Saya masih ingat bagaimana dedaunan dan alang-alang yang saya sentuh ketika saya berusia tujuh tahun mampu membuat mood yang saat itu berantakan seketika berubah menjadi relaksasi menyenangkan.
Berjibaku dengan setumpuk pekerjaan rumah dari guru-yang-terlihat-sempurna-nyatanya-tidak, omelan orang tua-yang-ingin-terlihat-sempurna di mata anak mereka, serta ejekan teman-teman yang merasa-diri-mereka-sempurna adalah hal yang melelahkan.
Setiap kali lelah itu datang, saya kembali menyapa dedaunan dan alang-alang. Jika sepulang sekolah teman-teman biasa bermain petak umpet di tanah lapang, maka saya akan asyik bersentuhan dengan pepohonan di ladang belakang sekolah.
Inilah momen pertama kali saya merasa bahwa kesepian bisa terobati hanya dengan sentuhan dedaunan dan pepohonan. Membayangkan mereka sebagai teman-teman menjadi kebiasaan baru bagi saya saat itu. Dalam benak saya, merekalah teman yang selalu hadir di saat saya merasa sedih: dedaunan dan pepohonan.
Manusia, pohon, dan kehidupan © Pixabay from Pexels |
Kebiasaan yang tak pernah hilang
Beranjak dewasa, saya mulai memiliki banyak teman. Bukan cuma teman bermain, melainkan juga teman berbagi suka maupun duka. Meski kesepian beranjak hilang, nyatanya kebiasaan menyapa dedaunan dan pepohonan tidak pernah usang. Tiap kali merasa bahagia, saya akan kembali pada mereka. Berterima kasih karena telah menemani saya sampai akhirnya tidak lagi merasa sepi dan terluka.
Mungkin perasaan berterima kasih inilah yang dirasakan masyarakat adat pada hutan mereka. Hutan yang tidak hanya memberikan buah dan sayuran untuk dikunyah, sumber air untuk diminum, ilalang dan kayu-kayu untuk bernaung, tapi juga memberi napas untuk hidup.
Bagi masyarakat adat yang sejak kecil tumbuh bersama hutan, menyaksikan siklus pertumbuhan pepohonan dari benih sampai berbuah mungkin hal yang kelihatan biasa saja. Nyatanya, masyarakat primordial senantiasa menganggap pohon sebagai simbol kuat kehidupan, kematian, dan pembaruan.
Dalam banyak budaya, pohon dianggap sakral sehingga pemujaan pohon dalam berbagai bentuk telah dipraktikkan secara universal oleh masyarakat primordial di seluruh dunia selama ribuan tahun.
Di Mesir, pohon menjadi simbol penciptaan dan rantai peristiwa yang membuat segala sesuatu menjadi ada. Di Jerman, banyak masyarakat percaya bahwa manusia diciptakan dari batang pohon sehingga manusia dan pohon memiliki banyak kesamaan. Di Swedia, beberapa pohon dianggap sebagai "penjaga" rumah dari kesialan. Di Malaysia, orang-orang Senoi menganggap manusia dan pohon sebagai satu kesatuan. Di Indonesia, masyarakat Dayak Ngaju menganggap pohon sebagai petunjuk untuk mengatur kehidupan manusia.
Dalam ajaran Nasrani, kasih Allah dilukiskan sebagai pohon kehidupan yang daun-daunnya memiliki kuasa penyembuhan bagi bangsa-bangsa. Dalam ajaran Islam, pohon merupakan makhluk Allah yang juga hidup layaknya manusia; sama-sama bertasbih kepada Allah dan karenanya Nabi Muhammad melarang umat Islam untuk menebang pohon saat berperang.
Pohon kehidupan, malaikat yang tak terlihat
Kepercayaan terhadap pohon inilah yang kemudian melahirkan istilah pohon kehidupan, simbol mistik kuno yang muncul di berbagai budaya; mulai dari suku Maya, Celtic, sampai mitologi Nordik. Meski tiap budaya punya cerita masing-masing tentang pohon kehidupan, simbol ini tetap melambangkan konsep kehidupan yang bersifat religius, filosofis, dan spiritual.
