“Enak ya jadi anak pertama, bisa nyuruh-nyuruh adiknya.”
Begitu kelakar yang sering didapat anak sulung dari adik-adik atau orang-orang sekitarnya. Anak pertama memang sering kali diasumsikan sebagai individu yang dominan, perfeksionis, dan cenderung kurang fleksibel. Tapi, apa benar demikian?
Beberapa waktu lalu saya sempat merasa lelah menjadi anak sulung. Bukan cuma bertugas sebagai kakak yang wajib memberi teladan yang baik, tapi juga bertugas menggantikan sebagian atau bahkan seluruh tugas orang tua jika mereka sudah tiada.
© Pexels |
Mengalami masa percobaan yang berat
Di satu sisi, anak sulung lahir sebagai kado pertama bagi orang tua sehingga mereka cenderung mendapatkan banyak perhatian yang mungkin tidak didapat adik-adiknya. Psychology Today menyebutkan, anak sulung cenderung mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua sehingga tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri.
Di sisi lain, anak sulung juga mengalami masa percobaan yang berat. Ketika orang tua memiliki anak pertama, kebanyakan dari mereka belum mengetahui apa pun soal cara mendidik anak sehingga banyak dari anak sulung yang menjadi “kelinci percobaan” dalam urusan mendidik dan membesarkan anak.
Selain itu, rasa khawatir orang tua ketika pertama kali memiliki anak juga sering kali terepresentasi melalui sikap overprotective. Tidak heran jika anak pertama cenderung mendapat banyak pantangan dibandingkan dengan adik-adiknya.
Hasilnya, Universitas Duke dan Universitas Washington menemukan bahwa anak sulung cenderung tunduk pada aturan ketat dan pengawasan orang tua dan lebih mungkin menghadapi konsekuensi keras karena kesalahan daripada adik-adiknya.
Mungkin, tidak semua anak sulung mengalami hal seperti itu. Tapi, saya adalah anak pertama yang mengalami hal tersebut. Ketika remaja, saya tidak diperbolehkan mengikuti berbagai kegiatan yang sesuai dengan minat saya hanya karena orang tua khawatir jika saya pulang malam, tidak punya banyak waktu untuk belajar, dan terlalu banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sehingga takut nantinya terjerumus pergaulan bebas.
“Terpaksa” dewasa sebelum waktunya
Semua perhatian yang didapat anak sulung akan berubah ketika sang adik datang sehingga anak yang tadinya memperoleh semua yang dibutuhkan mulai berubah menjadi anak yang harus mengalah dalam banyak kondisi.
“Ngalah sama adikmu, ya.”
Mengalah. Mungkin, itulah salah satu “kewajiban” seorang kakak yang hingga dewasa akan terus tertanam di pikirannya. Sayangnya, banyak orang tua yang melupakan nasib kakaknya dan beralih memikirkan nasib sang adik karena khawatir si adik tidak bisa tumbuh dengan layak. Banyak dari orang tua yang meminta sang kakak mengalah tanpa memikirkan bagaimana perasaannya jika terus “dipaksa” mengalah.
Baiknya, sang kakak mungkin akan terbiasa mengalah demi adik-adiknya. Namun, di sisi lain, inilah yang sering kali membuat si kakak cenderung introvert dan mengabaikan kebutuhannya demi kebahagiaan adik-adiknya.
Bukan cuma mengalah, anak pertama juga sering kali “terpaksa” bersikap dewasa, bahkan tumbuh dewasa sebelum waktunya. Ketika orang tua tidak ada di rumah, anak pertamalah yang kemudian menjadi “kepala keluarga” yang harus bisa mengatasi masalah dan menjaga adik-adiknya agar selalu dalam kondisi baik-baik saja. Tidak jarang, anak sulung juga harus membersihkan rumah, menjaga adik-adik, dan bertanggung jawab atas semua urusan rumah tangga.
“Terjebak” sendirian
Ketika orang tua sudah menua, anak pertamalah yang akan menggantikan tugas mereka mencari nafkah dan mengurus rumah tangga. Menjadi yang terbaik adalah harapan setiap orang. Tapi, saat anak pertama gagal dan terpuruk, akankah orang tua mengerti?
Mungkin, iya. Tapi, kebanyakan anak sulung terbiasa melimpahkan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri sehingga enggan untuk berbagi keluh kesah dan memendamnya sendirian. Itulah sebabnya, banyak anak sulung yang terlihat kuat dan ceria, namun sering kali menangis sendirian hanya untuk mengusir lelah tanpa seorang pun mengetahui perasaan yang sebenarnya agar tidak ada orang yang merasa tersakiti dan terbebani.
Tidak semuanya buruk, kok!
Dulu, dalam kondisi seperti ini, saya hanya bisa mengutuk keadaan dan mempertanyakan keadilan tuhan di tengah malam saat semua orang sudah terlelap. Tapi, malam ini cukup berbeda.
Ketika saya sedang mempertanyakan keadilan tuhan dan bertanya pada diri sendiri; apakah menjadi anak sulung adalah anugerah atau musibah? Saya berpikir kembali mempertanyakan hal-hal baik apa saja yang saya dapat dengan menjadi anak pertama.
Anak sulung cenderung lebih pintar
Penelitian Sosial dan Ekonomi Universitas Essex menemukan bahwa anak-anak sulung berpeluang lebih besar untuk kuliah dibandingkan dengan adik mereka. Anak-anak sulung dilahirkan untuk belajar karena mereka ingin mempelajari banyak hal sehingga bisa mengetahui apa yang mereka harus ketahui. Para peneliti di Universitas Ghent Belgia menemukan bahwa urutan kelahiran benar-benar memengaruhi tujuan hidup anak. Misalnya, anak pertama cenderung ingin “menguasai”, sedangkan anak kedua cenderung ingin “menang”. Itulah sebabnya, anak pertama cenderung memilih karier yang lebih berorientasi akademik daripada adik-adiknya.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Human Resources juga menemukan bahwa anak-anak sulung mengungguli adik-adik mereka dalam tes kognitif mulai dari masa kanak-kanak sehingga mereka lebih siap untuk keberhasilan akademik dan intelektual berkat pengasuhan “keras” yang mereka dapatkan.
Dengan keinginan belajar yang tinggi, tidak heran kalau anak pertama terlihat lebih pintar dan mengetahui banyak hal. Konsekuensi lainnya, rata-rata anak sulung perempuan senang memerintah, terutama jika adik-adiknya berjenis kelamin laki-laki. Ya, saya akui, itu juga yang terjadi pada saya dan semua adik laki-laki saya. Hehe…
Tapi, lebih dari itu, anak sulung adalah pribadi yang sangat diandalkan oleh orang tua maupun adik-adiknya. Bukankah lebih baik menjadi orang yang diandalkan daripada diabaikan?
Dear anak sulung...
Kalau beban di pundak kamu terlalu berat, bukan artinya kamu harus mengurangi beban itu. Kamu juga harus meningkatkan kekuatan kamu supaya bisa kembali berjalan sambil menanggungnya.
Terus begitu, begitu terus. Sampai akhirnya kita merasa benar-benar lelah, saatnya menyerah pada tuhan karena Dia yang mahakuat. Selamat berjuang, Anak Sulung!
Comments
Post a Comment