Menjadi pribadi yang tertutup dan cenderung mengalah agar tidak menyakiti orang lain merupakan salah satu penyebab munculnya sikap self-harm atau menyakiti diri sendiri. Di Indonesia, hal ini masih sering dianggap tabu. Bahkan, orang-orang cenderung menganggap self-harm sebagai perilaku berdosa, manipulatif, atau dianggap mencari perhatian (caper).
Sebagai pribadi yang menurut sebagian orang sulit berkata “tidak”, saya sendiri pernah mengalami masa-masa sulit ketika tidak bisa melampiaskan kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan saya sehingga berujung pada perilaku self-harm.
© Pexels |
Apa itu self-harm?
Self-harm adalah perilaku menyakiti diri sendiri yang biasanya dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi tekanan, rasa sakit emosional, atau bertahan dalam kondisi sulit. Perilaku seperti ini biasanya dilakukan ketika seseorang tidak bisa mengungkapkan perasaannya atau perlu melepaskan rasa sakit dan kecewa tanpa harus menyakiti orang lain.
Yang termasuk kategori self-harm ekstrem antara lain adalah menyayat, mencakar, atau memukul diri sendiri, membenturkan kepala ke dinding, menarik rambut, dan menelan atau meminum sesuatu yang berbahaya. Tapi, ada juga perilaku yang termasuk kategori self-harm, namun sering dilakukan seseorang tanpa sadar, seperti makan berlebihan (atau sebaliknya), mengonsumsi alkohol atau narkoba, tidak memedulikan kesehatan, sampai melakukan hubungan seks bebas.
Apa penyebabnya?
Self-harm termasuk ke dalam kategori nonsuicidal self-injury (NSSI). Perilaku ini biasanya dilakukan seseorang tanpa ada niat untuk bunuh diri. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan self-harming. Di antaranya:
1. Trauma masa kecil
Sejak kecil, saya dididik untuk patuh terhadap orang tua. Jika melakukan kesalahan, maka saya akan kena hukuman. Jika menangis saat dihukum, maka hukuman pun akan ditambah. Inilah yang mungkin menyebabkan saya sering melakukan self-harming. Pola asuh seperti ini sering terjadi di Indonesia sehingga tanpa disadari, seorang anak akan terbiasa untuk menahan emosinya dan memilih untuk menyakiti diri sendiri secara fisik agar bisa meredakan emosinya. Menurut Psychology Today, 20 persen remaja di Amerika terlibat dalam perilaku self-harm yang mayoritas adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka melakukannya karena pernah mengalami trauma masa kecil.
Baca juga: Apakah Kamu Seorang Empath?
Selain itu, trauma masa kecil seperti bullying juga bisa menjadi penyebab self-harm karena seseorang yang terus menerus dirisak akan cenderung merasa bahwa dirinya memang layak untuk dihukum. Inilah yang kemudian tertanam di dalam dirinya sehingga ia sering menyalahkan dan menghukum diri sendiri dengan cara self-harming.
2. Kesulitan mengungkapkan perasaan
Bagi sebagian orang, mengungkapkan perasaan atau emosi mungkin hal yang mudah. Tapi, bagi sebagian lagi, hal ini mungkin menjadi sulit. Terlebih jika orang yang mengalami emosi memiliki kepribadian yang tertutup. Saya sendiri mulai melakukan self-harming sejak 2009. Saat itu, saya dipaksa untuk menikah di usia muda karena alasan yang sebenarnya sangat konservatif, yaitu takut jika saya melakukan hubungan seks di luar nikah.
Namun, menikah di usia muda ternyata tidaklah menyenangkan. Saat itu, saya masih berusia 21 tahun dan masih sangat “buta” tentang pernikahan sehingga ketika saya menghadapi masalah dalam pernikahan, saya lebih memilih untuk menyakiti diri sendiri ketimbang curhat pada orang lain.
Saat itu, self-harm menjadi satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk melampiaskan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan saya. Apalagi, saya tinggal di lingkungan patriarkis yang membuat perempuan tidak bisa mengekspresikan kemarahan kepada lelaki yang menjadi suaminya. Jika itu terjadi, maka perempuan pun akan dianggap sebagai istri durhaka.
3. Lebih baik sakit daripada mati rasa
Menjadi mati rasa mungkin terlihat mudah. Nyatanya, merasa hampa jauh lebih sulit daripada merasa sakit. Seseorang yang merasa diabaikan, tidak dicintai, atau bahkan dianggap tidak ada cenderung memilih self-harm sebagai solusi agar dirinya merasakan sesuatu: sakit.
4. Pain offset relief
Mengutip pijarpsikologi.org, sebuah penelitian menemukan bahwa orang-orang cenderung mengalami perubahan emosi secara positif setelah menerima respon mengejutkan secara fisik. Hal ini sejalan dengan penemuan para psikolog pada 70 tahun lalu mengenai pain offset relief yang menunjukkan rasa senang atau bahagia setelah menerima rasa sakit. Saat seseorang menyakiti diri sendiri, maka ia akan merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, ia akan merasa lega setelahnya sehingga orang tersebut meyakini adanya hubungan antara “menyakiti diri” dengan “kelegaan” yang dirasakan setelahnya.
