarkan teror. Terima kasih atas pendapatnya :-) Semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik untuk bisa memahami berbagai permasalahan di lingkungan kita.
DeleteKak aku jadi salah fokus nih. Fokusku malah ada di poin pengantar alias paragraf satu. Sampai sekrangkah hal itu masih dialami? merasakan energi positif dan negatif dari alam ini.
ReplyDeleteHalo, #SahabatSufi! Betul, ada orang-orang yang memang diberi kelebihan untuk bisa merasakan energi negatif dan positif alam semesta. Itulah yang oleh para peneliti psikologi disebut sebagai empath. Untuk tahu lebih lanjut soal empath, silakan baca artikel berikut: http://www.perempuansufi.com/2019/11/apakah-kamu-seorang-empath.html
DeleteTerima kasih :-)