Saat remaja, saya sering kali merasa kesal kepada orang tua saya karena mereka memarahi saya untuk hal-hal yang (menurut saya) sepele. Misalnya, pulang lewat jam 10 malam hanya karena saya ikut ekstrakurikuler teater, sedangkan mereka sama sekali tidak menyukainya.
Membantah amarah orang tua di masa remaja memang bak buah simalakama; kalau dilakukan jadi anak durhaka, kalau tidak dilakukan malah bikin hati merana. Iya, nggak?
Tapi, saya bisa melewatinya dengan baik berkat bak mandi. Tiap kali saya merasa kesal pada orang tua, maka saya akan langsung pergi ke kamar mandi, membenamkan wajah ke dalam bak mandi selama beberapa detik sambil melihat bagaimana bulir-bulir air yang keluar dari lubang hidung dan mulut saya berbicara, “Hei, semuanya akan baik-baik saja!”
Begitulah kemudian saya berteman dengan bak mandi selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya, saya menikah di usia muda karena dorongan dari orang tua yang saat itu terlalu takut anak perempuannya larut dalam cinta buta sehingga tergelincir pada lingkaran setan yang orang sebut sebagai zina.
Masih sama seperti sebelumnya, menolak dorongan orang tua untuk menikah di usia muda saat itu masih serupa buah simalakama sehingga pada akhirnya, dengan sedikit asa dan banyak putus asa, saya memutuskan untuk menurut.
Wastafel © PhotoPin |
Bulan madu dan kemarahan yang mengalir di wastafel
Bagaimana rasanya menikah di usia muda tanpa tahu apa pun soal pernikahan? Menjengkelkan. Itulah kata pertama yang keluar dari pikiran saya saat itu.
Pertama, tiba-tiba saya terbangun di samping orang asing yang ternyata suka sekali memerintah (karena menurutnya, istri yang baik adalah istri yang membangunkan suaminya di pagi hari dengan secangkir kopi panas dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga dengan cergas).
Kedua, tidak ada istilah “bulan madu” yang selama ini saya bayangkan sebagai keindahan pernikahan. Sejak saat itu, bulan madu hanyalah mitos bagi saya (tapi, mungkin akan jauh berbeda kalau menikah dengan orang yang kamu cintai atau setidaknya atas kesadaran pribadi).
Ketiga, saya tidak bisa menyalahkan kedua orang tua saya karena telah menjerumuskan saya ke dalam pernikahan ini, tapi juga tidak bisa menceritakan kejengkelan hari pertama pernikahan saya kepada siapa pun karena sejak remaja, ibu selalu wanti-wanti, “Masalah pernikahan adalah aib, jangan bilang siapa-siapa.”
Baca juga: Apa Tugas Seorang Istri?
Selesai membuatkan kopi, saya beringsut ke kamar mandi. Tebak apa yang saya lakukan! Ya, membenamkan wajah ke dalam bak mandi wastafel. Sejak itu, saya mulai menyukai wastafel karena baju saya tidak akan basah seperti ketika saya selesai membenamkan wajah ke bak mandi.
Sejak saat itu pula, wastafel bagi saya bukan hanya benda mati yang berfungsi sebagai tempat untuk membersihkan diri, melainkan juga manifestasi energi positif yang berfungsi sebagai tempat untuk “membersihkan diri” dari rasa kesal, amarah, duka, atau emosi negatif lainnya.
Uniknya, tidak seperti benda lain yang memiliki sejarah dalam konteks peradaban, kamu tidak akan menemukan “sejarah wastafel” di Google sekalipun (Silakan buktikan sendiri! Kalau kamu menemukannya, bagikan temuanmu di kolom komentar dan saya akan kasih hadiah spesial buatmu). Tapi, jangan berharap dapat voucher bulan madu, ya! 😂
Sejarah bulan madu
Menyoal bulan madu, terminologi ini punya sejarahnya sendiri. Istilah honeymoon pertama kali muncul pada abad ke-16 dalam Thomas Blount's Glossographia (1656). Dalam kamus etimologi tersebut, bulan madu didefinisikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan waxing dan memudarnya emosi pengantin baru (kalau saya interpretasikan lebih lanjut, mungkin berkaitan dengan ritual malam pertama) dari sekadar cinta menjadi sayang.
Secara historis, bulan madu dimulai dalam tradisi pernikahan Eropa kelas atas pada abad ke-19. Saat itu, pasangan yang baru menikah akan melakukan perjalanan pernikahan yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan.
