Walau ekspresi pengalaman seksual sudah ada di dalam lukisan zaman batu, seks tetap menjadi hal yang penuh rahasia hingga saat ini. Ia tidak pernah benar-benar selesai. Bagi sebagian orang, ia menjadi tabu untuk dibicarakan. Bagi sebagian yang lain, ia menjadi begitu vulgar, menjadi sekadar bersifat badaniah. Sementara bagi sebagian yang lain mengandung nilai-nilai filosofis. Ia hadir dalam mimpi sekaligus kenyataan.
Sanggama dan Pesantren © Ahmed Aqtai from Pexels |
Masing-masing kita memiliki titik awal yang berbeda terhadap seks. Secara teoretis, usia akil balig bermula dengan adanya mimpi basah, tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, atau bentuk badan yang berubah. Namun, pengetahuan dan pengalaman tentang seks bisa jadi dimulai sebelum atau sesudah batas antara masa kanak-kanak dan akil balig terjadi.
Pengetahuan dan kesadaran pertama saya tentang seks terbentuk ketika…, ah saya lupa kapan dan bagaimana wujudnya. Yang pasti, hal itu terjadi di pesantren. Mungkin melalui obrolan ringan dengan kawan-kawan, mimpi, atau pelajaran. Entah, saya benar-benar lupa.
Sebagaimana remaja pada umumnya, rasa penasaran terhadap seks bertumbuh kembang di masa pubertas dan mengejawantah dalam banyak perilaku, meski dalam kungkungan dinding pesantren. Misalnya, saya sesekali mencari posisi duduk mengaji di saf bagian belakang agar bisa mencuri pandang ke para nisa (perempuan); bertukar bacaan stensilan dengan santriwan lain secara sembunyi dan membacanya setelah lampu padam; atau memajang gambar-gambar artis gadis di lemari. Yang paling frontal, tentu berlama-lama di kamar mandi.
Pesantren saya tidak terlalu ekstrem dalam hal pembatasan hubungan antara santriwan dan santriwati. Walau pesantren merupakan tempat yang “suci”, manusia di dalamnya tetaplah manusia, dan seorang remaja lelaki (atau gadis) tetaplah seorang remaja lelaki (atau gadis), yang tidak terhindarkan dari salah satu fase biologis, dan hal itu harus diberi tempat. Para ustaz/ustazah, kiai pengasuh pesantren, tampaknya cukup paham tentang hal itu. Karenanya, ada (sedikit) kebijakan yang menyenangkan.
Misalnya, di malam Jumat, para santriwan dipersilakan berkunjung ke kelas santriwati atau sebaliknya untuk menampilkan apresiasi seni, seperti teater, musik, atau muhadhoroh (pidato). Di hari Jumat, para santri boleh bertemu di tempat netral (contoh, kantin umum) asal dengan izin ustaz/ustazah.
Namun, tentu batasan-batasan di pesantren lebih ketat dibandingkan dengan dunia non-pesantren. Bacaan mengenai atau yang ada kandungan seksnya selalu diletakkan di rak khusus, yang tidak boleh dibawa keluar ruangan perpustakaan. Bila pun ingin membacanya, tentu harus meminta izin dengan tantangan menjawab pertanyaan berbelit (intinya: bikin malas).
Album Jamrud “Ningrat”, yang memuat lagu Surti-Tejo, sempat menjadi barang haram karena batasan ini. Buku-buku yang berkaitan dengan seks jelas tidak diperkenankan. Jika ketahuan membacanya, hukuman paling ringan disuruh push-up atau sit-up. Hukuman paling berat, bacaan-bacaan disita, lantas disuruh melapor ke Dewan Guru (level tertinggi dari para guru).
Saya ingat, novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara milik saya disita (sebagian karena muatannya, sebagian karena saya membacanya di jam belajar).
Bagaimanapun, pengetahuan atau pengalaman tentang seks di pesantren, sedikit atau banyak punya pengaruh pada perkembangan kepribadian. Termasuk dalam hal “menemukan kegiatan menyenangkan”.
Dorongan untuk menyenangi menulis juga ada kaitannya dengan ini. Saya pernah mencoba menulis kisah-kisah ranjang, mencoba meniru buku-buku stensil Enny Arrow atau Fredy S. Hasilnya, gagal. Gairah seksual tiba-tiba meredup ketika menulis karena justru terlalu berkonsentrasi pada kata-kata. Akhirnya, saya menulis meniru Ali Topan-nya Gola Gong saja. Haha.
Saat lulus dari pesantren dan masuk ke universitas negeri, yang di dalamnya hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak sekaku di pesantren, saya sempat canggung ketika harus berkenalan dengan perempuan. Sialnya, saya memilih kosan campur yang kamar kanan saya ditempati perempuan. Di kamar atas juga. Di kamar depan juga. Auzubillah (atau alhamdulillah).
