Saya pernah mendapatkan catcalling maupun pelecehan seksual, baik di sekolah maupun tempat kerja. Tapi, saya hanya terdiam dan bertanya-tanya dalam hati, āapa pakaian saya terlalu terbuka?ā atau āapa saya bersikap menggoda sehingga laki-laki memperlakukan saya seperti itu?ā, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang belum pasti.
Hingga suatu hari, saya pernah mendapatkan pengobatan spiritual dari seorang laki-laki yang menyuruh saya berbaring dan terdiam begitu saja ketika dia menyentuh alat kelamin saya. Selesai berobat, saya masih saja terdiam. Saat itu, saya hanya bertanya dalam hati, āapa memang pengobatannya harus begitu?ā
Jika saat itu saya berteriak, apakah saya akan selamat? Jika setelahnya saya melapor pada seseorang, mungkinkah hanya dianggap angin lalu? Lebih buruk lagi, mungkin akan dimarahi karena dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga diri.
Kasus pelecehan seksual sering kali mengusik telinga dan hati saya, apalagi jika sudah ada komentar dari kaum perempuan sendiri yang bilang, ākalau diam saja, berarti ya menikmati.ā
Kalimat tersebut membuat saya geram. Bagaimana bisa perempuan menghakimi perempuan lain yang sedang dalam kondisi seperti itu? Oke, dalam kondisi sangat tenang dan cukup matang, mari kita pikirkan hal ini sama-sama ya, perempuan!
Ā© Pexels |
Rasa malu dan bersalah
Sebelum lanjut ke pembicaraan berikutnya, mari bersepakat jika dalam konteks ini, pelecehan seksual meliputi sentuhan yang tidak pantas, pelanggaran privasi, candaan dengan konteks seksual, komentar atau gerakan cabul, ekspos bagian tubuh perempuan, pesan teks atau panggilan telepon yang tidak diinginkan, paksaan, permintaan terbuka untuk seks, penawaran bantuan seksual, hingga serangan seksual.
Salah satu alasan utama kenapa perempuan tidak melakukan apa pun ketika mengalami pelecehan seksual adalah rasa malu. Rasa malu adalah inti dari pengalaman intens yang dialami seseorang ketika mereka dilecehkan secara seksual. Mengutip Psychology Today, Gershen Kaufman dalam bukunya yang berjudul Shame: The Power of Caring mengatakan, āRasa malu adalah reaksi alami untuk pelecehan. Faktanya, pelecehan pada dasarnya merupakan penghinaan dan tindakan yang tidak manusiawi. ā Dalam hal ini, korban akan merasa diserang dan dikotori, sekaligus merasa terhina karena dikasihani akibat ketidakberdayaannya. Tidak jarang, rasa malu ini menyebabkan para korban menyalahkan diri sendiri. Ini yang sudah saya jelaskan di atas.
Dengan memahami rasa malu yang dialami para korban pelecehan seksual, kita akan lebih paham kenapa mereka lebih memilih diam ketika menerima perlakuan tersebut. Rasa malu di sini tentu bukan hanya sebatas rasa yang bisa disembunyikan dengan menutup mata atau wajah. Lebih dari itu, rasa malu tersebut bisa menyebar menjadi rasa kurang percaya diri, rasa bersalah, hingga merasa tidak berharga.
Pelecehan dan penyerangan seksual bisa menjadi pengalaman yang memalukan untuk diceritakan secara pribadi, apalagi di depan umum. Para korban pelecehan seksual cenderung merasa malu sebagai manusia karena mayoritas masyarakat percaya bahwa tubuh seseorang berada di bawah kendali orang tersebut. Menjadi korban pelecehan seksual sama halnya dengan membeberkan fakta bahwa āsaya tidak memiliki kendali atas tubuh saya sendiriā sehingga banyak dari mereka yang memilih diam daripada melapor.
Bagi sebagian orang, menyalahkan diri sendiri akan lebih mudah ketimbang dianggap tidak berdaya. Rasa malu itu akan lebih kuat ketika korban memikirkan kembali tindakan pelecehan yang sudah dialami karena tidak mampu memegang kendali atas tubuhnya sendiri.
