Ditulis oleh Abroorza A. Yusra. Seorang pengantar kue.
Revisi terakhir tulisan tanggal 18 September 2020
(Disunting oleh Perempuan Sufi)
Semasa berkuliah, saya pernah membuat cerita pendek yang bertemakan feminisme. Kisahnya: tokoh ‘aku’ cerpen pergi ke suatu negara untuk meliput turnamen besar sepakbola. Di sana, bukan melulu soal sepakbola yang ditemukannya, melainkan juga perlawanan ideologis terhadap turnamen tersebut. Para feminis berdemo sambil bertelanjang dada (topless). Kata mereka, “Piala Dunia hanya menahbiskan kekuasaan patriarki. Bentuk pialanya saja sudah seperti anu lelaki!”
Tokoh ‘aku’ lalu bertemu dengan seorang perempuan senegara. Bukan perempuan yang baru kenal. Dahulu mereka pernah dekat. Bukan sekadar dekat, melainkan teman tapi mesra. Tentu mereka saling terkejut dengan pertemuan tanpa rencana itu. Bagi tokoh ‘aku’, perempuan itu memiliki arti yang sangat mendalam.
Memori masa lalu menyeruak kembali mengisi imaji dan otaknya: ketika perempuan itu menjejalinya dengan cerita sedih dan penuh amarah tentang perceraian orang tuanya gara-gara si bapak sering mengintimidasi si ibu, ketika perempuan itu meledakkan emosinya dalam ribuan peluk dan cium pada tokoh ‘aku’, dan ketika perempuan tersebut tiba-tiba saja menghilang meninggalkan tokoh ‘aku’ tanpa pesan.
Cerita itu tidak pernah saya naikkan ke media mana pun. Beberapa bagian menurut saya masih terlalu mentah dan sangat terkesan dibuat-buat. Untuk merevisinya lagi, sudah tidak nge-feel, dan menurut saya, ketika tidak ada lagi dorongan untuk melanjutkan sebuah cerita, walau sudah mencoba, berarti cerita itu memang sudah seharusnya mati.
Lagi pula, saya tidak benar-benar tahu apa yang hendak saya sampaikan lewat cerita tersebut. Feminisme? Konflik kepentingan gender? Cinta?
Ilustrasi Perempuan Adat © Wikimedia.org
Bukan sebatas demarkasi antara perempuan dan lelaki
Mengenali konsep kesetaraan gender dan feminisme, ketika itu saya masih sangat awam. Saya sekadar menggelutinya sepotong-sepotong melalui teori-teori Julia Kristeva, esai-esai Simone de Beauvoir, novel-novel Virginia Woolf, cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, atau puisi-puisi Rieke Diah Pitaloka.
Hasil pembacaan atas karya mereka, yang sebagian tidak rampung dibaca, hanya menjadi pengetahuan, tak pernah benar-benar menjadi sebuah kesadaran. Definisi feminisme dalam anggapan saya sebatas pada bahwa feminisme merupakan pemberontakan sekelompok perempuan dalam menentang kekuasaan patriarki dengan kesetaraan gender, dalam setiap perilaku kehidupan, sebagai tujuan utamanya. Tidak lebih.
Hingga kemudian saya bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat, yang jika ditilik dari rata-rata tingkat pendidikan formalnya, jarang atau bahkan tidak pernah mendengar istilah “feminisme” atau “gender”, namun telah menjalankan secara alamiah (berdasarkan tata laksana setempat dan bercerminkan nilai-nilai kebajikan para leluhur) praktik kesetaraan gender tanpa harus berkutat dengan definisi-definisi.
Saya tidak bilang mereka adalah contoh ideal. Tetapi setidaknya, melalui mereka, ada hal lain yang dapat diungkapkan, yang melebihi persepsi saya (mungkin kita) selama ini: gender bukan tentang hidup sebagai (atau menjadi) perempuan atau laki-laki. Bukan sebatas perbedaan jenis dan fungsi kelamin.
Mereka ada di mana-mana
Pada 2016, saya terlibat dalam kegiatan pendampingan penyusunan Rencana Jangka Menengah Desa (RPJMDes) di beberapa desa lintas utara Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pendampingan itu dilakukan oleh yayasan lingkungan tempat saya bernaung. Pendampingan dimaksudkan untuk mendorong desa-desa yang berada di koridor (antara) Taman Nasional Betung Kerihun–Taman Nasional Danau Sentarum agar memiliki konsep pembangunan berbasis desa hijau.
Salah satu hal penting yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana visi dan misi RPJM Desa mesti mengakomodasi ide dan gagasan kaum perempuan. Maka, agar data yang didapat terkonfirmasi dengan benar, saya perlu bertanya, “Apakah di sini kaum perempuan dilibatkan dalam diskusi-diskusi formal?”
Mereka tersenyum sebentar. Mungkin karena pertanyaan tersebut sangat bersifat textbook, tidak berlandaskan pengamatan. Lah, saya sedang berada di ruangan yang nyaris lima puluh persen isinya adalah perempuan.