5. Mengalami gangguan mental
Sebagai seseorang yang pernah mengalami gangguan kepribadian ganda, saya mengamini bahwa ini menjadi salah satu penyebab yang saling berhubungan dengan keempat penyebab lainnya. Gangguan mental seperti depresi, anxiety disorder, skizofrenia, dan lainnya merupakan salah satu faktor penyebab kenapa seseorang melakukan self-harming.
Bagaimana mengatasinya?
Hal pertama yang harus dilakukan tentu adalah mencari orang terdekat. Sayangnya, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dilakukan. Alih-alih menolong dan mencarikan jalan keluar, banyak orang terdekat yang justru menghakimi dan menilai negatif orang-orang dengan perilaku self-harm. Jika hal itu terjadi, kemungkinan besar perilaku tersebut akan terus menerus dilakukan.
Saya sendiri memutuskan untuk berhenti menyakiti diri sendiri sejak awal 2019 lalu. Saat itu, seseorang mengatai saya dan menganggap saya telah melakukan sesuatu yang tidak layak dan kelewat batas. Meski menyakitkan, kata-kata orang tersebut menjadi pemantik bagi saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik sehingga tidak ada celah bagi orang lain untuk menyalahkan dan memberi stigma pada saya.
Mencari seseorang yang bisa mendengarkan sekaligus memahami kondisi kita memang bukan hal yang mudah. Jika kamu tidak berhasil menemukan orang tersebut, jangan khawatir! Kamu masih punya buku harian untuk menuliskan perasaanmu tanpa ada pihak yang bisa menghakimimu. Selain menuliskan emosimu di buku harian, berikut ini adalah hal-hal yang sudah saya lakukan selama hampir sebelas bulan agar tidak lagi melakukan self-harming:
- Meditasi. Mendengarkan healing music sambil mengatur napas selama kurang lebih 10-30 menit menjadi aktivitas rutin yang sering saya lakukan setiap malam atau ketika bangun pagi. Ketika meditasi, mungkin kamu akan merasa ingin menangis, marah, atau bahkan berteriak. Just do it!
- Menulis. Pada 1986, profesor psikologi James Pennebaker meminta sekelompok siswa untuk menuliskan trauma terbesar mereka dalam waktu 15 menit selama empat hari berturut-turut. Hasilnya, mereka semua mengalami peningkatan kesehatan psikologis setelah enam bulan kemudian. Lebih lanjut lagi, studi tersebut juga berhasil membuktikan bahwa metode penulisan ekspresif bisa mengurangi gejala berbagai macam penyakit, seperti radang sendi, kanker, dan migrain. Yuk, mulai menulis!
- Menangis. Air mata bermanfaat untuk menghilangkan hormon stres yang menumpuk selama kita mengalami tekanan atau gejolak emosional. Selain itu, menangis juga membantu mengurangi tingkat mangan pada tubuh yang berperan penting dalam memengaruhi suasana hati. Penelitian menyebutkan bahwa konsentrasi mangan dalam air mata jauh lebih besar daripada serum darah.
Kalau gitu apa yang saya lakukan waktu kecil dulu juga merupakan self harm dong. Waktu saya salah paham dan merasa nggak disayang saya rasanya pengen bikin jari saya berdarah biar rasa kecewanya hilang. Sekarang sih udah nggak pernah....
ReplyDeleteHalo, Astria.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung ke laman #PerempuanSufi. Ya, betul sekali, itu juga termasuk self-harm karena ada emosi atau sesuatu yang tertahan dan seharusnya diungkapkan.
Syukur kalau sekarang udah nggak pernah. Semoga artikel #PerempuanSufi terus menginspirasi kamu ya.
Salam hangat :-)
Hai, saya salah satu penderita self harm. Umur saya tergolong muda, saya masih berusia 15 tahun. Dimana pola pikir saya masih labil dan mungkin saya sedikit egois. Bagi saya, self harm sama dengan menyalurkan sebuah rasa sakit dimana hal itu tidak bisa saya curahkan. Saya ingin bercerita pada orang lain. But, mereka hanya penasaran bukan peduli. Saya benci mereka yang mendukung saya namun kenyataannya mereka ikut serta menjatuhkan saya. Mental saya terguncang. Di umur saya yang masih muda, saya mendapatkan tekanan berat dari orangtua saya. Saya tidak sanggup.
ReplyDeleteHalo, Dear. Di umurmu memang sangat rentan terhadap berbagai hal, termasuk permasalahan yang memicu gangguan psikologis. Mungkin saat ini kamu merasa bingung harus bercerita pada siapa dan harus bagaimana menyikapi permasalahan yang ada. Tapi, jika kamu terus berusaha untuk selalu berbuat baik, pasti hasilnya pun baik.
DeleteSebagai tahap awal, coba untuk menenangkan diri dengan mendengarkan "healing music" sehingga kamu bisa meredam emosi. Saat terpikir untuk melakukan self-harming, coba tunggu 1 menit sebelum melakukannya, lalu peluk diri sendiri dan katakan bahwa kamu berharga.
Jika ingin bercerita, silakan kirim pertanyaanmu via DM Instagram @perempuansufi, ya. Peluk hangat 🌻