Beberapa perempuan rutin dan rajin mengumpulkan tanaman liar yang bisa dijadikan pewarna untuk tenun, seperti beting, rengat, jangau, engkudu, engkerabai, kemunting, rengat padi (indigofera), rengat pepat, dan mengkudu kayu. Kegiatan menenun sudah menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat Iban, tidak terkecuali di Ngaung Keruh. Mereka bahkan memiliki kelompok penenun yang bernama “Serakop Indo Ngaung Keruh”.
Mereka juga yang menjadi pihak penting dalam pemanfaatan dan pelestarian hasil hutan bukan kayu. Mereka telaten mencari rotan atau resam untuk dijadikan perkakas rumah tangga atau kerajinan tangan.
Dalam sosial-budaya perladangan, peran perempuan juga lebih menonjol karena pengetahuan penting mengenai perladangan ada di kaum perempuan. Dalam ritual panen, tata cara kepemimpinan dan literatur sesajian (tanaman yang harus ada di setiap prosesi gawai, dll) sumbernya ada di perempuan.
Sementara itu, peran kaum lelaki dalam keberhasilan pencapaian program restorasi lebih kepada ruang lingkup advokasi, efisiensi strategi, dan infrastruktur: pada bagaimana kawasan restorasi bisa memiliki kekuatan hukum, bagaimana penanaman bisa dilakukan dengan lebih cepat, infrastruktur turunan bisa didapat (air bersih), dan restorasi juga memiliki hasil langsung untuk meningkatkan perekonomian warga.
Hal tersebut disebabkan oleh kaum laki-laki lebih erat berkaitan dengan sosio-antropologi, Mereka terlibat dalam berladang, menanam, namun juga dituntut untuk mencari sumber penghidupan dari luar sektor pertanian atau kehutanan. Oleh karena itu, untuk masyarakat Iban, ada dikenal tradisi bejalai atau bertualang yang biasanya dilakukan saat ladang belum menghasilkan. Selama bejalai ke luar kampung, mereka melakukan berbagai pekerjaan untuk menambah penghasilan keluarga.
Ini juga yang menjadi penjelasan mengapa Dusun Ngaung Keruh lebih banyak dihuni oleh kaum perempuan tua dan ibu-ibu jika dikunjungi pada hari-hari biasa. Para suami mereka sedang bejalai. Ini juga menjadi alasan (terutama di dalam program restorasi) kenapa pengerjaan pembangunan bendungan dapat dikerjakan sendiri dan dapat cepat selesai. Selama bejalai, mereka menyerap beraneka ilmu, yang tentu salah satunya adalah cara mengaduk semen, membangun rumah, atau bertukang.
Bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan peran lelaki dan perempuan. Lagi pula, tidak tepat untuk membandingkan mana yang ‘menang’ karena antara lelaki dan perempuan di Ngaung Keruh telah menjadi kesatuan.
Tetapi, peran perempuan, sebagaimana yang digambarkan oleh Vandana Shiva, memang penuh dengan kemampuan mempertahankan keanekaragaman, baik hayati maupun budaya. Dalam satu kegiatan saja, yang dalam hal ini adalah restorasi, sudah beragam bidang yang ditangani oleh kaum perempuan: mulai dari konservasi, budidaya tanaman pangan, kesenian, budaya, sampai pendidikan.
Melahirkan identitas dan menjaga eksistensi
Kearifan atau pengetahuan lokal di komunitas masyarakat Iban dan Tamambaloh, hingga kini sebagian besar masih terjaga karena adanya peran perempuan. Keberlangsungan tradisi dan budaya berladang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kaum perempuan.
Berladang sendiri merupakan budaya dan identitas bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak, walau ia berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai negeri, tetap merasa harus berladang. Nilai-nilai kehidupan mereka juga tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai berladang. Hari besar, ritual pernikahan, kelahiran anak, hingga kematian, melibatkan mitos-mitos dan sisi spiritual yang muncul dalam perladangan.
Artinya, kaum perempuan Dayak, yang memiliki peran penting dalam menjaga kearifan dan pengetahuan tentang perladangan, memiliki pengaruh besar dalam memberi arti pada identitas kesukuan mereka.
Dalam skala luas, hal ini berkaitan erat dengan perwujudan eksistensi manusia. Bukan lagi tentang suatu komunitas adat, melainkan telah menyentuh ruang lingkup umat manusia.
Manusia perlu memenuhi kebutuhan eksistensinya agar mereka merasa “ada”. Dalam teori Erich Fromm (filsuf dan psikoanalisis humanis), terdapat lima kebutuhan dasar eksistensi, yakni Keterhubungan (submission), Transendensi (transcend), Keberakaran (rootedness), Rasa Identitas (a sense identity), dan Kebutuhan terhadap Kerangka Orientasi dan Objek Pengabdian.
