Beberapa waktu lalu, saya mengikuti dialog spiritual dan meditasi bersama Anand Krishna. Dalam dialog tersebut, kami membahas bagaimana male ego memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk spiritual.
Kali ini, kita akan terlebih dahulu berbicara soal apa itu male ego atau ego laki-laki dan kenapa pengaruhnya begitu kuat dalam kehidupan kita.
Male Ego © Lalesh from Pexels |
Ego laki-laki menurut para pakar
Menurut para psikolog dan psikoterapis akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ego pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai “diri”. Sementara itu, Sigmund Freud mendefinisikan ego sebagai bagian dari pikiran yang bertanggung jawab untuk bertindak sebagai "mediator" antara kekuatan id dan dorongan superego. Ego tidak hanya berhubungan dengan diri sendiri, tapi juga orang lain sehingga ia berperan penting dalam memelihara hubungan antarmanusia.
Sementara itu, ego laki-laki bukan hanya sekadar refleksi individu, tetapi juga definisi budaya tentang maskulinitas dan ide-ide tentang bagaimana laki-laki harus berpikir dan bertindak. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa identitas laki-laki dibentuk oleh pengaruh sosial.
Dalam tulisan yang berjudul The Big, Fat Male Ego yang dipublikasikan The Hindu, Sudha Umashanker mengutip beberapa pandangan para ahli terkait male ego atau ego laki-laki.
Psikolog Shantha Manikantan mengatakan, “Kami melihat laki-laki memiliki penilaian berlebihan atas kemampuan dan kepentingan mereka di mana-mana, baik di rumah, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial. Kebanyakan orang menganggap ego laki-laki sebagai isu superioritas. Tapi, hal itu juga bisa berasal dari permasalahan kompleks yang berganti-ganti antara superioritas dan inferioritas, yang kemudian menghasilkan keinginan untuk mengesankan orang lain.”
Sementara itu, penulis, psikiater, dan konsultan hubungan Vijay Nagaswami mengatakan, “Ego laki-laki mungkin sedikit berlebihan. Dalam masyarakat patriarki kami, perhatian tak beralasan yang diberikan kepada anak laki-laki telah menjadikannya masalah dalam hubungan, bahkan di abad ke-21.”
Sejalan dengan itu, profesor dari Bangalore Shekar Seshadri mengatakan, “Anak laki-laki dikondisikan untuk percaya bahwa kekuasaan ada di dalam mereka. Juga, mereka diharapkan untuk melindungi kehormatan keluarga dan mengendalikan perempuan. Itulah yang memberi mereka dorongan ego.”
Perempuan yang dianggap melukai
Mengutip wawancara psikolog Jay Carter dan Michelle Burford dalam CNN, perempuan memiliki pengaruh terhadap laki-laki lebih besar daripada apa yang mereka pikirkan. Selama 26 tahun menjadi konsultan hubungan, Carter mengatakan bahwa harga diri anak laki-laki akan diperoleh dari pengalaman bersama ibunya. Ketika anak perempuan berusaha tumbuh menjadi seperti ibunya, maka anak laki-laki akan berusaha tumbuh menjadi seseorang yang dibanggakan oleh ibunya. Itulah sebabnya, laki-laki cenderung “merasa harus kuat” dan cenderung rentan terhadap pendapat perempuan soal dirinya.
Selain itu, doktrin yang juga ditanamkan sejak kecil tentang “laki-laki tidak boleh menangis” dan “harus kuat” terus mengakar sampai dewasa sehingga kebanyakan laki-laki cenderung mengabaikan perasaannya dan malu untuk mengakui kelemahannya di hadapan kaum perempuan.
Lebih lanjut lagi, Carter juga mengatakan bahwa laki-laki lebih berorientasi pada kata. Meski perempuan dianggap lebih verbal, penelitian tentang perbedaan gender membuktikan bahwa laki-laki cenderung lebih mudah mengartikan suatu kata secara harfiah dan menginterpretasikannya secara general.
Misalnya, ketika seorang istri meminta suaminya untuk membawakan sesuatu sepulang kerja dan si suami tidak mengabulkannya, si istri mungkin akan berkata, “Kok kamu nggak menepati janji?”
Maka, kata yang akan diartikan oleh suami adalah “tidak menepati janji” secara harfiah sehingga muncul pemikiran, “Kalau saya nggak menepati janji, ya saya nggak akan menikahi kamu.” atau “Kalau saya nggak menepati janji, saya begini dan begitu…” dan segudang pembenaran lain yang membuktikan bahwa dirinya adalah lelaki yang menepati janji dan ini hanyalah kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dalam kasus ini, laki-laki akan merasa harga dirinya terluka sehingga berusaha mengeluarkan “kekuatannya” dengan berbagai cara. Padahal, ya mungkin si istri hanya meminta dia minta maaf dan tidak mengulanginya lagi. Tapi, laki-laki akan beranggapan bahwa istrinya tidak menghargai jerih payahnya selama ini.
