Saya lahir dari lingkungan keluarga yang konservatif, yang di dalamnya perempuan tidak punya kebebasan untuk memilih atau memutuskan. Salah satunya, perempuan di keluarga saya tidak boleh pergi sendirian. Kalau nggak diantar ayah atau adik/kakak laki-laki, ya terpaksa harus cari teman perempuan supaya saya bisa pergi atau sekadar hang out bareng teman-teman. Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun sehingga kemampuan diri saya untuk “berdiri sendiri” semakin menurun.
Saya terbiasa pergi diantar dan pulang dijemput karena keluarga memperlakukan saya bak tuan putri yang pergi ke mana-mana harus selalu dikawal. Ini membuat saya semakin lama semakin takut berjalan sendirian. Bahkan, untuk sekadar menempuh perjalanan Bandung ke Jakarta pun saya harus pergi ke toilet berkali-kali supaya bisa mengusir rasa grogi. Padahal, di bis atau kereta yang saya tumpangi pun kan nggak ada yang harus saya grogiin, ya?
Oke, skip. Lanjut!
Tapi, tahun ini sepertinya menjadi titik balik bagi saya. Awalnya, saya berpikir bahwa saya harus berdiam diri di rumah, menurut apa kata orang tua, menikmati kebersamaan bersama keluarga, dan sesekali mengingat hal-hal melankolis dalam kehidupan saya kalau jam galau di malam hari sudah tiba.
Seiring berjalannya waktu, saya merasa diri saya malah tenggelam dalam kesendirian. Semakin berdiam diri di rumah, rasa galau semakin mendurja. Semakin menurut apa kata orang tua, kehidupan sosial saya semakin sempit. Semakin setiap malam mengingat momen-momen tentang hal menyedihkan dalam hidup, semakin saya tidak bisa bergerak maju. Semakin lama menikmati kebersamaan dengan keluarga, saya semakin tidak mengenal diri saya sendiri karena setiap kali berkumpul dengan mereka, saya harus pura-pura bahagia. Alasannya, supaya mereka tidak ikut sedih.
Lalu, pada suatu hari, saya putuskan untuk keluar dari zona aman. Di suatu malam, saya iseng buka-buka aplikasi traveling dan cek harga tiket pesawat ke Kota Padang. Tanpa ragu, saya pun langsung membeli tiket pesawat untuk pergi ke kota tersebut. Keesokan harinya, saya mulai mengepak barang dan bilang pada kedua orang tua saya bahwa saya punya pekerjaan yang harus dilakukan di sana.
Mendengar hal itu, orang tua saya terlihat jelas bahwa mereka sangat khawatir. Tapi, dengan keteguhan hati, saya bilang pada mereka bahwa saya sudah dewasa. Sudah waktunya saya memutuskan apa yang harus saya lakukan dan ke mana saya harus pergi. Dengan sedikit menyerah, ibu saya pun akhirnya merelakan keberangkatan saya.
Lalu, keesokan harinya, saya pun terkejut karena ternyata, dengan hampir enam kali bolak-balik ke toilet, saya bisa menyingkirkan kecemasan saat berada di bandara. Dalam waktu kurang lebih dua jam, saya pun sampai di Kota Padang. Dan beginilah perjalanan saya tentang “Sendiri yang Mengasyikkan di Kota Padang”.
Menginap di penginapan backpacker
Saya tidak punya cukup uang untuk menyewa hotel yang murah sekali pun sehingga saya memutuskan untuk mencari penginapan backpacker di kota ini. Hasilnya, saya mendapatkan kamar backpacker di Jalan Belakang Tangsi dengan tarif per malam hanya Rp90 ribu. Cukup murah, kan? Itu pencapaian pertama saya ketika sampai di Kota Padang. Kamarnya memang tidak luas, tapi cukup bersih dan nyaman untuk dihuni karena di dalamnya terdapat AC dan TV kabel.
