© Pexels |
Pas selesai kerja hari Jumat rasanya kok kayak happy gitu, ya? Giliran hari Minggu pagi, kok jadi gloomy gitu!
Pernah merasakan hal seperti itu? Tenang, kamu nggak sendirian. Ada banyak orang yang merasa bahwa libur panjang maupun libur akhir pekan adalah sesuatu yang menyenangkan pada awalnya, namun menegangkan pada akhirnya.
Beberapa peneliti di Universitas Gothenburg, Swedia, menemukan bahwa hari Minggu adalah hari yang paling menyedihkan dalam seminggu. Saat Minggu tiba, sebagian orang mungkin akan merasakan kehadiran emosi seperti perasaan tegang, lemas, lesu, malas, bahkan sedih. Menurut penelitian tersebut, orang-orang yang sudah menikah cenderung lebih banyak merasakan emosi ketimbang orang-orang yang belum menikah. Akan tetapi, secara general, orang-orang tersebut tetap berpendapat bahwa Minggu adalah hari yang paling menyedihkan.
Mungkin, itu sebabnya “Gloomy Sunday” tercipta.
Dilihat sekilas, pasti kamu sudah bisa menerka kenapa hari Minggu jadi hari yang serba-serbi. Yup, karena hari ini adalah hari sebelum sekolah atau pekerjaan dimulai kembali; jam-jam terakhir kamu bisa bermalas-malasan atau melakukan hal lain secara bebas; lalu, mau tidak mau kamu harus kembali memikirkan kerja keras atau rutinitas membosankan pada hari selanjutnya.
Saya sendiri pernah mengalami masa-masa itu. Senin masih lama, kok ya Minggu pagi sudah terasa malas. (Baca juga: Masih Minggu Malam, Tapi Senin Sudah Terasa Melelahkan?)
Tapi, tahukah kamu kalau semua itu berawal dari persepsi.
Dalam tulisan berjudul Holiday Paradox Explains Why Time Flies, Nick Collins menyebutkan bahwa para psikolog percaya bahwa otak berperan penting dalam menilai perjalanan waktu. Persepsi kita tentang waktu dapat memanipulasi berbagai macam hal sehingga hidup akan terasa lebih sibuk ketika tua dan waktu akan terasa begitu cepat berlalu seiring dengan bertambahnya usia.
Seorang psikolog dan penyiar BBC, Claudia Hammond, menyebutnya sebagai holiday paradox. Dalam bukunya yang berjudul Time Warped, ia mengatakan bahwa ketika kita melakukan sesuatu yang baru dan menarik, seperti halnya berlibur, waktu akan terasa berjalan lebih cepat daripada ketika kita bosan atau cemas. Tetapi, ketika kita melihat ke belakang secara retrospektif, penilaian waktu didasarkan pada berapa banyak ingatan baru yang kita bangun selama periode itu.
Misalnya, waktu kecil, mungkin kita menganggap segala sesuatu sebagai hal yang baru dan menyenangkan sehingga semua hal yang kita lakukan cenderung akan diproduksi sebagai memori baru. Nah, hal inilah yang membuat waktu terasa lebih lambat ketika kita mengingatnya di masa-masa sekarang.
Seiring bertambahnya usia, makin banyak hal yang kita tahu sehingga semua hal terasa membosankan. Apalagi, jika kita cenderung melakukan hal yang sama secara berulang seperti rutinitas sehari-hari yang hanya berkutat antara sarapan-bekerja-makan siang-lembur-tidur. Akibatnya, makin sedikit pula memori yang terekam di otak kita sehingga waktu akan terasa lebih cepat.
Lebih lanjut lagi, Hammond juga menyebutkan bahwa dalam dua minggu yang normal, rata-rata orang hanya mengumpulkan antara enam sampai sembilan ingatan baru karena begitu banyak yang kita lakukan secara rutin. Tetapi, pada hari libur, kita dapat membangun jumlah ingatan lebih banyak dalam satu hari karena semua yang kita alami adalah hal yang baru. Artinya, ketika kita melihat ke belakang, hal itu akan terasa lebih lama daripada yang sebenarnya terjadi.
Beberapa waktu lalu, saya pernah berlibur ke daerah Wonosari, Yogyakarta. Saya mengambil cuti lima hari dan melakukan berbagai macam hal di sana. Dengan wilayah yang terbilang sangat asri dan sepi, jelaslah saya bisa melupakan rutinitas kota yang biasanya saya kerjakan berulang kali. Alhasil, 24 jam menjadi waktu yang sangat bernilai pada saat itu.
Jadi, saran saya, gunakan waktu terbaik kamu untuk menciptakan memori-memori baru yang menyenangkan agar waktu tidak terasa berjalan terlalu cepat. Selamat hari Minggu, selamat menciptakan memori baru!
Comments
Post a Comment