Saat kelas menengah tumbuh di negara-negara industri, mereka mulai meniru praktik bulan madu dengan perjalanan yang hanya dilakukan selama beberapa hari atau minggu. Sejak abad ke-20, banyak resor yang kemudian mulai memberikan pelayanan eksklusif untuk pasangan yang akan berbulan madu.
Pascaindustri, bulan madu mengalami pergeseran makna. Ritual yang tadinya dianggap sakral berubah menjadi sikap rasional pasangan untuk menentukan keberhasilan pernikahan. Ritual ini kemudian dianggap semakin feminin dan lebih berfokus pada pengantin perempuan. Di Amerika, laki-laki pada umumnya bertanggung jawab untuk merencanakan bulan madu hingga pertengahan abad ke-20. Pernikahan semakin menekankan peran pendamping daripada peran suami istri sehingga romansa dan identitas individu menjadi penting.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat modern akhir menempatkan bulan madu secara individual, rasional, dan konsumtif dalam upaya mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam pernikahan. Jadi, jangan heran kalau bulan madu kemudian dianggap sebagai keharusan dalam pernikahan.
Dialektika “aku” dalam konteks bulan madu
Masihkah saya menganggap bulan madu sebagai mitos? Dalam perjalanan spiritual selama sebelas tahun ke belakang, saya mengalami berbagai macam proses hidup yang tidak diinginkan; mulai dari pernikahan dini, kematian orang-orang terdekat, sampai perceraian.
Menilai konteks bulan madu dari sudut pandang dialektika Hegel, saya sampai pada tahap bahwa bulan madu bukan hanya sebatas penanda keberhasilan pernikahan, melainkan juga penemuan identitas “aku” sebagai manusia.
Dalam dialektika Hegel, suatu hal dianalisis melalui tiga tahap, yaitu (1) tesis, konteks membangun suatu pernyataan; (2) antitesis, konteks menegasi tesis; dan (3) sintesis, upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis dalam bentuk pernyataan baru.
Mengutip Rumah Filsafat, Hegel dalam bukunya yang berjudul Science of Logic menjelaskan bahwa proses dialektika dilakukan untuk memahami keberadaan manusia yang bermula dari “ada” (being), yang kemudian dinegasi sebagai ketiadaan (nothing), hingga akhirnya muncul sebagai “menjadi” (becoming).
Dalam konteks perjalanan bulan madu yang saya alami, saya pun berdialektika. Aku yang awalnya sebagai “ingin bahagia” dinegasi menjadi “aku yang tidak bahagia” lewat berbagai macam pengalaman tak diinginkan yang sempat saya sebutkan tadi, sampai akhirnya menemukan “aku yang bahagia” setelah berhasil melampaui pengalaman-pengalaman tersebut dan menemukan diri saya yang sebenarnya.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa menemukan diri sendiri bukanlah proses yang singkat. Dibutuhkan perjalanan-perjalanan sulit (negativitas) yang harus dilampaui agar seseorang menemukan dirinya sendiri karena dari perjalanan itulah kita bisa melihat realitas sebagai proses, bukan sebagai akhir.
Dari perjalanan hidup, saya mengetahui bahwa pernikahan bukanlah sebuah capaian, melainkan proses. Dari perjalanan hidup, saya mengenali bahwa kehilangan bukanlah sebuah akhir, melainkan proses. Dari perjalanan hidup, saya memahami bahwa perpisahan bukan sebuah kegagalan, melainkan proses.
Dalam proses yang penuh dengan negativitas inilah saya kemudian mampu melampaui “saya-sebelumnya” dan berkembang menjadi “saya-sebenarnya”.
Jadi, masihkah saya menganggap bulan madu sebagai mitos? Sebelum menjawab, izinkan saya membenamkan wajah ke dalam wastafel sesaat. Selamat berdialektika!
http://www.q4bathrooms.com/2017/05/05/history-bathrooms-basin/
ReplyDeletehttps://en.m.wikipedia.org/wiki/Sink
Sejarah "wastafel"/sinks/washstand etc.
Halo, terima kasih sudah mampir ke laman #PerempuanSufi.
DeleteHmm, sebenarnya yang Perempuan Sufi maksudkan literally penemuan hasil "sejarah wastafel" seperti halnya ketika kita mengetikkan "sejarah mesin cuci", "sejarah kloset duduk", atau "sejarah celana dalam" di laman pencarian Google, sih.
Tapi, terima kasih ya sudah mencarikan alternatif keyword untuk menjaring informasi tentang wastafel.
Salam hangat :-)