“Di sini, Pak, ibu-ibu yang paling nyaring,” celetuk salah seorang bapak. Saya jelaskan lebih rinci maksud pertanyaan saya, tentang minimnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan suatu wilayah jika diukur secara global. Mereka semakin riuh.
“Waduh, terbalik Pak. Kita ini (laki-laki) yang lebih sering dimarahi sama perempuan. Mereka itu semua BPD (DPR-nya desa).”
Timpal menimpal terjadi beberapa saat. Ada yang berkomentar, “Kalau melawan perempuan, nanti ndak dikasih makan.” Ada juga, “Kami ini (laki-laki) di atas kertas saja.”
Mereka memang berguyon, namun guyonan mereka bukan tanpa dasar. Faktanya, kaum perempuan di desa-desa tersebut, yang mayoritas penduduknya adalah etnis Iban dan Tamambaloh, memiliki posisi yang kuat. Walau kehadiran perempuan dalam struktur organisasi desa atau kelompok-kelompok masyarakat tidak lebih banyak daripada lelaki, peran mereka sama besarnya. Mungkin lebih.
Perhatikan kegiatan berladang! Selain menugal, menanam, dan panen, para perempuan juga ikut membuka lahan, menebang. Simak kegiatan-kegiatan gotong royong, bahkan dalam pengecoran jalan, mereka turut serta. Mereka masih juga berkutat mengurus anak, masak-memasak, cuci-mencuci. Mereka ada di mana-mana.
Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana bisa perempuan dianggap tidak ada? Atau diperlakukan sebagai pihak yang inferior? Karena itu, muncul pernyataan tadi, ibu-ibu yang paling nyaring, dan mereka menghormati perempuan sebagaimana mestinya.
Barangkali sebagian besar dari mereka akan bingung jika ditanya tentang teori-teori feminisme atau kesetaraan gender. Apalagi jika acuannya adalah teori-teori Barat, yang cenderung bertitik tolak pada kepentingan politik gender.
Di desa-desa ini, penyetaraan gender lebih diartikulasikan sebagai upaya menjunjung tinggi nilai warisan. Mereka percaya bahwa tata laksana yang sudah diatur, diterapkan, dan diturunkan oleh para leluhur memiliki nilai kebaikan. Salah satu nilai itu adalah pentingnya menjaga kehormatan masyarakat atau komunitas yang di dalamnya terdiri atas laki-laki, perempuan, orang tua, remaja, dan anak anak.
Memang, tidak dapat ditampik, ada saja kekerasan rumah tangga oleh personal-personal tertentu dalam bentuk yang umum: intimidasi fisik maupun verbal terhadap perempuan. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kapuas Hulu mencatat 104 kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak (Tribun Pontianak, 18 Mei 2017). Saya tidak tahu di kecamatan apa, desa apa, kekerasan semacam itu banyak terjadi. Namun, jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Barat, tingkat KDRT di Kapuas Hulu adalah yang terendah (Suara Pemred, 20 November 2017).
Pelestari keanekaragaman hayati dan budaya
Dalam dekade terakhir, para peserta pengajuan proposal proyek sosial maupun lingkungan ke funding-funding internasional, baik melalui akses terbuka (umum) maupun tertutup (khusus diperuntukkan bagi yayasan atau lembaga tertentu), biasanya diwajibkan untuk menyertakan pihak yang mendapatkan manfaat dari kegiatan program.
Kaum perempuan (terutama janda), anak-anak, disabilitas, termasuk yang harus diprioritaskan. Mereka dianggap kelompok yang sering termarginalkan dan kurang mendapat kesempatan dalam proses pembangunan. Melibatkan mereka artinya sama dengan memenuhi hak-hak mereka sebagai manusia untuk mendapat kesempatan yang sama dalam mengembangkan hidup.
Tentu ini hal yang positif. Saya tidak melihat kecenderungan ini sebagai “bentuk implementasi rasa kasihan dunia untuk mereka yang sering termarginalkan”, melainkan sebuah keharusan yang tidak dapat dielakkan. Semestinya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Alasan saya, karena perempuan merepresentasikan nilai-nilai keanekaragaman yang dibutuhkan dalam merawat kehidupan.
Selama ini, keanekaragaman sering didefinisikan sebagai hanya tingkat keragaman alam, termasuk di dalamnya kuantitas maupun kualitas ekosistem, spesies, dan gen dalam kumpulan tertentu. Definisi demikian memisahkan antara budaya atau peran manusia. Alam dipandang sebagai kapital yang terpisah dari budaya manusia. Tolok ukur pelestarian alam, dalam sudut pandang struktural global, cenderung dilihat berdasarkan asas untung-rugi. Jika ekologi menguntungkan secara finansial, maka dipertahankan. Jika tidak, maka tidak apa-apa untuk dieksploitasi.