Museum Adityawarman dan sejarah literasi
Museum Adityawarman |
Perjalanan pertama saya dimulai dengan mengunjungi Museum Adityawarman. Di museum ini, saya seperti napak tilas karena melihat berbagai macam media massa dipampang di setiap sudut museum. Hal ini mengingatkan saya semasa kuliah dulu, waktu dosen saya bilang kalau banyak cendekiawan dan sastrawan lahir dari ranah Minang. Bahkan pada pertengahan abad lalu, banyak orang Minang yang ambil bagian dalam proklamasi negara RI, seperti halnya Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Yamin, dan Tan Malaka.
Mengutip Tirto.id, pada masa kolonial Hindia Belanda, belum ada sekolah tinggi di Minang sehingga pelajar yang sudah lulus SD semacam Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau Europeesche Lagere School (ELS) dapat meneruskan pendidikan ke sekolah menengah kolonial.
Kalau ingin jadi guru, tinggal masuk ke Fort de Kock di Kota Bukittinggi. Setelah menempuh pendidikan, kebanyakan masyarakat Minang pergi merantau untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi di wilayah Pulau Jawa. Itulah sebabnya, tradisi rantau orang Minang masih bertahan hingga saat ini. Sementara itu, sejarah literasi dan cendekiawan dari daerah ini bisa dilihat di Museum Adityawarman.
Di museum ini, kamu bisa menemukan berbagai macam jenis media massa dalam bentuk koran hingga majalah. Kamu juga bisa melihat bagaimana perkembangan peradaban Suku Mentawai dan masyarakat literasi Minang di museum ini.
Untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan literasi Minang dan Indonesia di museum ini, kamu hanya perlu membayar tiket masuk sebesar Rp3 ribu dengan jam operasional pukul 08.00 sampai 16.00 WIB pada hari Selasa sampai Minggu.
Masjid Raya Sumatera Barat
Masjid Raya Sumatera barat |
Setelah mengunjungi Museum Adityawarman, saya bergegas pergi ke Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar) yang terletak di Jalan KH Ahmad Dahlan, Kecamatan Padang, Kota Padang. Ini adalah masjid terbesar di Sumbar dengan arsitektur khas Minangkabau yang memiliki empat sudut lancip dan kaligrafi dinding yang sangat detail. Masjid ini dirancang oleh Rizal Muslimin yang memenangkan sayembara desain di berbagai negara pada 2007.
Uniknya lagi, masjid satu ini juga merupakan bangunan yang dirancang dengan menyesuaikan kondisi geografis Kota Padang yang rentan terhadap gempa sehingga bisa aman dari guncangan gempa berkekuatan hingga 10 skala richter.
Berjalan-jalan sendiri mengelilingi masjid yang satu ini cukup menyenangkan. Selain bisa menikmati arsitektur megahnya, di sini juga kamu bisa menikmati suasana kota yang sepi, bersih, dan segar.
Menikmati kuliner di Pantai Purus
Senja di Pantai Purus |
Kalau dibandingkan dengan pantai-pantai indah di wilayah kepulauan atau Indonesia bagian timur, pantai ini memang tidak terlalu indah. Ombaknya biasa saja, airnya tidak terlalu jernih, dan pasirnya pun bukan pasir putih. Tapi, ada satu hal yang menarik di pantai ini. Kamu bisa mencoba berbagai kuliner menarik seperti kerang, keripik pedas dengan bumbu kare, dan kelapa muda. Satu lagi, senja. Menikmati senja sendirian ternyata bukan ide yang menyedihkan. Malah, kamu bisa senyum-senyum sendiri melihat bagaimana langit yang kelabu berubah menjadi jingga.
Wah, ceritanya masih panjang. Tapi, saya sudah lumayan capek menulis dan kamu juga pasti sudah mulai ngantuk ya bacanya? Kita lanjut perjalanan “sendiri yang mengasyikkan” ini di tulisan selanjutnya, ya.
See you!
Comments
Post a Comment