Sejak kecil, saya selalu senang menonton film-film superhero. Mulai dari Power Rangers, Kura-Kura Ninja, Sailor Moon, sampai Ninja Hattori. Aih, tontonannya nggak kekinian ya? Iya, itu waktu kecil.
Seiring berjalannya waktu, saya menarik diri dari film-film superhero. Kenapa? Karena pada saat remaja, saya sadar bahwa film-film tersebut hanyalah representasi orang-orang marginal yang berkhayal untuk menjadi terkenal atau setidaknya fenomenal. Hampir semua film superhero menggambarkan sosok unik yang di-bully hanya karena perbedaan tertentu, lantas mendapat karunia dari semesta untuk menjadi manusia kuat dan superhebat.
Bagi manusia pada umumnya, tontonan seperti itu mungkin bisa jadi sangat menghibur. Tapi, bagi saya (orang yang sering di-bully), cerita superhero tidak lebih dari sekadar pemberi harapan palsu.
Di satu pihak, film-film tersebut memang menawarkan imajinasi dan harapan tak terhingga yang membuat saya merasa layak untuk diperhatikan dan diapresiasi. Namun, di lain pihak, ada kalanya saya sadar bahwa itu hanyalah sebuah film.
Pada kenyataannya, yang marginal tetap saja diam di sudut dan cuma bisa beringsut. Yang marginal tetap saja cuma bisa hebat di balik topeng atau atribut lain yang kelak jadi incaran para cosplayer.
Superhero: ekspektasi yang konseptual
Berapa banyak komik atau film bertema superhero di dunia? Countless!
Di Indonesia sendiri, tokoh superhero sudah ada sejak lama. Meski tidak semuanya mengusung budaya “topeng dan kostum” yang terbilang aneh, ada saja benang merah yang memperlihatkan bagaimana para pahlawan tersebut punya cara pandang dan gaya hidup berbeda dari masyarakat pada umumnya. Kalau tidak sableng seperti Wiro 212, ya disabilitas seperti Si Buta dari Goa Hantu. Iya, kan?
Kalau punya pendapat berbeda, jangan bully saya ya! Silakan komentar saja di lapak yang sudah tersedia.
Oke, lanjut! Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, fenomena superhero menjadi layak untuk diperbincangkan karena tidak hanya bersifat menghibur, tapi juga berisi narasi-narasi kehidupan. Ada ekspektasi dalam cerita-cerita superhero. Bukan ekspektasi untuk menjadi kuat atau hebat, melainkan untuk diterima di masyarakat.
Kita ambil contoh Spider-man, pahlawan super yang lahir di dalam diri seorang siswa SMA yang terobsesi dengan penolakan, ketidakmampuan, dan kesepian. Tanpa seorang mentor, ia harus sekuat tenaga mempelajari jalan hidupnya sehingga meyakini bahwa ada tanggung jawab besar yang harus diembannya agar bisa menolong orang-orang lemah seperti dirinya.
Ekspektasi inilah yang saya lihat sebagai sebuah konsep. Konsep pembentukan identitas, pencarian eksistensi, aktualisasi diri, yang kemudian berkembang menjadi integritas manusia sejati.
© slideshow.com |
Penjahat vs superhero: pertarungan id dan superego
Di setiap kisah superhero, selalu ada tokoh antagonis yang sering kali dicap sebagai “si jahat”. Dalam kurun waktu yang cukup lama, politik identitas pun mengecoh pikiran manusia sehingga para penonton cuma bisa beranggapan ada si baik dan si jahat, ada si tampan dan si buruk rupa, bahkan di beberapa film superhero Barat selalu ada si putih dan si hitam (termasuk Sinterklas dan Pit Hitam).
Sampai pada tahap tersebut, tidak ada yang menyadari bahwa “si jahat” adalah identitas asli manusia hingga akhirnya kita semua menonton film Joker dan mengamini bahwa “si jahat” adalah “si baik” yang tersakiti. Apa benar begitu?
Bagi saya, pertarungan antara superhero dan penjahat bukan hanya merepresentasikan bagaimana dunia mempropagandakan perdamaian untuk menghapus kejahatan, melainkan bagaimana manusia bisa memahami diri sendiri dan menghasilkan perilaku yang manusiawi dalam kehidupan sebenarnya.
