Mungkin kita sering mendengar cerita tentang anak usia belasan tahun di negara-negara maju yang diperbolehkan pergi ke luar rumah atau menjalani hidup mandiri dan terlepas dari orang tua mereka.
Di Indonesia, tentu budaya seperti ini jarang sekali diizinkan. Bahkan, seseorang yang berusia dewasa pun masih tetap dianggap sebagai tanggung jawab orang tua ketika mereka belum menikah.
Akibatnya, banyak anak yang memutuskan untuk menikah muda supaya terbebas dari “penjara” yang dibuat oleh orang tua dan ada juga yang justru menjadi “anak mama” karena segala sesuatunya terbiasa diputuskan oleh orang tua.
Toxic Parents © Andreas Wohlfahrt via Pexels |
Rata-rata, mitos “anak durhaka” menjadi senjata andalan bagi orang tua untuk memutuskan apa saja hal yang perlu atau tidak dilakukan oleh anak tanpa penjelasan berterima tentang kenapa anak tidak atau harus melakukan tindakan tersebut.
Sebagai contoh, ketika seorang anak meminta izin kepada orang tua untuk pergi hangout bersama teman-temannya, ada orang tua yang dengan tegas mengatakan “tidak” tanpa penjelasan yang bisa dimengerti oleh si anak.
Ketika si anak menjadi kritis dan meminta penjelasan yang berterima, alih-alih menjelaskan dengan saksama sehingga mudah dipahami, orang tua hanya akan berkata, “Mau jadi anak durhaka kamu, nggak nurut sama orang tua?”
Oke, mungkin tidak semua anak merasakannya, tapi masih banyak anak-anak yang dididik dengan cara seperti itu. Meskipun pada akhirnya si anak tahu bahwa larangan dan keharusan yang diberikan orang tua adalah demi kebaikan sang anak, apakah dalih tersebut lantas membebaskan hak anak untuk mendapat penjelasan dari orang tua mereka sehingga tidak berhak memilih dan memutuskan?
Inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah toxic parents.
Bukan sekadar kekerasan
Banyak orang mengira kalau toxic parents adalah kecenderungan orang tua dengan gangguan kepribadian untuk melakukan kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak sehingga mengakibatkan anak mengalami trauma.
Tapi, orang tua yang terlihat normal, seperti memenuhi kebutuhan anak, tidak menyakiti fisik anak, dan melakukan upaya terbaik untuk anak juga bisa menjadi racun bagi perkembangan kepribadian anak.
Nah, berikut ini adalah ciri-ciri toxic parents yang dirangkum dari berbagai sumber:
#1: Berpusat pada diri sendiri
Orang tua yang berpusat pada diri sendiri sering kali lupa bahwa anak mereka bukanlah diri mereka sewaktu kecil sehingga kepribadian mereka tidak bisa disamakan.
Menurut PsychCentral, sebagian besar orang tua yang berpusat pada diri sendiri cenderung mengutamakan kebutuhan diri sendiri untuk menjadi orang tua yang baik tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
Mereka tidak mempertimbangkan bagaimana perilaku otoriter berdampak buruk terhadap perkembangan anak sehingga segala sesuatu yang harus dilakukan oleh anak ditentukan berdasarkan sudut pandang orang tua saja. Padahal, baik menurut orang tua belum tentu baik bagi perkembangan psikologis anak.
#2: Kurang menghargai anak
Penghargaan bukan cuma sebatas pujian. Membandingkan anak dengan anak lain, adik atau kakaknya, bahkan dengan diri sendiri (orang tua sewaktu kecil) akan membuat kepribadian anak terluka sehingga mereka merasa tidak cukup baik untuk bisa membuat orang tua bangga.
Ekspektasi yang berlebihan akibat keinginan orang tua untuk puas sebagai orang tua yang baik sering kali mengabaikan perasaan anak untuk dihargai. Akibatnya, banyak anak yang merasa serbasalah ketika keinginan orang tua terlalu membebani hidup mereka.
#3: Reaktif secara emosional
Orang tua toksik sering kali kesulitan saat harus mengendalikan emosi. Mereka cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap sesuatu sehingga terlihat dramatis dan tidak dapat diprediksi.
