“Kenapa harus menikah jika akhirnya bercerai?” beberapa orang seringkali mencetuskan pertanyaan tersebut pada pihak yang bercerai dengan alasan bagaimana pun koyaknya biduk rumah tangga, pernikahan tetap wajib dilanggengkan.
Di beberapa negara, perceraian adalah hal yang tabu dan menjadi janda adalah malu. Bagi saya, tabu dan malu saat memutuskan untuk bercerai adalah tirani bagi kedua belah pihak untuk melanggengkan kebahagiaan. Lantas, jika memang sudah tidak bahagia, apa pernikahan layak diteruskan? Hikmah semacam ini pun tidak serta-merta datang begitu saja. Dibutuhkan waktu yang panjang dengan jalan yang berkelak-kelok untuk saya bisa sampai pada pemahaman ini.
Kali ini, saya tidak akan berbicara soal hukum perceraian menurut agama apa pun. Saya hanya ingin berbagi dengan seluruh perempuan di dunia untuk kembali menyoal tabu perceraian. Soal bagaimana menyikapi perceraian tanpa harus menuai kebencian atau tentang bagaimana seorang perempuan yang telah bercerai tidak lagi dijadikan bahan olok-olok publik.
Mungkin, banyak dari kita, terutama orang Indonesia yang memutuskan hubungan baik dengan mantan pasangan hanya karena hubungan romantis telah berakhir. Tapi, bagi saya, ada romantisme lain yang hadir ketika romantisme antara dua insan telah berakhir. Tetap membangun hubungan baik dengan mantan pasangan justru akan menumbuhkan romantisme baru dalam semesta yang lebih luas daripada sekadar aku-dan-kamu. Hubungan seperti ini justru menjadikan hidup lebih bermakna dan pelajaran-pelajaran hidup pun tak sia-sia.
Beberapa waktu lalu, saya sempat mem-posting perihal hubungan saya dengan mantan suami saya. Bagi beberapa orang, postingan saya menjadi sesuatu yang inspiratif karena dianggap sebagai keberanian untuk mengemukakan pendapat dan tidak takut mendapat stigma. Bagi sebagian orang, postingan ini sudah melabrak tabu dan mendekonstruksi etika bermedia sosial. Padahal, niat saya memposting hal tersebut tentu bukan untuk mengumbar permasalahan pribadi, melainkan untuk menyelenggarakan keselamatan publik. Iya, supaya publik jauh dari godaan setan untuk bergosip dan membuka cakrawala berpikir publik untuk tidak melulu melihat perceraian sebagai cela dan perlombaan untuk menjadi benar dan menjadikan mantan pasangan sebagai pihak yang bersalah.
Perceraian tidak harus membuat siapa pun bersembunyi di balik selongsong kesedihan atau kebahagiaan yang hipokrit. Menyoal perceraian bukan menguak aib, melainkan berbagi pelajaran tentang bagaimana menyikapi sebuah perpisahan. Anggapan bahwa perceraian adalah hal yang tabu membuat banyak orang merasa malu pasca bercerai. Bahkan, tidak sedikit orang yang justru tidak berkembang secara mental hanya karena mendapatkan stigma perceraian.
Kita mungkin sering berbicara soal bagaimana melanggengkan pernikahan, membuat biduk rumah tangga menjadi istana dengan pintu-pintu surga, mengenyahkan kebosanan ketika pasangan tak lagi menarik, atau menyoal remeh-temeh pernikahan yang bisa jadi pertikaian besar jika tidak disikapi dengan arif. Tapi, pernahkah kita fokus pada soal bagaimana menyikapi perceraian jika suatu waktu hal itu terjadi? Tidak. Ya, karena itu bukan bagian dari ekspektasi kita. Namun, jika hal itu terjadi, inilah yang ingin saya bagi.
Perceraian bukan tentang siapa yang menang dan kalah
Banyak dari pasangan yang bercerai berusaha untuk menjatuhkan mantan pasangan hanya karena ego dan kebencian akibat perasaan-perasaan yang tidak terkehendaki. Tidak sedikit pula orang yang turut menuai kebencian setelah mendapati orang terdekat mereka berpisah dengan pasangannya. Saya sendiri pernah merasakan kebencian-kebencian seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa pernikahan bukan soal mana yang lebih banyak berbuat salah dan tidak. Begitu juga dengan perceraian.
Ini hanya soal romantisme yang waktunya telah habis. Perceraian bukan soal mana yang benar dan salah, melainkan tentang bagaimana satu sama lain bisa belajar dari pertemuan dan perpisahan. Jika kedua belah pihak bisa sama-sama menyingkirkan ego untuk merasa benar, hubungan baik akan terbangun dengan sendirinya dan perceraian pun bukan lagi cela yang memalukan, apalagi membuat seseorang terjerembab pada jurang depresi.
