Sejak kecil, orang tua saya sering kali memarahi saya jika saya ketahuan bangun siang dan tidak membantu mengerjakan urusan domestik. Sementara itu, adik saya (laki-laki) bisa tertidur lelap sampai jam berapa pun tanpa perlu memikirkan beban membantu-ibu-memasak-di-dapur.
Sejak saat itu, saya terus berkutat dengan kegelisahan atas ketidakadilan gender yang terjadi pada saya dan adik saya. Sampai suatu hari, ayah saya membangunkan saya dengan kalimat, “Bangun dong, masa anak gadis bangun siang. Mendingan beres-beres, tuh!”
Kemarahan saya tidak terbendung dan saya pun mengatakan, “Bukan cuma anak gadis yang harus bangun pagi. Bukan cuma anak gadis yang harus bantu beres-beres rumah.”
Meski sempat menimbulkan sedikit huru-hara, akhirnya orang tua saya menyadari bahwa pekerjaan domestik bukan semata-mata tugas istri dan anak perempuan. Kalau memang ingin mendidik kebaikan, tidak usah dibedakan mana peran untuk anak laki-laki ataupun perempuan.
Tugas Istri © Pexels |
Bagaimana pembagian tugas dalam rumah tangga?
Berbicara soal hubungan dalam pasangan atau pernikahan memang gampang-gampang susah, apalagi kalau kita sudah terbiasa mendengar atau bahkan mempraktikkan suatu budaya dalam kurun waktu yang lama.
Beberapa waktu lalu, beberapa Sahabat Sufi sempat meminta saya untuk membahas tugas seorang istri dalam kehidupan rumah tangga. Sementara itu, beberapa teman sempat bertanya pada saya, “Salah nggak sih kalau istri lagi malas masak, terus dipaksa masak oleh suami?” atau “Aku lagi nggak enak badan, jadi nggak bisa masak. Dosa nggak sih?” dan segudang pertanyaan lain terkait tugas istri dalam rumah tangga.
Belakangan, muncul tagar yang sedikit memicu perdebatan, yaitu #bekaluntuksuami. Penjelasan tentang polemik ini bisa kamu baca di artikel Apa yang Salah dengan #BekalUntukSuami ya!
Selain tagar tersebut, ada juga beberapa utas di Twitter yang membahas tentang keharusan ibu rumah tangga untuk mendapatkan gaji dan faktor penghambat berkembangnya seorang perempuan setelah menikah, yaitu beban urusan domestik.
Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian terhadap ibu rumah tangga yang rata-rata bekerja selama 14 jam per hari, tujuh hari dalam seminggu. Sementara di kantor, rata-rata orang hanya menghabiskan waktu 8 jam per hari, lima hari dalam seminggu.
Menurut Departemen Tenaga Kerja AS, sebanyak 70 persen ibu dengan anak di bawah usia 18 tahun berstatus sebagai karyawan. Artinya, kebanyakan ibu memiliki peran ganda dan harus menyeimbangkan antara pekerjaan di kantor dengan di rumah.
Mengutip Bincang Muslimah, survei nasional yang dilakukan kepada 2.041 ibu rumah tangga (IRT) di 34 provinsi mengungkapkan bahwa rata-rata IRT menghabiskan waktu 13,5 jam per hari untuk melakukan pekerjaan domestik. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan rata-rata jam kerja perempuan di Asia Pasifik yang hanya mencapai 7,7 jam per hari.
Meski banyak orang menolak gagasan soal keharusan IRT untuk mendapatkan gaji, banyak juga perempuan yang mengamini beban ganda ini, terutama mereka yang sudah melek patriarki. Mungkin kamu yang membaca tulisan ini juga ada yang sepakat atau tidak dengan hal itu. Ada yang menganggap bahwa pekerjaan domestik adalah tugas istri sehingga istri solehah sudah sepatutnya bekerja tanpa pamrih atau ada juga yang menganggap tugas domestik sebagai beban dan ketidakadilan dalam hubungan rumah tangga.
Beberapa pihak mungkin menyayangkan kalau pekerjaan domestik bagi seorang istri tak ubahnya pekerjaan seorang asisten rumah tangga (ART). Lantas, apakah IRT yang posisinya dianggap jauh lebih tinggi dari ART juga sudah seharusnya mendapatkan gaji?
Menyoal perkara ini, saya menilai kalau kita tidak bisa membedakan posisi antara IRT dan ART karena keduanya manusia dan tidak layak dibandingkan dalam konteks posisi mana yang lebih tinggi. Lagipula, ART adalah “asisten”, seseorang yang bertugas membantu tugas orang lain secara profesional. Artinya, seorang asisten juga mesti dihargai, baik secara personal maupun profesional.
Balik lagi ke urusan rumah tangga, saya menilai bahwa tugas istri dalam konteks rumah tangga itu hanya satu: mencintai suami dan keluarganya. Begitu juga dengan suami, tugasnya adalah mencintai istri dan keluarganya.
