Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia sepanjang 2019. Berdasarkan catatan tersebut, terdapat temuan mencengangkan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.
© Yab Sarpote |
Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% dan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak 2.341 kasus dengan kasus terbanyak adalah inses dan kekerasan seksual. Sementara itu, kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas naik 47% dibandingkan dengan tahun lalu dan korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.
Angka tersebut merupakan peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk terus mendorong pemerintah agar dapat menekan angka kekerasan dan mencegah terjadinya kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Selain itu, kita sebagai masyarakat juga dituntut untuk terus mengembangkan kesadaran diri dan lingkungan agar lebih memahami bagaimana seharusnya bersikap ketika menghadapi ancaman atau kasus kekerasan.
Stigma dan alienasi perempuan korban kekerasan
Menyoal kesadaran masyarakat, sebuah lagu berjudul “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” baru dirilis pada 28 April 2020. Sebelum versi live lagu tersebut dijadikan latar film dokumenter More That Work (2019) karya Konde Institute bersama Ford Foundation dan Wikimedia Indonesia, lagu ini dinyanyikan pertama kali di panggung solidaritas para penyintas kekerasan seksual pada 10 Mei 2015 di titik nol Yogyakarta.
Empat tahun lalu, puluhan orang hadir dalam acara yang diselenggarakan untuk mengecam perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap EM, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ditemukan tewas di bawah Jembatan Janti, Yogyakarta. Saat itu, ditemukan bahwa para pelaku kekerasan tersebut adalah pelanggan angkringan milik EM.
Kasus kekerasan serupa tentu tidak hanya terjadi pada EM. Masih banyak perempuan lain yang menjadi korban kekerasan dan harus menghadapi berbagai macam isu sosial setelahnya, seperti cara pandang dan perlakuan mayoritas masyarakat yang bias gender terhadap korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual.
Mirisnya, kekerasan terhadap perempuan sering kali dimaklumi dan dicap bersumber dari kesalahan perempuan sendiri. Alih-alih mendapatkan pembelaan, perlindungan, dan dukungan, mereka justru mendapat tuduhan dan menjadi kambing hitam (victim blaming). Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali dianggap tidak bisa menjaga diri, tidak berpakaian dengan “sewajarnya”, dan tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat dalam berperilaku.
Dalam dunia yang mengancam seperti ini, perempuan, khususnya yang jadi korban kekerasan, harus berjuang sendiri untuk tetap bertahan. Mereka tidak hanya menghadapi trauma kekerasan dari pelaku, tetapi juga trauma kekerasan dari masyarakat. Maka, tak jarang korban kekerasan mengalami depresi dan gangguan mental, bahkan memiliki tendensi bunuh diri.
Lewat lirik, nada, dan komposisinya, lagu “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” ini mencoba untuk merepresentasikan bagaimana kondisi perempuan dalam dunia patriarki dan masyarakat yang sebagian besar menormalisasi kekerasan berbasis gender.
Video klip lagu ini berusaha memvisualisasi trauma, depresi, gangguan mental, keterasingan, dan tendensi bunuh diri yang dialami oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan. Video klip ini mencoba merepresentasikan salah satu respon fisik dan mental perempuan setelah mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Self-harm, Jangan Hakimi Kami!
Sosok di balik “Perempuan Mati di Bawah Jembatan”
Selama rentang 2015-2019, hanya ada versi live “Perempuan Mati di Bawah Jembatan”, yaitu versi yang dijadikan lagu latar dalam film dokumenter yang telah disebutkan sebelumnya. Baru pada akhir 2019, Yab Sarpote memutuskan untuk merekam lagu ini secara serius dengan merangkul Rarya Lakshito (cello) dan Sheila Maildha (keyboard) untuk memperkaya lagu yang biasanya dibawakan hanya dengan gitar akustik ini.
Proses rekaman, mixing, dan mastering “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” dilakukan di Studio Jogja Audio School oleh salah satu engineer studio tersebut, yaitu Eta. Karya visual lagu ini didesain oleh desainer grafis asal Bulgaria, yaitu Davey David, sementara seluruh produksi dan pascaproduksi video klipnya digarap secara mandiri oleh Yab Sarpote.
© Yab Sarpote |
Yab Sarpote sendiri adalah penyanyi solo dan pengarang lagu bergenre pop, folk, balada, dan akustik. Dia memulai debut solonya pada April 2015 dengan merilis single berjudul “Jangan Diam, Papua” versi akustik trio yang termasuk ke dalam album kompilasi Papua Itu Kita (2015), yakni sebuah album solidaritas untuk Papua Barat bersama musisi-musisi lain seperti Iksan Skuter, Sisir Tanah, Last Scientist, Simponi, dan Siksa Kubur feat. Morgue Vanguard.
Audio lagu ini dapat disimak di iTunes, Spotify, dan platform digital lainnya. Sementara itu, video klipnya dapat ditonton di YouTube.
Comments
Post a Comment