Saat pertama kali mendengar kata pelakor, saya berasumsi bahwa istilah tersebut merujuk pada para pelaku korupsi. Lambat laun, istilah tersebut semakin bergema ketika dikumandangkan oleh kaum hawa yang notabene adalah istri-istri atau para perempuan yang lelakinya berselingkuh dengan perempuan lain.
Oh, pelakor itu “perebut laki orang”.
Sejak dulu, perempuan yang menjadi bagian dari kisah cinta lelaki yang telah berpasangan memang selalu mendapat stigma di masyarakat, baik itu sebagai pasangan sah (istri kedua-ketiga-dan seterusnya) maupun bukan.
Padahal, tidak sedikit laki-laki yang pasangannya kedapatan berselingkuh, namun tidak serta-merta menjadikan pria idaman lain sang istri sebagai pebikor (perebut bini orang). Inilah yang bikin saya merasa bahwa ada yang salah dalam penggunaan dan pemaknaan istilah pelakor.
© Pixabay |
Makna kepemilikan yang keliru
Secara morfologis, kata perebut berasal dari kata dasar rebut yang ditambahi imbuhan pe- yang menyatakan pelaku atau alat. Dalam KBBI, kata dasar rebut berarti rampas, ambil dengan paksa (barang orang). Dengan demikian, istilah perebut laki orang dapat diartikan sebagai orang yang merampas lelaki milik orang lain.
Bagi saya, ini menjadi permasalahan terminologis yang cukup berarti. Ketika seorang perempuan berselingkuh dengan suami atau kekasih orang lain dan dinyatakan sebagai pelakor, apa yang dirampas? “Laki”-nya kah atau hak istri sebagai pemilik laki orang? Bingung, ya? Sama, saya juga bingung. Lanjut saja, ya! 😂
Kalau mencontek Wikipedia, istilah kepemilikan berarti kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. Artinya, ruang kepemilikan ini sebenarnya tidak bersifat absolut dan bisa bergeser jika dukungan sosial terhadap kontrol atas ‘kepemilikan lelaki’ disingkirkan. Namun, jika konsep ‘kepemilikan lelaki’ ini digeser, hal itu kemudian tergantikan dengan konsep kepemilikan yang lain, yaitu ‘kepemilikan perempuan’ dengan cara pandang yang keliru.
Dalam kasus perselingkuhan, perempuan yang berselingkuh akan menjadi objek bagi pasangan selingkuhnya maupun istri yang diselingkuhi. Inilah yang kemudian menghasilkan produk budaya patriarki.
Produk budaya patriarki
Lebih dari itu, pembentukan kata pelakor tidak hanya merujuk pada makna kepemilikan istri atas sang suami, tetapi juga merujuk pada gerakan kaum perempuan yang ingin merepresentasikan kedudukannya di atas perempuan lainnya. Sayangnya, gerakan ini malah jadi blunder karena akhirnya kondisi tersebut hanya akan kembali memosisikan perempuan sebagai manusia kelas dua.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, perselingkuhan akan menjadi sangat wajar jika dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu, perempuan yang menjadi subjek maupun objek perselingkuhan selalu dicap negatif dan dipandang lebih hina dibandingkan laki-laki. Padahal, dalam kasus perselingkuhan heteroseksual, ada dua pihak yang bersalah; laki-laki dan perempuan.
Lantas, kenapa perempuan yang berselingkuh sering kali mendapat beban moral yang lebih besar daripada laki-laki? Laki-laki berselingkuh, wajar. Perempuan berselingkuh, dianggap hina sedemikian rupa.
Memang tidak akan ada jawaban yang memuaskan karena siapa yang tersakiti, pasti akan merasa benar. Tapi, coba kita lihat dari berbagai aspek. Pertama, penggunaan dan pemaknaan pelakor termasuk ke dalam produk budaya patriarki karena menempatkan laki-laki sebagai sosok yang kesalahannya dalam konteks perselingkuhan sering kali dianulir.
