Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan sebuah pesan singkat dari seorang teman yang turut meramaikan media sosial dengan mengepos beberapa foto bertagar #bekaluntuksuami. Awalnya, teman saya ini hanya berniat untuk berbagi resep masakan kepada teman-temannya yang juga suka memasak bekal untuk suami mereka.
Alangkah terkejutnya teman saya ini waktu postingannya dijadikan sebagai objek cuitan oleh akun-akun yang mengatakan bahwa thread tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggengan budaya patriarki. Apa benar begitu?
Tagar #bekaluntuksuami © Pexels |
Patriarki itu apa sih?
Dalam thread tersebut, muncul perdebatan antara kaum perempuan yang ikut meramaikan tagar tersebut dengan beberapa pihak yang menganggap keberadaan utas ini sebagai bahan pembenaran bagi budaya patriarki agar kaum perempuan mengabdi pada suaminya dan harus lihai dalam urusan domestik.
Oke, sekarang mari kita berbicara soal esensi patriarki. Dalam KBBI, disebutkan bahwa istilah tersebut mengacu pada perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sementara itu, dalam Merriam Webster, disebutkan bahwa patriarki merupakan perilaku suatu kelompok atau masyarakat yang diatur oleh supremasi laki-laki. Artinya, laki-laki adalah pihak yang berkuasa atas perempuan, sedangkan perempuan hanya dapat bergantung kepada hukum yang telah ditentukan oleh laki-laki tersebut.
Dalam Wikipedia, patriarki didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Menyoal patriarki, ada beberapa pihak yang mungkin berkeyakinan bahwa laki-laki terlahir sebagai pemimpin sehingga perempuan wajib menaati laki-laki. Tapi, ada perbedaan signifikan antara “kepemimpinan” dengan “supremasi”.
Dalam kepemimpinan, seorang pemimpin memegang tanggung jawab untuk memandu, menjadi teladan, atau melakukan hal-hal baik lainnya sesuai dengan tujuan kelompok sosial tertentu. Sementara dalam konsep kekuasaan atau supremasi, ada pihak yang dianggap kuat dan bertindak sebagai penguasa bagi pihak lain yang dianggap lemah. Secara umum, kekuasaan dipahami sebagai pengaruh yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain.
Paksaan vs kesepakatan
Dalam tulisan ini, mari kita bersepakat pada pemahaman di atas dulu. Kalau ada pandangan yang berbeda soal kedua istilah di atas, mari kita berbicara di kafe atau pegunungan supaya lebih syahdu ya.
Kembali ke patriarki dengan esensi supremasi di dalamnya, maka kita juga akan menemukan istilah dominasi dan hegemoni. Dalam sistem patriarki, pihak laki-laki berupaya untuk menjadikan gagasannya sebagai prioritas dengan cara mendominasi dan menghegemoni. Artinya, ada paksaan yang hadir dalam perilaku patriarkis.
Sederhananya, kita akan menggunakan dua kata kunci: paksaan dan kesepakatan. Suatu tindakan dikatakan patriarkis jika pihak laki-laki melakukan sesuatu terhadap pihak perempuan dengan paksaan. Jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka kita tidak bisa menyebutnya sebagai tindakan patriarkis.
Feminisme adalah soal kebebasan memilih, bukan menang atau kalah
Mengutip laman Kompas.com, peneliti isu gender sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rouli Esther Pasaribu menyebutkan bahwa feminisme menghendaki perempuan untuk dapat memilih apa yang berhak dilakukannya tanpa kontrol atau tekanan dari pihak lain.
Feminisme merupakan upaya yang dilakukan untuk memberdayakan kaum perempuan agar dapat memilih sesuatu sesuai kehendak dan kesadarannya. Jadi, kalau perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan ingin membuatkan bekal pada suami ya tidak usah dipermasalahkan karena tindakan tersebut lahir dari kesadaran, bukan paksaan.
Sejatinya, feminisme bukanlah kompetisi antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada urgensi untuk memperjuangkan kemenangan perempuan atas laki-laki. Yang diperjuangkan oleh feminisme adalah hak hidup manusia, bukan ego manusia. Jadi, mari kita kembali pada makna feminisme yang sebenarnya, yang lebih mengedepankan kemanusiaan ketimbang kekuasaan.
Kontra #bekaluntuksuami apakah salah?
Jika kita melihat tagar ini secara humanis praktis, maka ini bukanlah sesuatu yang layak diperdebatkan karena siapa pun berhak untuk memasak dan mengomunikasikan perasaannya dalam bentuk apa pun, termasuk memasak.
Yang jadi masalah adalah jika ada pihak-pihak patriarkis yang menganggap tagar tersebut sebagai alat untuk melanggengkan patriarki. Misalnya, dengan melihat tagar ini sebagai afirmasi bahwa perempuan ideal adalah perempuan yang melayani suaminya dengan cara memasak (aktivitas domestik lainnya) atau ada pihak lain yang merasa bahwa tagar tersebut merupakan bukti bahwa aktivitas domestik memang merupakan kewajiban perempuan.
Bagi saya, bersikap kritis tidaklah salah. Tapi, mungkin harus dilihat dulu konteksnya seperti apa. Apakah netizen yang menggunakan tagar tersebut benar-benar bertendensi untuk melanggengkan budaya patriarki atau hanya ingin memperlihatkan pilihannya sebagai sosok manusia yang bahagia dengan cara tersebut.
Ada pendapat lain? Share di kolom komentar ya!
menurut aku sih sah-sah aja bawain bekal buat suami. nggak ada yang salah. cuman dasar netijen aja yang terlalu dibesar - besarkan.
ReplyDeleteYup, betul banget kalau bikin bekal untuk suami adalah hak setiap orang.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung dan berbagi opini dengan #PerempuanSufi 🌻