Gaung film Marriage Story sudah lama sampai ke telinga saya. Mulai dari review di media sampai Instagram stories yang mengatakan kalau film ini punya efek yang cukup dahsyat buat sebagian orang. Namun, karena kesibukan yang cukup menyita waktu, saya baru berkesempatan untuk menontonnya beberapa hari lalu dan meresensinya hari ini.
Dengan rating yang cukup tinggi dari IMDb, yaitu 8.1/10, film ini membuat ekspektasi saya melambung tinggi. Apakah film ini benar-benar bisa menyita perhatian saya? Tentu. Selain karena testimoni yang mayoritas hebat, film ini juga dibintangi oleh salah satu aktris favorit saya, Scarlett Johansson.
© The New York Times |
Satu jam pertama yang membosankan
Ekspektasi yang tinggi terhadap film ini membuat saya sedikit kecewa ketika dalam satu jam pertama hanya melihat adegan-adegan teatrikal yang bagi saya terasa membosankan dan sama sekali tidak menyentuh, baik nalar puitik maupun melodramatis. Namun, saya yakin akan ada hal baik yang bisa dipetik dengan menonton film ini.
Secara sinematik, tentu film ini sangat layak diapresiasi. Namun secara emosional, saya tidak merasa tergugah karena film ini lebih banyak mengisahkan sudut pandang ego sektoral masing-masing pihak (suami-istri) ketimbang konflik dalam pernikahan itu sendiri.
Meski begitu, ada satu adegan yang membuat saya cukup merasa tersentuh, yaitu ketika Nicole dan Charlie saling berpandangan saat menutup pintu gerbang rumah Nicole. Di situlah saya mulai melihat sisi menarik dari film ini.
Mungkin secara kasat mata adegan itu terlihat biasa saja. Namun, bagi orang yang pernah mengalami perceraian, adegan baper nan kecil ini sangat bisa mewakili perasaan seorang mantan pasangan yang kembali mengingat momen-momen kecil di dalam kehidupan romantisme mereka.
Dari adegan tersebut, saya mulai kembali berekspektasi menemukan adegan yang lebih dahsyat untuk menyentuh sisi emosional saya.
Hentakan di 1:40:54 dan pesan-pesan pernikahan setelahnya
Hentakan terjadi di menit-menit berikutnya, yaitu ketika keduanya adu mulut, saling mencaci, saling berusaha membenci dan menyakiti, hingga akhirnya menangis kesakitan. Dalam adegan ini, terlihat betul bahwa baik Scarlett Johansson maupun Adam Driver sama-sama mampu menggambarkan konflik batin yang terjadi saat itu.
Adegan inilah yang membuat saya merasa cukup “terhibur” karena mampu mewakili perasaan geram suami-istri yang tengah menghadapi perceraian.
Baca juga: Menyoal Tabu Perceraian
Setelah film ini berakhir, saya mulai berpikir untuk melihat Marriage Story dari sudut pandang yang lain. Bukan dari bagaimana film ini mampu merepresentasikan perasaan sepasang suami istri yang sedang menghadapi konflik perceraian, melainkan dari sudut pandang objektivitas.
Pertama, film ini berbeda dari film-film pernikahan lainnya karena tidak mengandung konsep “pernikahan adalah sesuatu yang buruk” atau “perceraian lebih baik daripada menikah tapi tak bahagia”. Film ini justru hadir sebagai kisah yang mengajak penonton untuk melihat hal-hal kecil yang selama ini tidak terlihat atau dikesampingkan dalam pernikahan.
Misalnya saja, komunikasi. Film ini memiliki pesan yang kuat tentang komunikasi dalam pernikahan. Komunikasi di sini tidak hanya sebatas bagaimana kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan, tetapi juga bagaimana keduanya bisa saling memahami. Dalam film ini, jelas sekali terlihat bahwa baik Nicole maupun Charlie sama-sama memiliki hubungan komunikasi yang terbuka, baik antarpersonal maupun dengan pihak lain seperti anak dan keluarga besar mereka.
Namun, kenapa perceraian tetap terjadi? Karena keduanya hanya sebatas “berbicara” dan “mendengarkan”, tidak sama-sama “memahami”. Pada akhirnya, konsep komunikasi ini muncul di akhir cerita, ketika Charlie membaca surat yang tak pernah sampai dari Nicole yang membuat keduanya menangis.
Kedua, film ini juga memberikan pesan kepada penonton tentang bagaimana sulitnya bercerai. Bukan hanya soal finansial dan kesulitan mengurus administrasi, tetapi lebih kepada soal menerima perceraian itu sendiri.
Bagi orang yang tidak pernah mengalami perceraian, hal itu mungkin terlihat mudah. “Kalau sudah tidak bahagia, ya bercerai.”
Tapi, bercerai ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada konflik massal di sini. Mulai dari konflik dengan diri sendiri, pasangan, anak, keluarga, hingga pihak lain yang terlibat dalam urusan perceraian.
Pesan berikutnya yang cukup kuat dalam film ini adalah bagaimana perceraian yang menyisakan luka tidak dipandang sebagai stigma. Pasangan yang bercerai tetap bisa berteman, bahkan memiliki hubungan yang baik dengan pihak keluarga mantan pasangan. Inilah yang menurut saya cukup jelas terlihat dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi pasangan bercerai di Indonesia.
Akhir kata, saya cuma bisa bilang: Marriage Story itu indah, tapi tak menggugah. Jika kamu menginginkan film yang menguras emosi dengan adegan-adegan melodramatis, sebaiknya tidak perlu berekspektasi lebih pada film ini. Tapi, jika kamu ingin mendapatkan letupan-letupan yang tidak terpikirkan sebelumnya dengan adegan sinematik yang indah, film ini layak kamu tonton.
Selamat menikmati sudut pandang lain dari pernikahan!
Comments
Post a Comment