Masih terngiang di pikiran saya ketika kira-kira dua belas tahun silam, saat saya masih duduk di kelas satu atau dua sekolah dasar, buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dikutip oleh guru saya mencontohkan beberapa rangkai kalimat berbunyi, “Ibu sedang memasak.” atau “Ayah sedang membaca koran.”
Saat itu, mungkin kalimat-kalimat tersebut terdengar sangat lumrah. Bahkan, ketika saya beranjak remaja, saya masih menemukan kalimat serupa di buku pelajaran anak tetangga saya ketika saya menemaninya mengerjakan PR.
“Mirna sedang menyapu.”
“Mirna suka membantu ibu.”
Begitu kira-kira contoh kalimat di dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia yang saya lihat. Bukan cuma kalimatnya yang bertendensi bias gender. Ilustrasi di dalamnya pun cenderung menonjolkan mitos bahwa perempuan identik dengan warna atau kegiatan tertentu. Dalam buku tersebut, sosok Mirna pada kalimat di atas digambarkan sebagai seorang perempuan berusia enam tahunan yang mengenakan baju berwarna merah muda dengan bando di kepalanya sedang menyapu lantai.
Tampaknya, pecahan-pecahan memori itu masih cukup rapi tersimpan di kepala. Walaupun saat tumbuh dewasa, saya mulai menyadari bahwa baik kalimat maupun ilustrasi tersebut berpotensi melanggengkan pola pikir dan budaya patriarki bagi para pelajar sekolah dasar.
Bias Gender dalam Buku Pelajaran Sekolah © Pixabay from Pexels |
Bahasa dan gender
Meski isu kesetaraan gender masih menjadi isu krusial yang sering dibahas belakangan, salah satu bahasan yang saya lihat jarang diangkat ke permukaan adalah terkait bahasa dan gender. Bahasa merupakan salah satu disiplin ilmu yang juga tidak bisa lepas dari biasa gender karena menurut Noam Chomsky, ahli linguistik asal Amerika, bahasa merupakan hasil konsensus masyarakat yang di dalamnya banyak dipengaruhi oleh praktik dominasi penguasa yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan kebijakan. Di lain pihak, Esther Kuntjara dalam bukunya Gender, Bahasa, dan Kekuasaan, mengatakan bahwa adanya diskriminasi gender di hampir semua bahasa menimbulkan kondisi dilematis dalam dua hal, yaitu tentang bagaimana perempuan diajarkan untuk berbahasa dan bagaimana bahasa memperlakukan perempuan.
Demikian juga dalam konteks bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat satuan-satuan lingual yang bersifat seksis biologis untuk membedakan antara perempuan dan laki-laki. Tidak sedikit kajian mengenai relasi bahasa dan kehidupan sosial-politik serta budaya yang mengungkapkan realitas bahwa bahasa perempuan memang berbeda dengan bahasa laki-laki.
Persepsi serupa juga diungkapkan oleh Pierre Bourdieu, sosiologis asal Perancis, yang memandang bahasa sebagai instrumen dominasi kekuasaan sebab baginya, linguistik bukan sekadar simbol-simbol biasa dalam beberapa pengertian umum, melainkan juga simbol kultural yang secara tidak sadar memuat tindakan diskriminasi terhadap suatu kelompok, termasuk gender. Dengan kata lain, kuasa simbolik berupaya membedah dan melahirkan realitas yang dapat diakui dan dikenali secara absah (legitimate) oleh konstruksi sosial secara tidak disadari.
Indonesia dan kesenjangan gender
Saya rasa, Indonesia termasuk ke dalam daftar negara dengan fenomena sosial ini. Terbukti, Indonesia masih menduduki peringkat ke-85 dari 153 negara dengan indeks kesenjangan gender tertinggi pada 2020. Kesenjangan gender ini tentu berkaitan erat dengan kualitas sistem pendidikan Indonesia yang masih menerapkan kurikulum dan materi pembelajaran yang belum mampu mengeliminasi pembagian peran gender tradisional dalam lingkungan masyarakat.
Sejalan dengan itu, sebuah riset yang dipublikasikan jurnal PLOS One mengungkapkan bahwa bias gender masih sering ditemukan dalam buku pelajaran sekolah di Indonesia, baik berbentuk teks maupun ilustrasi. Kenyataan terkait banyaknya representasi bias gender dalam buku pelajaran sekolah menjadi penting untuk dibahas karena buku ini berperan penting dalam mendukung pemahaman anak mengenai suatu konsep yang dipelajari. Oleh karena itu, dalam mengembangkan dan menyusun buku pelajaran sekolah, dibutuhkan pertimbangan yang sangat luas, termasuk mempertimbangkan usia, suku, kelas, jenis kelamin, kemampuan, hingga kurikulum.
Bentuk-bentuk bias gender dalam buku pelajaran sekolah
Stereotip dan subordinasi perempuan sering kali ditemukan dalam buku pelajaran sekolah. Keduanya dapat muncul dalam bentuk penempatan perempuan sebagai komoditas dan sarana untuk memenuhi kepentingan laki-laki semata atau penempatan peran perempuan di wilayah domestik saja.
Pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, merawat dan mendidik anak, sampai peran eufemistis lain yang dikaitkan dengan bentuk-bentuk kepatuhan atau pengabdian perempuan kepada laki-laki, yang secara konstruktif diyakini masyarakat sebagai sosok pemimpin dalam rumah tangga. Inilah yang kemudian melanggengkan konstruksi sosial terkait kodrat atau bawaan biologis perempuan untuk melakukan perannya di wilayah domestik.
Bias gender dalam buku pelajaran sekolah tampaknya tidak hanya berdampak secara ideologis, karena mengandung ideologi tersembunyi yang menyampaikan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, tetapi juga memiliki dampak yang luas secara geografis. Artinya, seseorang yang membaca teks dengan bias gender di suatu tempat bisa memahami teks tersebut secara berbeda dengan pembaca dari wilayah lain (terutama daerah yang memiliki budaya berbeda).
Mengingat hal tersebut, upaya meningkatkan kesadaran guru dan siswa terkait bias gender dalam buku pelajaran sekolah sangatlah penting karena hal ini akan berpengaruh terhadap konsepsi dan persepsi siswa maupun akademisi lainnya tentang bagaimana praktik sosial gender berlaku di dalam kehidupan, demikian pandangan Sugeng Ariyanto dalam jurnalnya yang berjudul A Portrait of Gender Bias in the Prescribed Indonesian ELT Textbook for Junior High School Students.
Selain berpengaruh terhadap persepsi siswa terkait pemahaman gender, bias gender dalam buku pelajaran sekolah juga berperan penting dalam pendidikan bahasa karena umumnya siswa dapat mengenal budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam buku tersebut melalui bahasa.
Oleh karena itu, eksplorasi dan evaluasi konten buku pelajaran sekolah hingga membekali guru maupun peserta didik dengan pandangan kritis berbasis gender menjadi sangat penting karena materi yang dirancang dalam buku pelajaran sekolah mencerminkan pendapat dan ideologi penulis beserta pengembangnya.
Selamat Hari Pendidikan Internasional! Semoga pendidikan di Indonesia semakin adil gender.
Ditulis oleh Esa Wandira, mahasiswi semester akhir yang sedang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya. Saat ini sedang belajar merintis usaha kecil di bidang digital, mengisi rubik di salah satu tabloid rintisan, dan mengemban amanah sebagai pengurus di beberapa organisasi kemahasiswaan.
Disunting oleh Perempuan Sufi
Comments
Post a Comment