Dalam urusan mencintai, tentu tiap orang punya definisi dan implementasi “mencintai” yang beragam. Ada yang mencintai dengan cara melayani pasangan, ada yang mencintai dengan cara memberi nafkah, ada yang mencintai dengan selalu mendampingi, dan lain sebagainya. Jadi, memberi nafkah bukan satu-satunya cara suami mencintai istri. Begitu juga dengan peran domestik bukan satu-satunya cara istri mencintai suami.
Jika sebuah pernikahan dilandasi dengan cinta, pembagian tugas tentu tidak akan menjadi urusan rumit dalam rumah tangga. Tidak akan ada perasaan tidak adil karena kedua belah pihak merasa saling mencintai dan berkeinginan untuk sama-sama membahagiakan pasangannya. Jadi, mau istri yang mencari nafkah atau suami yang bekerja di rumah pun ya tidak ada masalah selama keduanya sama-sama saling menghargai dan merasa bahagia dengan peran masing-masing.
Tugas istri dalam konteks ajaran Islam
Oke, kalau menyoal tugas dengan pendekatan cinta dianggap tidak sesuai dengan agama, mari kita lihat dari sudut pandang agama. Setiap agama tentu memiliki aturan masing-masing tentang pernikahan. Dalam tulisan ini, kita hanya akan membahas tugas istri menurut ajaran Islam (kalau semua agama dibahas, artikel ini mungkin tidak akan pernah selesai, hehe)
Dalam Islam, tugas seorang istri tercantum dalam surat An Nisa ayat 34 yang berbunyi:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dalam ayat tersebut, kepatuhan perempuan bukan dimaksudkan kepada suaminya, melainkan kepada perintah Allah SWT. Menaati dan mengikuti apa yang disampaikan suami bukan semata-mata karena suami, melainkan karena sang suami telah benar-benar mengajak istri pada kebaikan dan perintah Allah.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat Islam di Indonesia menelan mentah-mentah apa yang diungkapkan dalam ayat tersebut, terutama ketika melihat kalimat “Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan)”. Ayat ini sering kali dijadikan “kekuatan” bagi kaum laki-laki untuk melemahkan perempuan dan memosisikan perempuan di bawah mereka.
Jika kita ingin menyoroti tugas istri dalam ayat tersebut, maka kita juga perlu menyoroti tugas suami dalam ajaran Islam. Dalam Islam, pernikahan adalah ladang amal bagi suami dan istri sehingga sudah sepatutnya kedua belah pihak sama-sama memberikan yang terbaik untuk keluarga. Mengemban tugas sebagai kepala keluarga untuk memberikan nafkah lahir dan batin, melindungi istri dan keluarganya, memberikan teladan kepada keluarga, dan menjadi garda terdepan keluarga adalah kewajiban seorang suami.
Jadi, bagi para suami yang sering meminta istri untuk menaati perintahmu, mbok ya lakukan dulu kewajibanmu itu ya. Terus, gimana dengan tugas istri? Apakah benar istri berkewajiban untuk melakukan pekerjaan rumah tangga?
Para ulama empat mazhab menegaskan bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah tugas istri karena pada dasarnya, Islam memberikan penghormatan yang begitu besar kepada seorang istri.
Pertama, menurut pandangan mazhab Hanafi, Al Imam Al Kasani dalam kitab Badaiush Shanai berpendapat, “Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri tidak boleh dipaksa. Suami diperintahkan untuk pulang membawa makanan siap santap.”
Kedua, Ad-Dardir dari mazhab Maliki dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan, “Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat. Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya.”
Ketiga, Al Imam Asy-Syairazi dari mazhab Syafii dalam kitab Al Muhadzdzab mengatakan, “Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya untuk suami karena ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
Terakhir, Imam Ahmad bin Hambal dari mazhab Hambali mengatakan, “Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat pada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur karena akadnya hanya kewajiban pelayanan seksual.”
Jadi, sudah sangat jelas kalau mengerjakan urusan rumah tangga bukan tugas istri, melainkan tugas suami. Dalam implementasinya, tentu istri diperbolehkan membantu suaminya, bukan menjadi penanggung jawab utama. Sayangnya, budaya patriarki di Indonesia telah mengonstruksi penugasan ini sedemikian rupa sehingga perempuan seolah-olah terlahir dengan kodrat untuk mengurus pekerjaan rumah tangga.
Menginspirasi sekaliii....aq baru tau banyak hal dari tulisan kamu Dee.
ReplyDeleteYeay, terima kasih sudah jadi supporter setia #PerempuanSufi ❤️
DeleteTulisan2 di blog Perempuan Sufi bener2 bisa membahasakan isi pikiran sy yg kata orang2 rumit dan ribet banget..Hhehe..Makasih banyak ya Sis sdh berbagi..Secara ga langsung,,sy merasa akhirnya ada jg yg bs 'mengerti' sy..
ReplyDeleteIya, Ka. Makasih juga sudah support dan mengapresiasi #PerempuanSufi 🌻
DeleteBagus bener mb tulisan kamu. Aku jadi dapat wawasan baru karena baru ngeh maksud surat annisa itu tentang mentaati perinta Allah. Semangat terus nulisnya ya mb ^^
ReplyDeleteHalo, Kak. Terima kasih ya sudah mampir ke laman #PerempuanSufi.
DeleteSemoga tulisan-tulisan lain juga bermanfaat ya. Salam hangat ❤️