Kedua, pemahaman agama yang banal membuat masyarakat sering kali menganggap laki-laki sebagai pemimpin yang derajatnya lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan atau istri sering kali dianggap sebagai pelayan yang harus menaati perintah suami, menjaga kesuciannya, dan memuaskan keinginan para “pemimpinnya”.
Oleh karena itu, perempuan yang berselingkuh sering kali diasosiasikan sebagai perempuan hina, tidak suci, tidak bermoral, bahkan menjijikkan di mata publik sehingga layak mendapat hukuman berat ketimbang laki-laki.
Ketika ada pembenaran dari perempuan yang berselingkuh, siapa yang disalahkan? Ya istrinya karena tidak bisa mengurus suami dengan baik dan benar sehingga sang suami berpaling pada perempuan lain.
Pada akhirnya, kita akan melihat bagaimana perempuan yang berselingkuh dan perempuan yang diselingkuhi baku hantam dan saling menyalahkan, sementara laki-laki ongkang kaki karena kesalahannya dianulir dan derajatnya tetap tinggi di mata publik.
Mengkaji humanisme dan spiritualisme
Sejatinya, lelaki dan perempuan sama saja. Sama-sama setara, setidaknya di mata Tuhan dan kaum feminis. Begitu juga dengan para perempuan yang dituding sebagai pelakor dan dihukum sedemikian rupa sehingga masyarakat melayangkan kebencian secara masif terhadap mereka. Pelakor juga sama-sama manusia, sama-sama punya hak untuk mencintai dan dicintai.
Dalam kasus perselingkuhan maupun poligami, setidaknya para pelakor telah melakukan kewajibannya untuk mencintai sesama dan tidak menghakimi istri-istri sebagai kaum perempuan yang tidak bisa mengurus lelaki dengan baik sehingga para suami berpaling pada mereka. Nah, lho baku hantam lagi kan!
Jika sudah sampai pada tahap saling menyalahkan, saya cuma bisa senyum pada diri sendiri karena ternyata, masih banyak orang yang menempatkan cinta hanya sebatas ruang kepemilikan.
Tapi, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan supaya tidak melulu menjadikan pelakor seolah-olah telah merampas hak umat manusia dan menghukum mereka dengan segala stigma dan diskriminasi. Kalau koruptor masih bisa senyum dan petantang-petenteng di depan kamera setelah di-bully, itu karena dalam ranah sosial mereka punya banyak dukungan. Bandingkan dengan pelakor yang cuma punya hati untuk mengamini apa yang mereka imani!
Kita lihat dari beberapa aspek, deh.
Pertama, perempuan yang berselingkuh juga pasti merasa sedih dan salah ketika memasuki ruang-ruang perselingkuhan. Berbeda dengan koruptor yang malah bisa senang-senang ketika merampas hajat hidup orang banyak. Eh, kok jadi ngomongin koruptor? Nggak apa-apa ya!
Kedua, perempuan yang berselingkuh juga bingung lho dengan keputusan yang harus diambil. Ingat lagunya Dewi-dewi ya; ini begitu salah, tapi ini juga begitu benar untuk aku yang dilanda cintamu yang terus membakar aku. Cintamu yang akhirnya membunuhku. Tuh, mereka juga merasakan sakit dan cemburu ketika sang lelaki bersama perempuan lain, sekali pun itu istrinya sendiri. Kalau koruptor merasa bingung dan sakit nggak saat melihat rakyat miskin, kelaparan, dan tidak punya tempat tinggal? Ya jelas bingung dan sakit lah ya, kalau nggak, para koruptor pasti sehat bugar dan nggak keluar-masuk rumah sakit saat ketahuan korupsi. Ups, koruptor lagi! 🙈
Ketiga, perempuan yang berselingkuh juga layak jatuh cinta dan punya harapan seperti perempuan lainnya. Kalau perempuan lain bisa jatuh cinta dan berharap suaminya tidak lari pada perempuan lain, ya jatuh cinta pada suami orang dan punya harapan untuk menjadi pasangan sah baik secara agama maupun sosial juga tidak bisa dianggap salah jika tak ada gayung bersambut.
