Bagi saya, film Korea selalu memberikan warna baru buat wawasan perfilman saya. Bukan hanya soal visualisasi yang dramatis, tapi juga soal esensi yang realistis.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk menonton film Korea berjudul Parasite. Film ini bercerita tentang keluarga miskin yang terpaksa tinggal di lingkungan basement yang kumuh sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan berbagai akses layanan publik.
© mauvais-genres.com |
Dimulai dengan mitos teknologi
Dalam film ini, teknologi menjadi salah satu mitos yang dihadirkan untuk merepresentasikan kehidupan masyarakat modern. Internet seolah-olah menjadi kebutuhan primer yang mesti dipenuhi, meski dalam kondisi krisis sekali pun.
Mencari sinyal untuk bisa berkomunikasi menjadi salah satu catatan penting yang ditorehkan dalam film ini. Bagaimana media sosial menjadi mitos baru yang bisa “menghidupi” masyarakat dengan hanya sekali tap.
Dari pesan WhatsApp yang diterima sang anak, keluarga Kim Ki Taek akhirnya memperoleh pekerjaan untuk melipat kotak pizza. Namun, penghasilan yang diperoleh jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sampai akhirnya, anak sulung mereka yang bernama Kim Ki Woo mendapatkan pekerjaan sebagai guru les privat di salah satu keluarga kaya.
Ki Woo kemudian datang ke rumah keluarga Park dan berkesempatan untuk mengajari anak perempuan mereka yang bernama Yeon Kyo. Saat itulah ia mulai memikirkan cara-cara yang serakah agar bisa keluar dari garis kemiskinan.
Krisis ekonomi berujung keserakahan
Berbeda dengan cerita-cerita Korea lain yang mayoritas menyuguhkan kemewahan, film ini justru memperlihatkan bagaimana tingginya tingkat kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin yang ada di Korea.
Keluarga Park yang kaya raya mampu melakukan apa pun dan membayar siapa pun demi memperoleh apa yang mereka inginkan, sedangkan keluarga Kim harus bersusah payah untuk bisa makan enak.
Jika keluarga Kim yang miskin mengalami krisis ekonomi, maka keluarga Park yang kaya mengalami krisis kepercayaan. Hal-hal kecil bisa menjadi besar ketika datang ke keluarga Park; mulai dari anak yang sulit belajar, hingga aturan rumah yang wajib dipenuhi agar semuanya berjalan sempurna. Kecemasan-kecemasan manusia modern inilah yang kemudian dimanfaatkan Ki Woo untuk mempekerjakan seluruh keluarganya.
Berbekal bakat akting dan desain yang andal, adik perempuan Ki Woo yang bernama Ki Jung menyamar menjadi seniman lulusan universitas terkenal di luar negeri untuk menjadi guru les privat seni anak bungsu keluarga Park.
Tidak cukup sampai di situ, Ki Woo dan Ki Jung kemudian menipu keluarga Park dengan cara mengusir sopir dan asisten rumah tangga Mr. Park agar ibu dan ayah mereka bisa bekerja di sana.
Banjir yang mengubah segalanya
Nahas, baru beberapa hari bekerja, mereka harus menghadapi situasi menegangkan ketika keluarga Park yang tadinya berencana meninggalkan rumah harus kembali dalam kondisi basah kuyup akibat banjir bandang yang terjadi di wilayah mereka.
Bukan hanya menggagalkan rencana keluarga Kim untuk bisa bersenang-senang di kediaman keluarga Park, banjir bandang juga membuat seluruh harta benda keluarga Kim tidak terselamatkan. Mereka terpaksa harus mengungsi dan meninggalkan semua harta yang mereka miliki.
Humoris, namun tragis
Dengan alur yang sulit ditebak, film yang sesekali disisipi bumbu komedi ini juga mampu membuat jantung berdebar karena beberapa adegan yang mencekam dan dramatis. Keserakahan keluarga Kim untuk bisa menikmati kekayaan keluarga Park pun berakhir dengan kematian seorang mantan asisten pribadi yang ternyata menyimpan suaminya di basement rumah keluarga Park.
Pergulatan antara kebaikan dan keburukan si kaya dan si miskin pun mulai bergulir. Keluarga Park yang semula digambarkan sebagai sosok yang rupawan, hartawan, dan dermawan lenyap sudah di akhir cerita.
Cerita diakhiri dengan pembunuhan tragis yang meninggalkan trauma bagi banyak orang, tak terkecuali keluarga Kim yang harus kehilangan Ki Jung.
Bukan hanya disuguhi cerita yang apik, visualisasi yang tajam dan akting luar biasa dari para pemainnya pun membuat penonton berasa masuk ke dalam cerita. Rasa senang, kesal, takut, hingga sesal berhasil menyusup ke dalam sanubari penonton.
Film ini menggambarkan bagaimana keserakahan manusia bisa membawa petaka pada manusia dan menghancurkan perdamaian di dalam diri manusia itu sendiri. Tidak heran jika film ini mendapat rating yang sangat tinggi dan mendapat standing ovation selama lima menit dalam Festival Film Cannes 2019.
Penasaran bagaimana ceritanya? Yuk, tonton filmnya dan rasakan alurnya yang super duper roller coaster!
Comments
Post a Comment