Konstruksi munafik atas seks
Perilaku seksual sering kali menjadi barometer masyarakat, menjadi nilai mobilisasi besar. Seksualitas tidak sekadar hanya biologis-fisik, namun merupakan bentuk interaksi sosial. Karena itu, hubungan seksual adalah cermin nilai-nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti negara, serta hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (Hal 159. Agama, Seks, dan Kekuasaan. 2012. Julia Suryakusuma).
Bahwa hubungan seksualitas mengandung daya tarik, gairah, nafsu, motivasi, janji-janji, yang kadang masuk ke mimpi-mimpi memang ada benarnya. Sekaligus, hubungan seksual juga dipandang dengan kecurigaan, kebingungan, kejijikan, dan ketakutan.
Di luar “kandang”, saya menemukan fakta bahwa seks merupakan barang yang lebih gamblang. Pembahasan (atau pengalaman) tentang seks terjadi di mana saja. Di ruang kuliah, seminar umum, warung kopi, hingga kamar kosan. Tetapi, segamblang-gamblangnya jika dibandingkan dengan pesantren, ia tetap sesuatu yang rahasia. Sering ditabukan atas nama sopan santun dan moralitas. Walau ia terbersit dalam candaan, misalnya, namun tidak pernah sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang terbuka, bahkan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang hina.
Contoh yang belum lama terjadi: pelarangan film Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho. Para kepala daerah berbondong-bondong menelurkan kebijakan penolakan penayangan. Orang-orang maupun lembaga-lembaga moralis lebih nyaring lagi soraknya. Padahal, sebagian besar dari mereka tidak/belum menonton film tersebut. Vandalisme atas karya dilakukan karena ketakutan dan kekhawatiran tanpa dasar.
Tidak sedikit karya yang dilarang peredarannya karena alasan “kekhawatiran masyarakat” seperti demikian. Bukan hanya dalam ruang lingkup kesenian. Dalam kehidupan sosial, hal ini sama parahnya.
Perempuan korban pemerkosaan justru sering dianggap yang bersalah: “Salahmu pulang malam, dandanan begitu”. Di sisi lain, masyarakat kita (Indonesia) menyenangi iklan-iklan bodoh: “Cukup tunjukkan ketek mulusmu wahai kaum hawa, maka para lelaki mendekat”. Ketika dikirimi video cabul lewat whatsapp, tetap saja mereka buka walau tahu isinya cabul.
Loh, kan munafik namanya? Konstruksi sosial munafik.
Saya bukan hendak mendukung vulgaritas seksualitas. Tidak sama sekali. Bagaimanapun, ada batasan-batasan yang penting untuk dipertimbangkan dalam tiap penyebaran informasi yang berkaitan dengan seks. Juga bukan hendak mendukung peredaran film-film porno.
Saya hanya ingin memperjelas bahwa seks tidak pernah dipandang netral dalam konstruksi sosial sebab sebagaimana disebutkan tadi, konstruksi sosial kita bermuka dua.
Seks kerap dikambinghitamkan untuk perihal-perihal tertentu. Tiap hal yang berkaitan dengan seks, yang berada di luar otoritas negara dan instansi pendidikan, dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Dipandang jorok, cabul, birah, menyesatkan, beraroma api neraka. Tetapi, di sisi lain, akting-akting erotis sampah di film-film bergenre horor (atau apalah), masih menjamur sampai sekarang.
Sekali lagi, kan munafik namanya?
Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang ada kasus-kasus kekerasan atau pencabulan akibat dorongan seksual. Tetapi, berapa persen angkanya jika dibanding “mereka yang normal-normal saja walau menonton bokep tiap hari”? Jauh lebih banyak yang normal. Sebagian besar remaja, termasuk yang bersekolah di pesantren, saya yakin pernah onani. Berdosa, barangkali iya. Namun, tidak pernah benar-benar menjadi biadab dan bejat.
Lagi pula, tidak bisa dipukul secara merata bahwa kasus-kasus kekerasan seksual semua diakibatkan gairah seks. Faktor lain seperti ekonomi, kebiasaan kekerasan, atau pendidikan rendah sering ditepikan. Padahal, faktor-faktor tersebut cenderung lebih berbahaya ketimbang dampak gairah seks itu sendiri.
Mencermati atau menyelami seks semestinya tidak melulu dikaitkan dengan moralitas, yang lantas ujung-ujungnya berakhir pada perdebatan kuno, estetika, atau etika. Ada hal-hal yang lebih luas yang bisa diraih darinya.
Seks sejatinya mampu melampaui batas sensasi biologis atau cara berkembang biak. Ia ikut mendefinisikan siapa atau apa, menjadi cara legitimasi kekuasaan sekelompok manusia, menjadi cara mengukuhkan eksistensi, menjadi piranti penting keadilan gender, mempererat hubungan antarmanusia, bahkan menjadi sarana menyatu dengan Tuhan.
Ditulis oleh Abroorza A. Yusra
(Disunting oleh Perempuan Sufi)
Comments
Post a Comment