Saya bukan orang yang terbiasa menonton film di bioskop ketika sedang booming. Bukan karena tidak tertarik, tapi lebih pada kebiasaan ngirit selagi muda yang terbawa sampai sekarang. Toh, nanti juga filmnya tayang di TV atau nanti juga bisa streaming. Kebetulan, saya baru bisa menonton film “Ini Kisah Tiga Dara” kemarin malam.
Film yang diadaptasi dari film “Tiga Dara” ini cukup menarik perhatian saya karena diadaptasi dari film legendaris karya Usmar Ismail dan beberapa tokohnya diperankan oleh aktris dan aktor yang saya sukai.
Berbeda dengan “Tiga Dara” yang ceritanya lebih sederhana dan tentu saja disajikan dengan latar kebudayaan pada zamannya (1950-an), “Ini Kisah Tiga Dara” justru lebih kompleks dan kontemporer. Film yang disutradarai Nia Dinata ini jauh lebih merepresentasikan konsep integritas perempuan dalam dunia modern, beserta tahapan yang mesti dilalui oleh perempuan untuk sampai pada tahap “berjiwa bebas”.
Bagi saya, menonton “Ini Kisah Tiga Dara” tidak hanya memberikan nuansa modern pada alur dan latar, tapi juga pada makna. Secara semiotis, ketiga anak gadis beserta eyang dalam film ini justru merepresentasikan tahapan perubahan pemikiran perempuan dari ranah strukturalisme hingga postmodernisme.
Tokoh eyang dalam film ini merepresentasikan strukturalisme, yang di dalamnya kosep matriarki dalam kehidupan sosial tidak jauh berbeda dengan konsep patriarki. Keduanya sama-sama membentuk struktur bahwa “perempuan harus begini-begitu” dan ini itu banyak sekali. Lalu, bagaimana dengan tokoh ketiga dara?
Tokoh 3 dara dalam "Ini Kisah Tiga Dara" |
Gendis di antara perbatasan
Tokoh Gendis sebagai anak pertama yang diperankan oleh Shanty merupakan sosok yang ulet, dan terstruktur, namun berada di antara hilir-mudik strukturalisme dan modernisme. Hal itu terlihat dari keengganan Gendis untuk mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Yudha. Di satu sisi, ia berada pada garis strukturalisme yang cenderung hipokrit dan mengedepankan nilai-nilai kebudayaan seorang perempuan untuk “menunggu” jodoh datang dengan sendirinya. Namun, di sisi lain, ia juga berada pada garis modernisme yang melawan perjodohan karena menganggap bahwa perempuan juga memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang bisa membuatnya bahagia.
Dalam film ini, hampir tidak ada adegan mesra antara Gendis dan Yudha, yang dalam persepsi semiotis saya mengarah pada nilai-nilai kebudayaan timur mengenai cara pandang seorang gadis terhadap hubungan romantisme. Bahkan di beberapa adegan terakhir, Gendis menolak untuk berciuman dengan Yudha di tempat umum karena menganggapnya sebagai tabu.
Terlepas dari satu adegan yang menurut saya bertolak belakang dengan sisi strukturalis yang melekat pada tokoh Gendis (adegan saat Gendis membuang ikan setelah terserempet motor Yudha), namun saya tetap melihat Gendis sebagai representasi kebudayaan yang berada di perbatasan antara strukturalisme dan modernisme.
Ella dalam bingkai modernisme
Ella, anak kedua yang diperankan oleh Tara Basro, digambarkan sebagai sosok yang ceria, agresif, dan berani mengambil risiko. Sosok Ella dalam film ini jelas sangat menggambarkan modernisme. Ia tidak percaya pada kepercayaan lokal soal “melangkahi” kakak perempuan dan percaya bahwa ia memiliki kesempatan yang sama dengan yang lain (Gendis) untuk mendapatkan apa yang dia inginkan (Yudha). Ia juga sangat pro terhadap emansipasi, yang direpresentasikan dengan adegan saat ia mendekati Yudha terlebih dahulu.
Ella adalah sosok yang sangat terbuka sehingga ia merasa terhina setelah mengetahui bahwa Gendis telah berhubungan dengan Yudha di belakangnya. Hal ini jelas memperlihatkan sisi “perlawanan” Ella sebagai perempuan modern yang selalu ingin segala sesuatu berjalan secara transparan dan tidak hipokrit. Dalam beberapa scene, terlihat adegan berciuman antara Ella dan Bima yang merepresentasikan modernisme melanggar tabu strukturalisme.
Bebe di ruang postmodernisme
Postmodernisme sering kali dikaitkan dengan kritik terhadap modernisme dan menolak arogansi setiap teori karena menganggap setiap teori memiliki tolak pikir masing-masing. Dalam film ini, Bebe sebagai anak ketiga yang diperankan oleh Tatyana Akman, jelas sekali merepresentasikan pemikiran pascamodern yang mengarah pada kebebasan berpikir dan bertindak.
Sejak awal, Bebe sudah diperlihatkan sebagai sosok yang bebas karena berhubungan dengan Erick yang notabene adalah warga negara asing. Hal ini memperlihatkan bahwa akulturasi budaya bukan masalah baginya. Begitu juga dengan adegan mesra dan banal antara Bebe dan Erick yang diperlihatkan secara jelas merepresentasikan kebebasan Bebe sebagai perempuan dalam memperlakukan dan bertanggung jawab atas tubuh dan pikirannya sendiri. Bahkan, di akhir film, diperlihatkan adegan Bebe yang menolak lamaran Erick setelah memberitahukan bahwa dirinya hamil.
Usai menonton film ini, muncul satu pertanyaan di dalam benak saya: lalu, konsep mana yang paling baik untuk perempuan?
Layaknya polemik postmodernisme yang tak kunjung usai, begitu pula jika kita berhadapan dengan persoalan perempuan yang dilihat dari berbagai sudut pandang, kehendak, dan pemikiran. Tapi, apa pun konsepnya, setiap perempuan tentu wajib memiliki integritas yang menunjukkan bahwa ia telah “matang” dan siap bertanggung jawab atas pilihan pikiran dan tindakannya. Menurut kamu, gimana?
“I am no bird; and no net ensnares me: I am a free human being with an independent will.” - Charlotte Brontë
Comments
Post a Comment