Bra dan Feminsime © Pixabay |
Saat kuliah, saya pernah mendengar seorang dosen berkata, “Males saya sama si X. Dia bilang, feminis nggak pakai beha.”
Itulah momen pertama saya menyadari bahwa saya tertarik dengan isu feminisme, termasuk dengan konteks pakai-atau-tak-pakai-beha. Saat itu, saya berpikir kalau memang benar ada hubungan signifikan antara feminisme dan tak-pakai-beha. Tapi, asumsi saya saat itu tentu saja tidak tepat karena saya mengira kalau untuk menjadi feminis, seorang perempuan perlu melepas atribut yang satu itu.
Asal muasal bra
Dirangkum dari Historia, bra pertama kali diluncurkan di Paris pada 1889. Aksesori yang satu ini dibuat oleh seorang pengusaha pakaian bernama Herminie Cardolle dengan bentuk berupa korset. Kata “bra” sendiri berasal dari kata brassiere yang digunakan pertama kali oleh majalah Vogue pada 1907.
Kebiasaan menggunakan bra ini sempat hilang saat Perang Dunia I karena industri militer negara-negara yang terlibat perang menggunakan logam pada korset untuk dialihfungsikan sebagai bahan pembuatan peralatan perang.
Pada 1917, Bernard Baruch selaku Ketua Dewan Industri Perang Amerika mengimbau kaum perempuan untuk menghentikan penggunaan korset karena dinilai membahayakan kesehatan. Benda ini membuat orang susah bernapas dan bahkan menyebabkan terjadinya dislokasi organ. Hasilnya, 28.000 ton logam berhasil digunakan untuk keperluan industri perang dan cukup untuk membuat dua buah kapal perang besar.
Momen inilah yang kemudian membuat Mary Phelps Jacob, seorang sosialita Amerika, memperkenalkan bra modern pertama pada 1910. Bersama pelayannya, dia membuat bra dari dua saputangan sutra yang disatukan dengan pita merah muda. Desain ini menjadi populer di lingkaran pergaulan Jacobs dan dipatenkan pada 1914.
Perubahan bra dari masa ke masa
Saat bra ditemukan, bentuk tubuh montok yang dimodifikasi dengan menggunakan korset masih menjadi tren fashion di kalangan kaum perempuan. Tapi, tren tersebut bergeser menjadi tubuh kurus dengan dada rata sehingga busana yang digunakan pun jauh lebih praktis ketimbang sebelumnya. Apalagi, saat itu banyak perempuan yang mulai keluar dari ranah domestik untuk kemudian aktif bekerja seperti kaum laki-laki.
Bra dengan bentuk modern ini kemudian diproduksi secara massal pada 1920-an tanpa mempertimbangkan ukuran payudara tiap perempuan. Dua tahun kemudian, barulah perempuan bisa mengenakan bra sesuai ukuran masing-masing setelah Ida dan William Rosenthal merevolusi bentuk bra dengan ukuran abjad yang kita kenal sekarang.
Bra-burning
Bra menjadi bagian dari atribut perempuan yang digunakan sehari-hari sampai akhirnya muncul sebuah gerakan revolusi di Amerika. Gerakan revolusi ini dimulai saat buku Feminine Mystique karya Betty Friedan terbit pada 1963 mempertanyakan peran perempuan dalam sistem masyarakat saat itu.
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan Time, buku tersebut berisi narasi ketidakpuasan ibu rumah tangga kelas menengah dan peran baku perempuan di ranah sosial. Paradigma inilah yang kemudian menghadirkan National Organization for Women pada 1966 sebagai organisasi perempuan pertama yang mengambil peran politik di dalamnya.
Gerakan politis kaum perempuan pun semakin melebar sampai kemunculan Women’s Liberation Movement yang menuai kontroversi. Gerakan feminisme gelombang kedua ini diikuti oleh sekitar 100 aktivis perempuan berusia 20-an yang turun ke Atlantic City pada musim panas 1968 untuk memprotes apa yang mereka sebut “pelelangan ternak” dalam kontes Miss America.
Protes ini dilakukan atas dasar pemikiran bahwa kontes Miss Amerika lebih kepada afirmasi standar kecantikan dan penampilan kaum perempuan terkait kapitalisme, perang, dan ras daripada pemberdayaan perempuan.
Meski syarat “sehat dan wajib kulit putih” bagi kontestan sudah ditiadakan, kontes ini masih belum memasukkan satu pun kontestan Afro-Amerika sehingga Alix Kates Shluman, aktivis sekaligus penulis pada masa itu menyebut kontes Miss Amerika sebagai cara untuk mengobjektivikasi perempuan, memperlakukan perempuan sebagai “daging” dan objek seksual dengan konteks rasisme yang kental.
Selain mengusung berbagai poster dengan gambar-gambar suffragists abad ke-19, seperti Susan B. Anthony dan Sojourner Truth yang bertuliskan "Pahlawan Kami", para demonstran juga melemparkan ikon-ikon atau benda-benda yang dianggap sebagai pengekang kaum perempuan dan penegas mitos kecantikan dalam dunia patriarki, seperti peralatan make up, high heels, dan bra, ke dalam tong yang mereka sebut “Tempat Sampah Kebebasan”.
Tapi, narasi itu kemudian berkembang menjadi mitos bra-burning yang dipercaya banyak kelompok antifeminis terhadap gerakan feminisme saat itu sehingga anggapan “feminis tidak memakai bra” menjadi populer di beberapa kalangan. Padahal, pelepasan dan pembakaran bra di sini hanyalah simbol perlawanan kaum perempuan terhadap stereotip perempuan dan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan.
Sayangnya, para kritikus menilai bahwa aksi tersebut hanyalah tindakan menggembar-gemborkan kebebasan seksual yang justru membuka peluang bagi kaum laki-laki untuk mengobjektivikasi mereka. Bahkan, seorang legislator Illinois pada masa itu sempat mengatakan bahwa aksi melepas dan membakar bra hanyalah aksi perempuan-perempuan bodoh.
Free The Nipple
Meski bra-burning hanyalah mitos, demonstrasi berskala kecil dengan memprotes ikon-ikon yang dianggap mengekang kaum perempuan masih tetap terjadi pada era 1970-an. Seorang feminis intelektual bernama Germaine Greer bahkan mengatakan bahwa bra adalah sebuah ciptaan yang menggelikan. Untuk mendukung aksi tersebut, banyak perempuan yang kemudian memutuskan untuk tak lagi mengenakan bra.
Simbol perjuangan perempuan terhadap kebebasan tidak pernah padam. Pada 2014, kampanye melepas bra dilakukan oleh Lina Esco yang juga sutradara film Free The Nipple. Idenya muncul setelah ia mendapat berita terkait penangkapan perempuan-perempuan bertelanjang dada di 13 negara bagian AS yang sebenarnya telah melegalkan hal tersebut.
Free The Nipple sendiri sebenarnya merupakan bagian dari misi mengklaim kembali tubuh, seksualitas, dan keamanan kaum perempuan. Gagasan ini menyimbolkan bahwa budaya masyarakat terlalu rapuh untuk melihat puting perempuan sehingga mereka terlarang untuk bertelanjang dada karena puting perempuan dianggap “berbahaya”.
Tapi, tidak berhenti hanya dalam bentuk film, Free The Nipple juga bahkan menjadi salah satu kampanye populer di media sosial sehingga sejumlah perempuan di Argentina sempat melakukan aksi melepas bra sebagai protes terhadap larangan bertelanjang dada di pantai bagi perempuan.
Jadi, gimana pendapatmu?
Comments
Post a Comment