Paradigma tersebut, dalam analisis Vandana Shiva (fisikawan, filsuf, dan feminis), salah satunya muncul akibat terlalu lamanya dominasi kapitalis patriarki. Dampak yang paling mudah dilihat adalah, sektor lingkungan dihadapkan oleh permasalahan serius. Perkebunan dan pertanian diisi oleh tanaman monokultur. Keadaan ini mereduksi secara berkala tingkat keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, dibutuhkan peran yang lebih besar dari kaum perempuan. Pada sebagian besar kebudayaan yang ada, perempuan telah menjadi pelindung dan pemelihara keanekaragaman hayati. Mereka memproduksi, mengembangkan kembali, mengonsumsi, serta melestarikan keanekaragaman hayati.
Peran mereka memungkinkan terciptanya keterkaitan antara budaya, ekonomi, dan keanekaragaman hayati. Konsep keanekaragaman hayati tidak lantas berhenti pada ruang lingkup kehutanan atau pertanian, namun menyebar secara luas, meliputi keserasian kosmis ekologi dan keserasian budaya masyarakat: keserasian dunia.
Di Dusun Ngaung Keruh, Desa Labian, keajaiban itu tercipta di depan mata. Bahwa perempuan adalah perawat keanekaragaman hayati, menjaga keserasian kosmis ekologi dan budaya, bukanlah wacana yang utopis.
Pada 2010, WWF-Indonesia menginisiasi kegiatan restorasi (pengembalian fungsi kawasan hutan) di koridor Taman Nasional Betung Kerihun – Taman Nasional Danau Sentarum. Pada periode 2015– 2017 kegiatan menyasar Dusun Ngaung Keruh. Restorasi bukanlah kegiatan yang gampang dan bisa dikerjakan berleha-leha. Tahapannya panjang; dari pencarian bibit, pembibitan, distribusi bibit ke lokasi penanaman, kegiatan penanaman, hingga perawatan. Energi yang dihabiskan bukannya sedikit.
Pertama kali ke Dusun Ngaung, tim WWF-Indonesia sempat tidak percaya bahwa kegiatan restorasi akan berhasil. Bagaimana tidak, di dusun yang dihuni tidak lebih dari seratus orang tersebut, sebagian besar telah berusia paruh baya. Generasi muda mereka merantau entah ke mana mencari kerja atau sekolah. Dari jumlah yang paruh baya itu, yang sudah sedikit itu, sebagian adalah perempuan. Dari sebagian perempuan itu, sebagian sudah tergolong renta.
Namun, mereka menyambut dengan semangat. Motivasi yang dipegang adalah selain agar hutan yang lebat kembali terwujud, kegiatan restorasi dapat bermanfaat langsung dalam penyediaan air bersih. Air dapat langsung dialiri ke ember atau bak di bilik-bilik rumah panjang. Tak perlu lagi repot bolak-balik ke sungai.
Program pun berjalan, meski mayoritas masyarakat yang terlibat adalah kaum perempuan. Setiap orang mesti memikul sekitar 40 polybag dari rumah betang ke punggung bukit yang menjadi lokasi penanaman. Jarak yang ditempuh bolak balik: sekitar sepuluh kilometer. Kendaraan yang digunakan: kaki sendiri. Kondisi rute: penuh akar pepohonan, bebatuan, sungai-sungai kecil. Waktu kerja: dua hingga tiga hari, tiap pekannya selama tiga tahun.
Seorang ibu, Margareta Riau (50), mengakui bahwa kerja restorasi lebih berat daripada kerja ladang. Namun, ia mengeluhkannya kepada saya sambil tertawa. Lebih jago lagi, Sudan (70). Usianya sudah renta. Tubuhnya terlihat ringkih, tetapi ia tidak pernah absen naik turun bukit untuk ikut menanam, walau beban angkatannya tidak sama dengan yang lain, “hanya” 10 polybag.
Hasilnya, selama rentang waktu tiga tahun, masyarakat Ngaung Keruh berhasil menanam 74.595 bibit dengan luas area 175,42 hektar. Rincian kategori bibitnya adalah, 39.494 bibit pakan orangutan, 23.497 bibit tanaman kayu hutan, dan 11.604 bibit karet. Setengah di antaranya ditanam oleh kaum perempuan. Ini hasil yang bisa diukur lewat angka. Di luar itu, peran perempuan ternyata meluas.
Mereka, para perempuan Dusun Ngaung Keruh, tidak semata menunjukkan loyalitas kecintaan pada hutan dan alam. Di luar kepentingan program, sambil menanam, mereka kadang membawa peralatan menenun. Alat tenun berukuran hampir sama dengan ukuran badan, dipikul ke pos penanaman. Bila tiba waktunya rehat, mereka menenun.
Sering juga, ketika berada di hutan, mereka mencari tanaman-tanaman yang bisa dijadikan sayuran untuk dibawa pulang, atau tanaman obat-obatan, seperti lawang (temulawak) yang bisa digunakan untuk menurunkan tekanan darah dan kolesterol, sarang semut untuk kencing manis, dan daun manding untuk luka luar.
Lanjutkan membaca ke Mereka Perempuan, Mereka Pahlawan: yang Menjaga Keanekaragaman dan Merawat Eksistensi (Bag. II)
Comments
Post a Comment