Di masa pandemik ini, hampir semua masyarakat mungkin akan merasa stres karena berdiam diri di rumah selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Otomatis, mencari penghiburan adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan supaya tetap waras. Sayangnya, menjadi waras memang tidak mudah. Ada banyak hal yang mesti dipikirkan saat kita ingin mendapatkan penghiburan di masa-masa sulit ini.
![]() |
© Kat Jayne from Pexels |
Setelah keresahan saya tentang lagu Aisyah Istri Rasulullah yang sempat heboh telah mereda dan liriknya kini sudah diubah dengan yang lebih representatif dan berterima di mata masyarakat, malam ini saya kembali diresahkan oleh foto-foto mugshot challenge yang beredar di beranda media sosial saya.
Baca juga: Self-harm: Jangan Hakimi Kami!
Sebagian orang menganggap itu sebagai kreativitas, tantangan untuk mengisi waktu, dan ada juga yang menganggapnya sebagai “penistaan” terhadap korban kekerasan. Lalu, bagaimana pendapat saya?
Menoreh luka
Sekitar 15 tahun lalu, saya pernah membuat pertunjukan fotografi yang memuat wajah saya penuh darah (palsu) sambil memegang pisau dapur. Bukan tanpa alasan, tentu ada makna di balik foto tersebut. Saat itu, saya tengah mengampanyekan isu anti kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Waktu kecil, saya pernah mengalami kekerasan sehingga sampai sekarang masih sering terstimulasi untuk mengingat luka masa lalu tersebut saat melihat foto-foto atau video bertema kekerasan. Itulah sebabnya saya selalu mengajak orang-orang di sekitar saya agar lebih sensitif dan aware terhadap isu tersebut.
Melakukan mugshot challenge di tengah kebosanan yang melanda ini mungkin terasa mengasyikkan bagi sebagian orang karena bisa melakukan hal baru dan melihat sisi lain dari diri kita. Tapi, pernah terpikir nggak olehmu bagaimana perasaan orang yang pernah mengalami kekerasan saat melihatnya?
Sebagian korban kekerasan akan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), yaitu serangan panik yang dipicu oleh trauma masa lalu yang menyakitkan atau mengejutkan, seperti kecelakaan, insiden yang mengancam nyawa, atau kekerasan yang disengaja. Ketika orang-orang dengan PTSD berjuang memulihkan diri, apakah kita tega menoreh luka demi kesenangan pribadi?
Menguji sensitivitas
Inilah yang saya sebut sensitivitas terhadap humanisme. Di masa-masa sulit ini, bukan cuma aku atau kamu lho yang merasa bosan dan stres, atau bahkan depresi! Ada banyak orang yang mungkin kesulitan memulihkan luka-luka masa lalu mereka sehingga sering kali terserang panic attack, ada juga yang harus bekerja keras agar tetap bisa bertahan dengan materi yang tidak seberapa di tengah pandemik ini sehingga harus tetap keluar rumah sementara yang lain #dirumahaja, dan masih banyak lagi perjuangan lain yang mungkin tidak kita tahu.
“Gue bosan, makanya butuh hiburan.”
Jika kita hanya haus akan penghiburan, ada banyak orang di sekitar kita yang haus akan pengharapan. Harapan untuk sembuh, untuk bisa bertahan hidup, dan untuk tetap waras.
Tidak ada yang salah dengan rasa bosan dan pencarian hiburan. Saya juga sama bosannya dengan kamu. Tapi, akan lebih bijak kalau setiap kali kita mencari penghiburan, kita tidak lupa dengan makna “manusia” yang ada di dalam diri kita. Akan lebih baik jika saat mencari hiburan, kita tak lupa pada hati nurani dan lebih berempati.
Yuk, sama-sama jaga jarak, jaga hati, dan jaga pikiran supaya tetap waras dan humanis!
Comments
Post a Comment