Oleh karena itu, mereka juga terbiasa mengontrol apa yang harus dan tidak boleh dilakukan anak agar terhindar dari reaksi emosional yang berlebihan. Salah satu cara yang biasa dilakukan orang tua toksik untuk mengontrol anak-anak mereka adalah dengan menggunakan uang dan rasa bersalah.
Misalnya, “Kamu sudah disekolahin tinggi-tinggi, bukannya nurut sama orang tua!” atau “Kamu mau jadi anak durhaka yang membantah orang tua?”
Apa pun dalihnya, orang tua toksik harus selalu menang di hadapan anak-anak mereka. Akibatnya, orang tua menjadi lebih keras dan agresif sehingga cenderung mem-blow up kesalahan yang dilakukan anak.
#4: Manipulatif dan menuntut terlalu banyak
Orang tua toksik juga sering memutarbalikkan kebenaran supaya mereka terlihat baik di mata anak-anak. Mereka menggunakan rasa bersalah, penolakan, dan meremehkan pendapat anak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Hal inilah yang kemudian membuat orang tua cenderung menuntut anak untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Bagi sebagian orang tua, anak adalah aset yang dapat dipergunakan kapan pun dibutuhkan sehingga tidak sedikit orang tua yang menginginkan anak-anak untuk selalu melayani kebutuhan mereka.
#5: Ruang kepemilikan
Ketika anak menjadi dewasa, tentu ada ruang privasi yang harus dijaga. Tapi, tidak sedikit orang tua yang merasa “memiliki” anak-anak mereka sehingga menganggap semua hal tentang anak wajib diketahui oleh orang tua.
Banyak orang tua yang merasa punya hak untuk membuka ruang privasi anak sehingga anak merasa tidak nyaman berada di dekat mereka. Ketika anak menjauh, orang tua akan merasa diabaikan dan tidak dihargai.
Ruang kepemilikan ini juga sering membuat orang tua bergantung sepenuhnya kepada anak-anak mereka sehingga anak-anak sulit melangkah untuk mencapai cita-cita mereka karena ingin menjaga orang tua dan takut kalau orang tua mereka merasa tersakiti karena tidak dilayani dengan baik.
Benih rasa takut dan bersalah, serta kewajiban yang membebani
“Surga di telapak kaki ibu” mungkin sudah mengakar kuat di dalam budaya parenting masyarakat Indonesia sehingga segala hal yang diucapkan dan diperintahkan oleh orang tua akan selalu menjadi kewajiban yang harus dipenuhi sang anak.
Dalam pola asuh seperti ini, anak-anak tidak diberikan hak untuk berpendapat dan berdiskusi dengan orang tua untuk mendapatkan pemahaman dan solusi terbaik saat menghadapi permasalahan antara orang tua dan anak.
Akibatnya, tidak jarang anak tumbuh menjadi pribadi yang penakut atau penurut untuk bisa membahagiakan orang tua. Tapi, ada juga anak yang justru menjadi pemberontak karena merasa integritas mereka dilukai oleh orang tua.
Untuk menghindarinya, orang tua perlu menerapkan aktivitas dan komunikasi yang lebih ramah anak sehingga mereka mampu memiliki integritas yang tinggi tanpa perlu mencederai orang tua atau pun diri mereka sendiri.
Storytelling untuk menumbuhkan integritas anak
Integritas bukan hanya tentang kejujuran atau kepercayaan, melainkan juga bagaimana seorang anak bisa mengambil setiap keputusan dengan tepat. Menurut Focus on The Family, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menumbuhkan integritas pada anak adalah melalui storytelling.
Dengan bercerita, anak akan mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu yang benar dan salah melalui pengalaman mendengarkan, membayangkan, dan mempelajari sesuatu secara personal.
Saat bercerita, anak dan orang tua akan berdiskusi memperbincangkan sesuatu. Momen ini memungkinkan anak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat secara jujur tanpa takut akan dihakimi. Di lain pihak, mereka juga akan mendengarkan pendapat dan nasihat orang tua bukan sebagai sebuah kewajiban, melainkan sebagai pelajaran yang diambil menurut pengalaman personal mereka.
Kalau sewaktu kecil kita pernah menerima perlakuan toksik dari orang tua, saatnya untuk mengubah kebiasaan tersebut dan menjadikan anak-anak kita memiliki perkembangan mental yang lebih baik lagi. Selamat hari orang tua sedunia!
Comments
Post a Comment