Ego yang rapuh
Kita hidup dalam budaya yang telah mempromosikan supremasi laki-laki sejak awal. Laki-laki dibiarkan memiliki banyak keistimewaan, sedangkan perempuan dibiarkan untuk tunduk dan patuh terhadap aturan yang dibentuk oleh masyarakat (yang tentu saja mayoritas atau bahkan semuanya laki-laki).
Apakah hak istimewa ini memang ada di dalam kitab suci atau ajaran agama? Apakah setiap budaya adat mempromosikan hak istimewa laki-laki?
Dalam Psychology Today, disebutkan bahwa hak istimewa laki-laki yang berkembang selama beberapa tahun ke belakang bukan merupakan bagian dari lingkungan sosial leluhur kita. Secara historis, kelompok penduduk asli Amerika bahkan memiliki pemimpin perempuan dalam mengambil kebijakan komunitas. Di dalam budaya lokal, hampir semua suku memiliki “dewi” yang dianggap sebagai manifestasi kekuatan perempuan dalam konteks budaya dan sosial masyarakat.
Di dalam ajaran Kristen, ada banyak kelompok dengan kepercayaan yang berbeda-beda, termasuk kepercayaan terhadap pemimpin perempuan. Perempuan juga berhak menjadi tabib dan pemimpin komunitas di Eropa.
Sementara itu, agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga tidak memberikan hak istimewa apa pun kepada laki-laki. Meski isu gender kerap dikaitkan dengan agama, jika kita benar-benar mengkaji ayat-ayat dalam Alquran, maka kita akan menemukan bahwa Tuhan hanya membedakan manusia berdasarkan ketakwaannya, bukan gendernya.
Baca juga: Dalam Penciptaan Hawa, Tuhan Tak Patriarkis
Dalam masyarakat yang sebagian besar masih memegang budaya patriarki, laki-laki dianggap memiliki hak istimewa, sedangkan perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua. Tidak ada dalil mana pun yang menunjukkan adanya perbedaan pandangan Islam terhadap perempuan maupun laki-laki.
Pengalaman empiris keagamaan kemudian menghadirkan isu-isu terkait pemahaman dan penafsiran teks-teks agama yang bias gender sehingga sering kali perempuan dianggap sebagai kelompok marginal.
Apakah ego laki-laki memang seburuk itu?
Menurut Shantha, yang penting bukanlah bagaimana ego laki-laki menang dalam “pertempuran” melawan narasi sosial, melainkan bagaimana seseorang mampu mengelola egonya. Manifestasi harga diri yang berlebihan dalam ego seseorang menunjukkan bahwa orang tersebut merasa lebih tinggi dari yang lain, bahkan cenderung meremehkan orang lain.
Sementara itu, Dr. Nagaswami mengatakan, “Setiap ego yang berasal dari superioritas yang dirasakan dari satu jenis kelamin pasti tidak lengkap dan rapuh. Fakta sekadar terlahir sebagai laki-laki tidak bisa menjadi parameter utama untuk mendapatkan harga diri seseorang. Juga, objek dari ego laki-laki adalah untuk membangun dominasi atas ego perempuan. Ketika maskulinitas digunakan untuk membangun dominasi dan kontrol, hal itu pasti akan menjadi rapuh.”
Lebih lanjut lagi, Shantha mengatakan bahwa laki-laki cenderung sensitif jika berkaitan dengan apa pun yang melibatkan keputusan. Mereka suka menjadi pengambil keputusan dan ketika membuat keputusan, mereka perlu mendengar bahwa mereka benar — bahkan jika mereka salah.
Jain menambahkan, penampilan, seksualitas, kompetensi, karier, keuangan, gadget, dan kesehatan termasuk ke dalam daftar penting yang harus dikuasai oleh ego laki-laki. Itulah sebabnya, perempuan yang memiliki kemampuan menangani semua hal tersebut sendirian cenderung menjadi “musuh” bagi ego laki-laki.
Bagaimana menghadapi ego laki-laki?
Para ahli psikologi dan konsultasi hubungan mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghadapi ego laki-laki yang terlalu berlebihan adalah dengan membuat pihak tersebut menilai dirinya sendiri berdasarkan parameter substansial.
Pendekatan terbaik adalah dengan menjalin komunikasi terbuka, berkepala dingin, dan tidak menunjukkan tendensi emosional. Dengan keterampilan komunikasi yang baik dan ego yang sehat, maka hubungan antara perempuan dan laki-laki pun bisa berjalan dengan baik.
Jadi, berdamai dengan ego laki-laki di sini bukan berarti menyerah ya, melainkan memberikan jalan tengah lewat komunikasi yang baik supaya kedua pihak bisa saling membaca dan memahami konteks ego masing-masing.
Comments
Post a Comment