Hanya saja, pelakor tidak seberuntung kaum perempuan yang punya hak atas kepemilikan suami dalam surat nikah. Nah, kalau para koruptor layak jatuh cinta dan punya harapan juga nggak? Jelas! Mereka juga cinta kepada keluarga mereka dan berharap bisa membelikan anak-istri-suami mereka rumah yang mewah, mobil keluaran terbaru, dan uang yang tidak habis tujuh turunan. Jadi, jangan salahkan mereka kalau korupsi. Ehhh….kok jadi begini?
Ya, intinya, semua yang ada di langit dan bumi ini kepunyaan Tuhan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang punya kepemilikan absolut atas barang atau makhluk lainnya. Kalau kita dikasih anak, katanya itu titipan. Kalau kita dikasih istri atau suami yang baik, itu kebaikan Tuhan. Kalau suami kita cintanya dengan perempuan atau laki-laki lain, ya berarti Tuhan percaya kalau kita bisa berpikir dan berbuat bijak. Kalau kita punya rumah bagus dan harta melimpah, ya syukuri. Kalau kita nggak punya rumah dan harta melimpah, ya nggak usah korupsi.
Jika memaknai perselingkuhan dalam konteks spiritual, saya berpendapat bahwa musuh terbesar para perempuan bukanlah lelaki atau perempuan lainnya. Musuh terbesar kita sebenarnya bukan koruptor. Musuh terbesar kita sebenarnya bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri; diri kita yang haus akan kepemilikan.
Yuk, berhenti gunakan terminologi pelakor dan gunakan keputusan yang bijak untuk menghadapi setiap masalah!
Kok, jadi serupa kultum sebelum buka puasa? Sudah ah, selamat berbuka!
Saya setuju banget sama tulisan mba.
ReplyDeleteTapi, meskipun "pelakor" layak jatuh cinta dan punya harapan yg sama, ya jangan ke suami orang juga dong. Usaha lebih keras buat cari yg single gituloh. Gak apa duda beranak pun, yg penting single. Jangan mau instan.
Biar sama-sama enak dan tidak ada pihak yg tersakiti. Itu baru bisa dinamakan women empower one another.
Salam
Halo, Sahabat Sufi!
DeleteSetuju dengan pendapat Sahabat. Mungkin yang perlu dipahami oleh para perempuan adalah bagaimana menjaga integritas diri dan sesama perempuan ya supaya lebih berempati dan bisa mengambil keputusan yang tepat.
Terima kasih sudah berbagi di laman #PerempuanSufi semoga selalu menginspirasi.
Salam
❤️
Saya pernah nonton sinetron di tv yang kebetulan bagian ceritanya tentang suami yang selingkuh. Kerennya si istri, alih-alih nyerang pelakor dia malah ngajak ngobrol suaminya. Dia bilang, nggak mungkin terjadi perselingkuhan kalo suaminya nggak mau. Dan dia, nggak punya urusan sama di pelakor. Urusan dia sama suaminya. "Kita yang suami-istri, kita yang harus selesaikan urusan kita." Itu membekas banget sih di ingatan saya. Tapi judul sinetronnya lupa. 😝
ReplyDeleteHalo, Sahabat Sufi. Terima kasih sudah berkunjung ke laman #PerempuanSufi. Betul sekali, ketika terjadi perselingkuhan, perempuan atau laki-laki lain tidak ada urusannya dengan pasangan yang "dirugikan". Jadi, ya sebaiknya selesaikan urusan itu karena perselingkuhan terjadi karena adanya masalah dalam suatu hubungan, baik yang disadari maupun tidak disadari.
DeleteSemoga kita bisa selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian untuk menjadi pribadi yang semakin baik setiap harinya, ya.
Salam hangat
❤️