Film Tilik © Kompasiana |
Sudah nonton film “Tilik”? Meski belum nonton, mungkin kamu sudah tahu bagaimana jalan cerita film pendek yang diproduksi oleh Ravacana Films bersama Dinas Kebudayaan DIY tersebut. Berkat kehadiran tokoh Bu Tejo, film arahan Wahyu Agung Prasetyo ini berhasil menjadi perhatian publik, termasuk Joko Anwar dan Ernest Prakasa.
Meski sudah mendapat sejumlah penghargaan, film ini tidak luput dari kritik. Salah satunya adalah kritik dari sudut pandang feminisme yang diungkapkan Intan Paramaditha terkait pembenaran stereotip perempuan Islam dan pedesaan yang direpresentasikan dalam film ini.
Dalam cuitannya di Twitter, Intan mengatakan bahwa sebaiknya Tilik tidak hanya dilihat sebagai masalah tunggal, tapi juga sebagai gejala fenomena yang lebih besar dari absennya perspektif feminis dalam metode berkarya serta dalam medan produksi kebudayaan.
Oke, itu cuma sedikit intermezzo karena dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas kritik feminisme. Kenapa? Karena sejak awal saya menonton film berdurasi 30 menitan ini sampai habis, yang ada di benak saya adalah pecahan-pecahan semiotik (petanda dan penanda).
Satire atau sarkasme?
Selesai menonton, saya berpendapat bahwa “Tilik” merupakan karya satire yang memang ditujukan untuk menyindir kondisi suatu masyarakat. Kenapa bukan sarkasme? Keduanya sama-sama kritik. Bedanya, satire ditujukan sebagai kritik membangun, sedangkan sarkasme ditujukan hanya untuk “menilai” atau menunjukkan dengan jelas keengganan terhadap suatu kondisi tanpa ada tendensi ke arah perbaikan.
Dalam jurnalisme, satire dianggap sebagai cara untuk melawan hegemoni kekuasaan dominan yang cenderung otoriter melalui kritik berupa ironi, sarkasme, atau parodi. Saya melihat penggunaan satire dalam film “Tilik” ini sejalan dengan penggunaan satire dalam jurnalisme. Dengan begitu, film ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan sosial perempuan pedesaan dan perempuan Islam pada umumnya, melainkan juga sebagai cara untuk menyindir hobi pergunjingan bagi orang-orang yang tidak-sadar-sudah-atau-sedang-bergunjing.
Dalam hal ini, saya setuju dengan dugaan Agus Mulyadi dalam tulisannya di Terminal Mojok yang mengatakan bahwa banyak orang menyukai “Tilik” karena karakter mereka yang terwakilkan dengan baik dalam film tersebut.
Lantas, apakah film ini hanya sebatas representasi pergunjingan tanpa makna? Tentu tidak. Saya melihat tanda tanya besar tentang: “Bagaimana kita bisa menghapus “tradisi pergunjingan” ini dengan cara-cara yang semestinya?”
Mitos hijab dan representasi kelompok mayoritas
Sekarang, mari kita lihat siapa saja dan bagaimana tokoh-tokoh dalam film ini dihadirkan. Pertama, saya melihat seluruh perempuan yang ada di dalam truk adalah perempuan berhijab yang identik dengan Islam sebagai agama mayoritas di negara ini. Sementara itu, tokoh Dian dihadirkan sebagai sosok perempuan yang penampilannya berbeda (tidak berhijab) dan kemudian dianggap sebagai perempuan nakal oleh kelompok mayoritas.
Bagi saya, penggambaran satu truk perempuan berhijab banding satu perempuan tidak berhijab tidak luput dari petanda dan penanda. Di sini, saya melihat gambaran mitos islami yang dihadirkan lewat hijab.
Penggunaan hijab belakangan cukup ramai diperbincangkan. Mulai dari hukumnya, bagaimana respon muslimah terhadap kewajiban berhijab, sampai tetek-bengek aturan berhijab yang mesti atau tidak mesti diperhatikan oleh kaum muslimah.