Sama halnya dengan kisah Mahabarata yang diinterpretasikan sebagai pergulatan batin dalam diri manusia, pertarungan antara penjahat dan superhero juga merupakan pergulatan antara id dan superego.
Mungkin, inilah satu-satunya ide Sigmund Freud yang hingga kini masih bertahan dan penting untuk dikaji: jiwa manusia (kepribadian) punya lebih dari satu aspek. Berdasarkan teori kepribadian Freud (1923), jiwa manusia terdiri atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego yang masing-masing berkembang pada tahap yang berbeda.
Dalam hal ini, “si jahat” adalah representasi id (insting). Id adalah komponen kepribadian paling primitif dan naluriah yang diwariskan sejak lahir, seperti jenis kelamin, libido, dan naluri yang agresif (kematian). Watak asli inilah yang tercermin dalam tokoh-tokoh penjahat di cerita superhero.
Sementara itu, superego adalah komponen kepribadian yang menggabungkan nilai-nilai dan norma yang selama ini didapat dan dipelajari agar dapat menghasilkan perilaku yang bisa diterima di masyarakat. Komponen inilah yang berfungsi membujuk ego (diri manusia yang sebenarnya) untuk melakukan hal-hal yang bertendensi moralistik dan berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Supergo inilah yang kemudian direpresentasikan sebagai superhero.
Jadi, ungkapan “orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti” mungkin tidak sepenuhnya benar kalau kita mengamini teori psikoanalisis Freud. Mungkin kalimatnya bisa kita ganti jadi begini, “orang jahat adalah orang yang belum baik” karena pada dasarnya, mengecap “jahat” pun adalah pola-pola diskriminatif yang bisa juga kita sebut kejahatan.
Yah, nggak ada ujungnya deh!
Jadi, kalau kita kaji lebih dalam, penjahat dan superhero sama-sama manusia marginal yang mengalami penolakan, ketidakberdayaan, hingga akhirnya memilih satu titik aktualisasi diri: memberontak atau menuruti “keinginan” masyarakat di sekitarnya.
© engadget.com |
Akhirnya, semua sadar bahwa kita beragam dan tak sendirian
Akhir-akhir ini, saya kembali tertarik menonton film-film superhero karena dalam film-film terbaru, superhero tidak lagi mengusung tema politis “si baik dan si jahat”. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak tokoh superhero yang digambarkan secara kompleks dan beragam.
Jika dulu tokoh superhero selalu tersakiti dan mampu berjuang sendiri melawan kejahatan dunia, maka kini superhero lahir dari berbagai latar belakang dan berkolaborasi dengan pahlawan-pahlawan super lainnya. Kini, superhero tidak lagi berkulit putih, tidak lagi berjuang sendirian, dan tidak lagi mengusung ekspektasi “ingin dikenal dan fenomenal”.
Lebih dari itu, superhero masa kini justru digambarkan lebih luwes lewat personifikasi manusia-manusia yang memiliki perbedaan ras, pendidikan, fisik, tingkat intelektual, bahkan orientasi seksual.
Pada 2017, reboot Power Rangers menjadi berita utama karena membuat salah satu pahlawannya, ranger kuning Trini, sebagai gay. Tahun lalu, serial TV Batwoman menjadikan Ruby Rose sebagai superhero lesbian pertama di dunia komik. Akhir tahun lalu, Spider-Man: Into the Spider-Verse menghadirkan ras Afro-Amerika sebagai tokoh superhero.
Mengutip laman BBC, Marvel Cinematic Universe (MCU) bahkan akan menampilkan superhero tuli pertama, superhero Asia-Amerika pertama, hingga superhero gay secara terbuka. Hal ini membuktikan bahwa dunia hiburan tidak hanya bergerak untuk memberi kesenangan, tapi juga memberi edukasi tentang pentingnya menghargai keragaman.
Pada tahap ini, saya mengamini bahwa kisah-kisah superhero telah menjadi lebih dewasa karena mampu menyadarkan kita semua bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam kehidupan. Setiap orang bisa menjadi pahlawan dan berkolaborasi dengan manusia lainnya untuk mewujudkan dunia yang lebih bahagia.
Pada akhirnya, kita semua adalah “si jahat” yang kelak jadi superhero. Setidaknya, untuk diri kita sendiri. Selamat Hari Pahlawan!
Comments
Post a Comment