Perempuan sering kali disalahkan ketika mengalami pelecehan seksual. Mulai dari opini, āBajunya sih seksi banget!ā sampai āMakanya, jangan keluar malem-malem.ā menggiring korban pada penyesalan dan rasa malu yang lebih dalam. Padahal, perempuan tentu tidak merasa nyaman ketika tubuhnya diperlakukan sebagai objek, komoditas, atau komparasi antara āyang bagusā dengan āyang tidak bagusā.
Oleh karena itu, banyak korban pelecehan seksual yang pura-pura tidak pernah mengalami pelecehan atau benar-benar melupakan kejadian tersebut untuk mengurangi rasa malu dan rasa bersalah yang muncul di dalam diri mereka.
Penyangkalan dan rasa takut
Rasa malu dan bersalah yang muncul di awal tidak hilang begitu saja. Begitu keduanya terakumulasi, korban pelecehan seksual akan mulai mencari pembenaran supaya kejadian tersebut tidak menimbulkan trauma. Bagi saya, satu-satunya cara supaya bisa tetap tumbuh positif setelah mendapat perlakuan tersebut adalah dengan menyangkalnya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi atau sebut saja ābukan masalah besarā.
Selain itu, rasa takut juga berkontribusi besar dalam membuat korban pelecehan seksual lebih memilih diam ketimbang speak up. Bukan hanya takut pada pelaku pelecehan, melainkan juga pada dampak yang ditimbulkan jika korban salah mengambil langkah. Misalnya, tanggapan masyarakat tentang dirinya sebagai korban, tanggapan keluarga, peluang karier yang bisa saja terhambat setelah kejadian ini, dan lain-lain.
Takut tidak dipercaya, disalahkan, bahkan dianggap sebagai pemfitnah adalah perasaan-perasaan takut yang sering kali dialami oleh korban pelecehan seksual. Dalam kasus-kasus penting, para korban bahkan sering dicap oportunis, disalahkan atas viktimisasi mereka sendiri, dan dihukum karena berani speak up.
Alasan lain kenapa korban tidak melaporkan tindakan pelecehan seksual adalah karena takut akan pembalasan. Rata-rata kasus pelecehan seksual mengancam kehidupan, pekerjaan, dan karier korban. Banyak korban takut dengan posisi kekuasaan pelaku, terutama jika pelaku pelecehan adalah laki-laki yang berkuasa.
Hal tersebut membuat korban menganggap bahwa cuma dia yang menjadi korban pelecehan seksual dan takut mengambil langkah yang salah. Itulah sebabnya, banyak perempuan yang mulai berani ābersuaraā setelah ada perempuan lain atau seseorang yang ālebih kuatā memulainya.
Rendah diri dan depresi
Beberapa korban pelecehan seksual sering kali rendah diri dan menganggap apa yang terjadi pada mereka bukanlah hal yang serius. Mereka kurang menghargai tubuh dan integritas mereka sendiri sehingga ketika ada orang yang melakukan pelecehan, hal itu dianggap sebagai hal yang biasa atau bahkan layak dilakukan.
Beberapa literatur mengemukakan bahwa banyak perempuan yang merasa rendah diri karena mereka telah diperlakukan sebagai objek dalam budaya keseharian mereka, mulai dari keluarga, lingkungan, hingga komunitas. Bahkan, perempuan yang percaya diri sekali pun akan merasa terhina jika mendapat perlakuan tidak layak dari laki-laki.
Penurunan rasa percaya diri inilah yang kemudian berkembang menjadi keputusasaan, bahkan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa korban yang tidak menemukan solusi atas kejadian pelecehan seksual akan lebih mudah depresi sehingga ia membutuhkan orang lain untuk bisa mengatasinya.
Psikolog Martin Seligman dan Steven D. Meier mengemukakan bahwa ketidakberdayaan adalah fenomena yang membuat seseorang merasa tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi dan cenderung menyerah atau menerima nasib mereka. Pada tahap ini, perempuan merasa sia-sia untuk berbicara karena mereka melihat bagaimana korban pelecehan seksual diperlakukan secara tidak adil sehingga situasi tidak akan berubah dan berpihak pada mereka.
Setelah merenungkan poin-poin di atas, apakah kita masih akan terus diam melihat perempuan korban pelecehan seksual diperlakukan tidak adil?
Comments
Post a Comment