Selain sebagai penutup kepala yang berfungsi menutup aurat bagi muslimah, pemaknaan hijab juga kian meluas. Denotasinya tidak hanya sampai pada “menutup aurat” dan “menjalankan perintah agama”, tetapi juga sampai pada “keharusan untuk memiliki tabiat yang baik” atau singkatnya, terbentuk identitas “hijab = salihah atau harus salihah”.
Mitos inilah yang kemudian membuat kelompok minoritas terkena stigma “nakal” atau tidak salihah hanya karena tidak berhijab atau melakukan hal yang bertentangan dengan tradisi mayoritas. Sama seperti Dian yang dicap nakal karena berbagai asumsi kelompok berhijab sebagai penanda kelompok mayoritas yang kemungkinan besar merasa dirinya salihah.
Kebudayaan versus peradaban
Selanjutnya, mari kita bahas truk dan media sosial. Penggunaan truk sebagai alat transportasi dalam film ini dapat dilihat sebagai penanda kearifan lokal yang masih hidup di pedesaan. Sementara itu, penggunaan media sosial dan internet oleh Bu Tejo secara jelas merepresentasikan kekhasan peradaban sebagai terobosan baru bagi masyarakat untuk “naik” ke level kehidupan selanjutnya atau perkembangan sosial yang dianggap lebih tinggi.
Sementara itu, Yu Ning yang menggunakan truk dan komunikasi langsung (tanpa menggunakan internet maupun media sosial) mengacu pada pengetahuan atau ciri-ciri kelompok masyarakat tertentu yang kita kenal sebagai budaya atau kebudayaan.
Dalam adegan yang memperlihatkan protes Bu Tejo untuk menaiki truk yang dipesan oleh Yu Ning, saya melihat adanya gesekan antara konotasi peradaban yang dibawa oleh Bu Tejo dengan konotasi kebudayaan yang diwakili oleh Yu Ning.
Bagi saya, adegan ini tidak hanya menggambarkan bagaimana peradaban mengubah konteks kebudayaan menjadi bias, melainkan juga bagaimana kita (sebagai penonton sekaligus masyarakat Indonesia) mampu menjembatani peradaban tanpa menggerus kebudayaan.
Akhir yang abu-abu
Beberapa pihak mungkin menganggap film ini tidak mendidik karena memperlihatkan pergunjingan yang terus-menerus dan diakhiri dengan adegan seolah-olah apa yang dikatakan oleh Bu Tejo tentang Dian adalah suatu kebenaran.
Tapi, saya melihat akhir adegan dalam film ini sebagai “tanda tanya”. Asumsi penonton tentang adegan akhir yang menunjukkan Dian dengan laki-laki paruh baya bagi saya masih sangat bias. Siapakah laki-laki paruh baya itu dan apa hubungannya dengan Dian? Lalu, apakah tawa dan sindiran Bu Tejo kepada Yu Ning di akhir cerita juga menandakan bahwa Bu Tejo benar?
Bagi saya, “tanda tanya” inilah yang hendak disampaikan oleh “Tilik” kepada kita sebagai pembaca. Lewat film ini, kita disadarkan untuk melihat banyak hal:
Sudah benar-benar sempurnakah kita sehingga mampu menghakimi orang lain?
Apakah kita layak untuk menyematkan kata “benar” pada setiap ucap dan laku yang kita kerjakan?
Seberapa melek kita terhadap peradaban sehingga teknologi saat ini sering kali membuat kita lupa dari mana kita berasal?
Sudahkah kita melakukan kritik terhadap diri sendiri sebelum berusaha mengkritik orang lain?
Jadi, alih-alih menentukan mana yang benar dan salah dalam pembacaan dan pemaknaan manusia yang selalu samar, saya memilih untuk mengambil “yang baik-baik” saja dari film ini.
Sekian celoteh tentang “Tilik” yang belum sepenuhnya selesai ini (karena sebenarnya masih banyak penanda dan petanda yang belum dibaca dan dimaknai dengan saksama dalam tulisan ini). Kalau ada tambahan, pujian, kritik, atau saran (tapi jangan ngajak perang), silakan tulis di kolom komentar ya.
Salam hangat!
Comments
Post a Comment