Sejak remaja, saya tertarik untuk mengunjungi wilayah Aceh. Tapi, baru tahun ini saya bisa merealisasikannya. Tanpa sengaja, saya membeli tiket keberangkatan ke Banda Aceh pada saat Bulan Ramadan. Alhasil, mau tidak mau, ya safarinya sambil puasa. Tapi, berkat jalan-jalan di Bulan Ramadan inilah saya bisa melihat wajah Kota Banda Aceh yang lain. Jadi, apa saja yang saya temukan selama berjalan-jalan di kota ini?
Orang tua yang bugar
Rumoh Aceh di Museum Aceh |
Beberapa kota yang saya kunjungi seringnya menempatkan anak muda, atau setidaknya orang dewasa muda, untuk bertugas di museum. Tapi, di Museum Aceh, saya menemukan dua orang perempuan paruh baya yang bertugas sebagai penjaga Rumoh Aceh. Kehadiran dua perempuan ramah tersebut membuat suasana museum semakin seperti rumah sehingga saya sebagai wisatawan tidak merasa canggung berada di sana. Dengan nuansa rumah adat yang sangat nyaman dan tuan rumah yang baik, puasa pertama di Aceh pun berjalan lancar.
Satu hal yang menarik dari kota ini adalah banyaknya orang tua paruh baya yang masih bugar dan tidak takut berbicara dengan orang asing. Beberapa kali saya berhenti di suatu tempat, ketemu orang tua, pasti diajak ngobrol ngalor-ngidul. Ada yang bercerita soal Aceh tempo dulu, ada yang bercerita soal bagaimana tsunami membuat mereka terpuruk dan harus bangkit, sampai cerita tentang kehidupan mereka yang masih bahagia meskipun ditinggal merantau oleh anak-anak mereka. Saat ngobrol dengan mereka, saya tahulah bahwa rahasia orang tua bugar di kota ini adalah berserah diri dan bersikap baik kepada sesama.
Jam berkunjung dan waktu salat
PLTD Apung Aceh |
Selain Museum Aceh, saya juga mengunjungi Museum Tsunami dan Monumen PLTD Apung. Saya gagal berkunjung ke dua tempat tersebut pada hari pertama karena jam operasional museum dan monumen saat bulan puasa berbeda dari biasanya. Jika biasanya museum dan monumen tutup pada jam 7 malam, maka saat Bulan Ramadan, kedua objek wisata tersebut tutup pada jam setengah 4 sore.
Selain itu, kamu juga tidak akan bisa mengunjungi seluruh objek wisata di wilayah Aceh pada waktu salat. Semua objek wisata akan tutup pada jam 12 dan buka kembali pada jam 2, lalu tutup lagi pada jam 4 sampai 5 sore. Sementara itu, pada saat bulan puasa, kamu tidak akan bisa membudidayakan bukber di sana karena semua tempat makan tutup dari jam 6 sore sampai jam setengah 10 malam. Jadi, kamu yang berniat untuk pergi ke Aceh sebaiknya mempertimbangkan waktu yang tepat untuk berkunjung ke objek wisata saat berlibur di sana, ya!
Orang-orang baik dan tidak serakah
Masjid Baiturrahman |
Pada hari pertama, saya terjebak hujan saat pulang berkunjung dari masjid Baiturrahman sehingga saya memutuskan untuk berteduh di seberang masjid sampai hujan mereda. Saat berteduh, muncul seorang kakek di samping kiri dan seorang bapak-bapak di samping kanan saya. Pada awalnya, saya jaga jarak dengan mereka karena takut kalau-kalau mereka orang jahat.
Tapi, asumsi saya salah. Mereka adalah orang baik yang bersedia mengantar saya keliling kota dengan becak motor yang mereka punya tanpa menargetkan tarif yang harus saya bayar. Si kakek menyuruh anaknya-yang-bapak-bapak itu untuk mengantar saya pulang ke penginapan. Sesampainya di penginapan, ketika saya tanya, “Berapa, Pak?” beliau hanya menjawab, “Berapa saja. Seikhlasnya.”
Bukan cuma hari itu, keesokan harinya pun saya bertemu dengan bapak-becak-motor yang juga menjawab “berapa saja, seikhlasnya” saat saya bertanya berapa tarif becak motornya. Mendengar jawaban seperti itu, saya bukannya senang, tapi malah bingung. Orang sini terlalu baik apa gimana, ya. Kok sampai jual jasa pun nggak pakai tarif!
Jawabannya baru ketemu setelah saya membeli oleh-oleh khas Aceh di pusat belanja PLTD Apung. Selain mendapat diskon dan bonus souvenir, saya juga mendapat bonus senyum-salam-sapa-antar dari semua orang yang berjualan di sana. Kebanyakan dari mereka menjual souvenir dengan harga murah. Bukan karena tidak laku atau tingkat perekonomian mereka yang rendah, tapi karena mereka bilang, “Segitu sudah cukup. Nggak usah serakah.”
Ketentuan syariah dan makna toleransi yang sebenarnya
Saya kira, pakai penutup kepala atau kerudung dengan pakaian tertutup saja sudah cukup. Ternyata, baru sampai ke Banda Aceh, seorang wartawan yang tidak sengaja saya temui di perjalanan menuju masjid Baiturrahman bertanya, “Nggak baca-baca dulu tentang Aceh sebelumnya?”
Saya pun menjawab, “Baca, kok. Saya juga udah bikin itinerary selama di sini.”
Dia pun tertawa sambil menjawab, “Nanti kalau masuk ke masjid harus pakai kain atau rok, dan bajunya nggak boleh pakai yang ketat.”
Bagi sebagian orang, mengenakan baju muslimah saat datang ke masjid adalah satu keharusan. Tapi, bagi sebagian yang lain, hal itu justru melanggar hak asasi. Tuhan saja maha menerima, kenapa manusia masih bikin peraturan seperti itu? Mungkin begitu ya sebagian orang berpikir. Saya pun pernah berpikir demikian, “Kenapa pakai jilbab harus dipaksa?”
Tapi, sejak saya datang ke Banda Aceh dan bertemu langsung dengan masyarakatnya, saya punya pandangan lain. Datang ke Aceh dengan menggunakan pakaian tertutup adalah bagian dari toleransi kita terhadap umat Islam yang ada di sana. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Jika kita bisa menghargai nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Hindu yang ada di Bali, kenapa kita menganggap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Islam yang ada di Aceh sebagai suatu pelanggaran HAM dan radikalisme? Mungkin, kita harus mulai mengkaji kembali makna toleransi yang sebenarnya.
Ya Allah, pengen ke Aceh. Ini salah satu kota impian saya ðŸ˜❤
ReplyDeleteSemoga segera terwujud ya, Kak ❤
Delete