“Perempuan baik-baik nggak boleh pakai parfum.”
“Wangi banget, pasti cewek nggak bener.”
Selain dua kalimat tersebut, masih banyak kalimat lain yang menunjukkan seolah-olah parfum adalah petanda kuat yang bisa secara akurat menunjukkan mana perempuan baik (baik-baik) dan mana yang tidak. Meski diksi “perempuan baik-baik” bagi saya sudah cukup tidak mengenakkan, hubungan antara parfum dan perempuan jauh lebih merangsang nalar saya untuk berpikir, menganalisis, dan pada akhirnya menulis.
Perempuan dan seksualitas dalam masa Islam pramodern
Dalam masyarakat Islam pramodern, seksualitas dan kesuburan perempuan menjadi sesuatu yang ditakuti kaum patriarkis. Itulah sebabnya, perempuan dianggap harus menjaga dirinya agar tidak menjadi sumber fitnah. Hal ini dilakukan melalui pemisahan ranah publik bagi laki-laki dan ranah privat bagi perempuan.
Di ranah publik, laki-laki mesti tunduk pada aturan penampilan yang sesuai, tetapi diizinkan untuk menunjukkan penampilan mereka kepada laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, perempuan menjadi sasaran berbagai pembatasan sebagai cara untuk menyembunyikan tubuh dan perhiasan mereka, tetapi diizinkan untuk menunjukkannya di ruang-ruang pribadi, seperti kepada suami, perempuan lain, atau kerabat.
Hadas Hirsch dalam jurnal berjudul Cosmetics and Gender: Perfumes in Medieval Legal Muslim Sources menjelaskan bahwa menurut ahli hukum Muslim, pembedaan gender dalam semua aspek kehidupan, termasuk penampilan luar, merupakan sebuah cara yang dilakukan untuk mendefinisikan hubungan kekuasaan hierarkis gender. Seksualitas perempuan dewasa, khususnya yang belum menikah, dianggap berbahaya oleh laki-laki sehingga perlu dikontrol melalui pembagian ke dalam beberapa bidang dan penentuan penampilan luar yang sesuai untuk setiap jenis kelamin.
Pelestarian hierarki-patriarkis inilah yang kemudian menerapkan standar penampilan bagi perempuan dan laki-laki sehingga tidak ada ruang bagi transgender untuk mengaktualisasi penampilan mereka.
Kembali ke masalah parfum, diskusi hukum Islam abad pertengahan terkait larangan penggunaan parfum bagi kaum perempuan didasarkan pada ketakutan laki-laki terhadap feminitas dan kebutuhan kaum laki-laki untuk mengendalikannya melalui pembedaan kelas sekecil apa pun, termasuk parfum.
Bagaimana hukum perempuan mengenakan parfum dalam Islam?
“Perempuan haram pakai parfum!”
Mungkin, itulah salah satu doktrin yang diturunkan kepada kaum muslimah tentang larangan mengenakan parfum. Bahkan, banyak orang yang beranggapan buruk terhadap perempuan yang mengenakan parfum. Lantas, apakah memang penggunaan parfum itu benar-benar dilarang dalam Islam?
Larangan penggunaan parfum dalam Islam didasarkan pada hadis berikut:
“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian, lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dipakainya, maka perempuan tersebut adalah seorang pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, No. 323).
Tapi, mari kita lihat kembali kalimat “agar mereka mencium bau harum yang dipakainya”. Jadi, selama perempuan menggunakan parfum untuk kebaikan, kebersihan, dan diri sendiri ya tidak masalah, toh?
Lembaga Fatwa Mesir mengatakan bahwa agama Islam mendesak semua muslim untuk menjaga kebersihan pribadi dengan menggunakan semua cara yang sah dan tersedia. Mulai dari sabun beraroma, parfum, dan produk perawatan tubuh lainnya.
Dengan begitu, memakai parfum adalah salah satu hal terpuji dalam Islam karena bertujuan untuk menjaga kebersihan. Seorang muslimah diperbolehkan untuk memakai parfum baik di depan umum, di rumah, maupun untuk menyenangkan suaminya. Namun, perempuan dilarang memakai wewangian yang kuat secara sengaja saat pergi ke tempat umum dengan niat untuk menarik perhatian laki-laki. Berdasarkan pendapat tersebut, Lembaga Fatwa Mesir memutuskan agar perempuan menahan diri untuk tidak memakai parfum beraroma kuat ketika keluar rumah atau bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Jadi, balik lagi ke niat ya. Niatmu pakai parfum apa?
Lalu, kenapa perempuan yang pakai parfum jadi sumber fitnah?
Berdasarkan hadis dari Usamah bin Zaid, Rasulullah bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Tapi, kamu perlu tahu dulu kenapa Rasulullah mengatakan itu semua dan apa makna “fitnah” dalam kalimat tersebut. Jadi, Rasulullah mengatakan fitnah di sini sebagai ujian atau godaan bagi laki-laki karena laki-laki memiliki tabiat menyukai perempuan. Jika sudah menyukai perempuan, maka kebanyakan laki-laki dapat mengalami hilang akal dan lupa pada ajaran agama sehingga jatuh pada perkara haram seperti zina, perselingkuhan, dan pemerkosaan.
Kalau begitu, yang mesti tahan godaan siapa? Laki-laki atau perempuan? Bagikan pendapatmu di kolom komentar, ya!
Comments
Post a Comment