Kebutuhan ketiga, yakni Keberakaran (rootedness) adalah suatu kebutuhan untuk merasakan sebuah ikatan atau rasa kepemilikan terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketika manusia dilahirkan, ia terisolasi dari dunia, kehilangan daya dan terlepas dari akarnya semula. Situasi ini menimbulkan kesepian yang dapat berakibat fatal. Sebab itu, tiap manusia memerlukan ikatan dengan manusia lainnya.
Ikatan alamiah yang paling mendasar adalah ikatan seorang anak kepada ibu. Perempuan. Ibu menjadi bentuk rasa aman pertama dan utama. Selanjutnya, akan terjadi masa ketika sang anak menyadari bahwa “aku ada”. Maka ia terlepas dari ibunya. Namun, ia tetap membutuhkan rasa aman dan tempat berakar.
Satu di antara jalan pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dengan mengaitkan diri dengan alam sebab keterkaitan dengan alam sesungguhnya bersifat terus-menerus, meski kita sering kali menjauh darinya.
Bila bayi terikat pada ibu, manusia dalam awal sejarahnya sebagian besar tetap terikat pada alam. Alam masih menjadi akar tempat berdirinya, walaupun ia telah keluar dari alam. Manusia mencoba menemukan rasa aman dengan melangkah mundur dan mengidentifikasikan dirinya dengan alam, tumbuhan, maupun hewan. (Fromm, 1995:52)
Karena itu, marginalisasi terhadap perempuan sebagai sosok manusia, berikut keanekaragaman hayati sebagai konsep dan keadaan dari nilai-nilai yang mencerminkan perempuan, dapat digolongkan sebagai pengabaian terhadap kebutuhan eksistensi manusia. Tanpanya, eksistensi kita dipertanyakan. Terjadilah yang disebut krisis eksistensi. Dalam skala luas, yang terjadi adalah krisis peradaban umat manusia. Hal ini lebih gawat daripada kekhawatiran terhadap legitimasi kekuasaan patriarki. Lebih gawat daripada meributkan apakah BH itu simbol keterkekangan atau bukan. Lebih gawat daripada meributkan apakah Piala Dunia itu lambang supremasi kaum pria atau bukan.
Kebutuhan dasar ini yang perlu dipahami dan disadari bersama, agar kita secara serentak memiliki pijakan yang terkorelasi. Semua manusia ingin merasa ‘ada’ bukan?
Mengangkat peran perempuan artinya bukan semata-mata memenuhi hak mereka untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti yang didapat kaum lelaki. Mereka adalah bagian dari diri tiap manusia, lelaki maupun perempuan. Tiap tindakan menghormati perempuan, mengapresiasinya dalam pikiran, ucapan, dan tingkah laku, merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati dan budaya manusia, yang muaranya adalah melestarikan keseimbangan dan keselarasan dunia. Darinya, eksistensi manusia terjaga.
Bila kondisi tersebut tercipta, legitimasi dan supremasi salah satu gender akan memudar dengan sendirinya. Sebab, setiap orang akan paham dan sadar bahwa menihilkan eksistensi yang lain, sama artinya menihilkan eksistensi sendiri.
“We shall be one person,” begitu falsafah Suku Pueblo Indian.
Agar penyatuan itu terjadi, barangkali yang kita perlukan adalah dengan “menjadi”, “menjelma”, dan “menebas jarak”.
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
MencintaiMu harus menjelma aku
(Sajak Kecil Tentang Cinta, Sapardi Djoko Damono)
Daftar Bacaan
Diamond, Jared. 2014. Collapse. Terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar dari Collapse (2005). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Fromm, Erich. 1988. Manusia Bagi Dirinya. Terjemahan Eno Syafrudien dari Man for Himself (1947). Jakarta: Akademika.
Fromm, Erich. 1995. Masyarakat yang Sehat. Terjemahan Thomas Bambang Murtianto dari The Sane Society (1955). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Shiva, Vandana & Maria Mies. 2005. Ecofeminism. Terjemahan Ismunanto & Lilik dari Ecofeminism (1993). Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta.
Steichen, Edward. 1997. The Family of Man. New York: The Museum of Modern Art.
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks, dan Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu.
Yusra, Abroorza Ahmad, Andi Fachrizal, dll. 2018. Jalan Lingkar Restorasi, Inspirasi dari Tapak Mengembalikan Hutan Bersama Masyarakat. Pontianak: WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat.
Ditulis oleh Abroorza A. Yusra. Seorang pengantar kue.
Revisi terakhir tulisan tanggal 18 September 2020.
(Disunting oleh Perempuan Sufi)
Comments
Post a Comment