Perceraian bukanlah kegagalan
Bukan rahasia jika kebanyakan orang menyikapi perceraian sebagai kegagalan. Apakah pernikahan yang berlangsung seumur hidup tanpa kebahagiaan layak dinyatakan sebagai kesuksesan? Menurut saya, ini tidak ada kaitannya dengan kegagalan dan kesuksesan.
Pernikahan adalah hal yang sakral dan personal sehingga tidak layak dinilai dengan keduniawian layaknya olimpiade sains atau olahraga. Oleh karena itu, saya senantiasa melihat perceraian dari sudut pandang positif di mana setiap orang punya cerita dan hikmahnya masing-masing. Tapi, bukan berarti saya meminta kamu yang tidak bahagia dalam pernikahan untuk bercerai. Sebisa mungkin, bentuklah kebahagiaanmu sendiri dengan cara-cara yang baik. Jika memang jalannya sudah buntu, hindari berpikir bahwa perceraian adalah kegagalan.
Di berbagai belahan dunia, masih banyak orang yang menganggap perceraian sebagai kegagalan. Kalau pun kamu masih meminang asumsi yang satu ini, ingatlah bahwa setiap orang pernah mengalami kegagalan; baik dalam pendidikan, pekerjaan, percintaan, maupun hal lainya. Mencela kegagalan sama halnya dengan mencela kemanusiaan.
Perceraian adalah bagian dari perjalanan spiritual
Sebagian orang bercerai karena masalah fisik, sebagian lagi karena masalah finansial, sebagian lagi masalah etika dan moral, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang membuat seseorang akhirnya memutuskan untuk bercerai. Namun, menurut saya, pernikahan lebih dari sekadar fisik, finansial, etika, dan moral. Pernikahan bersifat spiritual dan sejatinya, tidak ada kemurnian spiritual yang lahir dari paksaan. Untuk mencapai titik puncak makrifat, manusia terlebih dulu harus melampaui perjalanan-perjalanan spiritual yang berisi kegagalan dan kesuksesan itu sendiri.
Perceraian adalah fase perjalanan baru dalam hidup
Saat memutuskan untuk bercerai, hidup saya kalang kabut. Pendapat bahwa perceraian membuat dunia seolah runtuh benar adanya. Pekerjaan saya tercecer, kehidupan sosial saya tidak berjalan dengan baik, dan kondisi kesehatan saya pun ikut memburuk. Beberapa bulan saya memikirkan apakah perceraian akan membawa kebaikan pada saya; bagaimana saya bisa hidup tanpa pendamping di sisi saya; atau apa yang harus saya lakukan setelah bercerai?
Ternyata, itu hanya sekelumit perasaan yang muncul pada saat kamu menemukan perubahan. Perceraian justru bisa membuat seseorang semakin memahami diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan begitu, perceraian justru dapat menjadi kekuatan yang muncul pasca chaos dalam diri.
Beberapa bulan setelah saya menutup diri dari lingkungan, saya mulai kembali memikirkan masa depan saya. Saya kembali bersosialisasi, melakukan praktik baik untuk orang-orang sekitar saya, melakukan pekerjaan secara profesional, menyenangkan diri saya sendiri, dan tentu saja berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Sejak saat itu, saya memutuskan untuk membuka diri dan berbagi dengan yang lain karena selongsong kesedihan pasca perceraian hanya akan membuat kita merasa semakin tertekan dan kesepian. Jika kamu sekarang sedang mengalaminya, kamu tidak sendirian! Berbagilah dan sebarkan praktik baik di sekitar kamu.
Banyak kewalian wanita dicapai lewat suami yang brengsek, sebagaimana banyak kewalian pria dicapai lewat istri yang cerewet...
ReplyDeleteBrengsek & cerewet itu adalah alat penghias bagi para calon 'pengantin Allah' lewat jalur pernikahan...
Tidak berlebihan ketika sang Nabi Agung bersabda, "setengah agama terpenuhi lewat pernikahan".
Make sense, karena ujian2 terberat manusia sebagian besar ada dalam pernikahan, itupun jika mereka mau bersabar....
Pernikahan adalah jalan tol menuju-Nya...
"Aku menyertai orang yang bersabar"...Tuhan menyertai istri yang menerima dibrengseki suaminya...Dia bersama suami yang rela "digagahi" istrinya. 😁
Wallahu 'alam bishowab.