Pohon yang biasa digambarkan sebagai pohon besar dengan akar yang menjalar kuat sampai ke dalam tanah dan ranting yang menjulur tinggi sampai ke atap langit ini merepresentasikan sifat keterhubungan antara satu entitas dengan entitas lain di alam semesta; ikatan kekal antara alam fisik tempat kita berakar dengan alam spiritual yang kita capai.
Pohon inilah yang kemudian mengingatkan kita pada semesta dan bagaimana manusia bergantung padanya untuk bisa tumbuh dan berkembang.
Bahkan dalam sains modern sekalipun, pohon menjadi simbol klasik evolusi biologis yang menggambarkan keterkaitan antarspesies yang hidup di bumi. Artinya, baik masyarakat primordial maupun modern sama-sama memiliki kesadaran kolektif tentang pohon dan kehidupan.
Untuk membuktikan kekuatan pohon secara ilmiah, sebuah penelitian menunjukkan bahwa pepohonan mampu menghilangkan banyak polusi udara sehingga mencegah 850 kematian dan 670 ribu kasus gejala pernapasan akut pada 2010. Sayangnya, 15,3 miliar pohon ditebang setiap tahunnya untuk kebutuhan ekonomi dan pembangunan.
Padahal, pohon tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia, tapi juga memberikan dampak psikologis yang baik bagi kesehatan mental.
Sama seperti manusia, pepohonan juga bisa merasa sakit, terluka, dan bahagia. Itulah sebabnya, banyak orang merasa tenang saat berdiam di bawah naungan pohon dan hutan rimbun sebab mereka bisa merasakan energi getaran pohon saat meletakkan tangan mereka di atas kulitnya.
Warisan dan kenangan
Dalam beberapa kasus pencarian jati diri yang hilang, manusia sering kali kesulitan menentukan identitasnya akibat silsilah keluarga yang tidak jelas. Itulah sebabnya, orang-orang menggambarkan silsilah keluarga dalam bentuk diagram pohon. Diagram inilah yang kemudian dipakai oleh banyak orang untuk menentukan siapa-aku dan siapa-penerusku.
“Jika silsilah itu hilang, bagaimana nasib generasi penerusku nanti?” Pertanyaan itu mungkin penting bagi sebagian orang, tapi tidak terlalu krusial bagi sebagian yang lain.
Lantas, bagaimana dengan pertanyaan yang satu ini: “Jika pohon menghilang, bagaimana nasib generasi penerusku nanti?”
Bagi saya, dedaunan dan pepohonan bukan cuma spot instagramable yang mesti dipuja, melainkan bagian dari kehidupan yang mesti dijaga. Lebih dari itu, pohon juga tumbuh dalam kenangan manusia. Setiap kali menyentuh daun dan pepohonan, seketika itu saya mengingat bagaimana saya tumbuh dan berkembang.
Daun dan pepohonan inilah yang telah hidup selama ratusan, bahkan ribuan tahun, dan menjadi penjaga rahasia masa lalu serta pahlawan masa depan bagi manusia. Sebab setiap lahan yang ditanami pepohonan punya sejarahnya sendiri; dari mulai ia berdiri sampai akhirnya dikebiri.
Sama seperti masyarakat adat yang tidak ingin sejarahnya hilang karena pepohonan dan hutan mereka yang dieksploitasi atas nama pembangunan, saya juga tidak ingin kehilangan kenangan bersama teman-teman masa kecil saya yang telah memberi banyak pemahaman tentang kehidupan. Bagaimana denganmu?
Yuk, berterima kasih pada pohon dengan menjaganya tetap lestari. Selamat memperingati Hari Gerakan Satu Juta Pohon!
Comments
Post a Comment