Bukanlah barang yang baru bahwa pernah ada kehidupan sosial, budaya, dan spiritual yang mengacu pada seks. Sebut saja konsep “lingga dan yoni” yang sudah ada sejak zaman Hindu atau barangkali sudah ada pula konsep serupa yang hidup di masa animisme dan totemisme.
Sejarah Nusantara sendiri tidak terlepas dari hal tersebut, bahkan setelah masuknya Islam. Di awal transisi zaman Hindu ke Islam, terjadi asimilasi budaya dan kepercayaan. Peleburan nilai-nilai Islami, Hindu, dan falsafah Jawa Kuno terjadi. Persoalan seks termasuk di dalamnya. Hal ini, salah satunya dapat disimak di dalam Serat Centhini yang disusun oleh tiga pujangga keraton atas titah Anom Amengkunegara III (Surakarta) pada awal abad ke-19.
Dalam Serat Centhini, seks bukanlah pemanis belaka. Hal itu bahkan mungkin menjadi sumbu esensi karya ini. Seks tidak berdiri sendiri. Sesembrono apa pun adegannya, ia berkelindan dengan berbagai hal, termasuk dengan nilai-nilai ilahi.
Cebolang dan Nurwitri menyerap kenikmatan para gadis seperti dua bunga karang laut yang segera menyemburkan air mani beraroma tripuspa. Mereka mengasah lagi batangnya dengan ajian yang diketahui oleh kaum musafir Jawa. Mereka bertukar tempat dan gadis, lalu bermain cinta lagi hingga malam silam.
Menjelang fajar, mereka buru-buru meluapkan diri kali terakhir dalam tubuh kedua gadis, kemudian keluar sembunyi-sembunyi. Mereka pergi ke sumur untuk membasuh kepala dan kelaminnya, lalu wudu. Mereka melaksanakan salat subuh di serambi pesantren.
(Hal 147-148. Referensi teks dan adegan dalam tulisan ini mengacu pada Centhini: Kekasih yang Tersembunyi, 2018, diterbitkan oleh Babad Alas, saduran Elizabeth Inandiak atas Serat Centhini).
Nafsu dan Rahasia © John Roca from Pexels |
Nafsu dan Rahasia yang Menyatu
Dalam kacamata realistis, yang dilakukan Cebolang tentu tidak dapat diterima. Bisa-bisa ia dibakar massa atau diarak sepanjang Pulau Jawa. Namun, dalam Serat Centhini, Cebolang bukan contoh orang yang Salat Terus Maksiat Jalan (STMJ).
Cebolang, remaja yang lari dari rumah orang tuanya karena menilai dirinya berdosa besar beranggapan bahwa hanya dengan menceburkan diri ke perbuatan yang hina dina maka dosa-dosanya dapat dimaafkan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan.
Maka, dalam petualangannya, ia bersanggama dengan orang yang berbeda-beda, laki atau perempuan. Di mana saja. Termasuk di lingkungan pesantren. Usai bersanggama, ia mandi dan menunaikan salat subuh dengan khusyuk.
Elizabeth D. Inandiak, sastrawati sekaligus pemerhati Sastra Jawa yang menyadur Serat Centhini (yang berjumlah 12 jilid) menjadi sebuah buku berjudul Centhini: Kekasih yang Tersembunyi yang terbit pada 2008, menyatakan bahwa Serat Centhini merupakan gabungan antara seks dan mistik.
“Erotika yang sangat tinggi,” ujarnya dalam kuliah umum Erotika Nusantara: Serat Centhini di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012.
Saya pikir, penilaian “erotika yang sangat tinggi” berangkat dari konstruksi sosial hari ini (saya gunakan ‘hari ini’ karena paradigma masyarakat terhadap sesuatu kerap kali berbeda dari masa ke masa. Bisa jadi, yang dianggap buruk di hari ini, justru dianggap baik di esok hari). Di hari ini, seks dianggap mewakili nilai-nilai yang buruk dan menjauhkan diri dari Tuhan, sementara salat/pesantren mewakili nilai-nilai suci, baik, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Ketika keduanya bersatu, seks dan salat, yang buruk dan baik disandingkan. Maka, jadilah titik temu yang mystical. Bagai yin dan yang. Bagai dua kutub magnet yang saling berlawanan, yang justru karena hal itulah menjadikan mereka satu. Kesatuan tersebut terbungkus dalam fragmen “spiritual”.
Konon, Serat Centhini mengandung perpaduan antara tasawuf dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber dari buah pikiran sufistik Timur Tengah yang diutarakan oleh Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi. Sementara itu, asmaragama bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno.
Untuk mencapai tingkat tertinggi asmaragama, diperlukan penyatuan yang utuh di dalam hubungan seks. Bukan hanya penyatuan tubuh, namun juga penyatuan pikiran dan jiwa. Bila itu terjadi, bukan hanya klimaks badaniah yang tercapai, namun juga kesadaran pada semesta dan keilahian. Inilah yang kemudian disebut sir (“nafsu” dalam bahasa Jawa dan “rahasia” dalam bahasa Arab).
Terjadinya sir dalam Serat Centhini, dikisahkan melalui percintaan Amongraga dan Tambangraras. Di malam pernikahan, Amongraga duduk berhadapan namun saling berjauhan dengan Tambangraras, istrinya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan Tambangraras duduk di haluan.
Baca juga: Sanggama dan Pesantren: Penyatuan Nafsu dan Rahasia Ilahi (Bag. I)
Selama tiga puluh sembilan malam pasangan tersebut menunda bersanggama. Mereka berdua terlibat dalam percakapan pencerahan spiritual. Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada istrinya agar persanggamaan mereka nantinya mencapai penyatuan sejati. Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan spiritualnya. Semakin tinggi tingkat spiritualnya, semakin tinggi ‘ketelanjangan’-nya.
Pada malam keempat puluh, persanggamaan itu terjadi juga. Puncak dari segala puncak. Amongraga dan Tembangraras saling bersatu dan penyatuan kedua sosok tersebut berpusat dalam rahasia penyatuan pada ilahi. Terjadilah sir itu. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal.
Di ranjang bidadari, Amongraga telanjang dan duduk bijaksana dalam Padma merah istrinya. Demikian mereka diam berpelukan sepanjang malam, waspada dan pasrah, satu dalam lainnya….Di dasar raga, mereka berdoa kepada sang Ilahi agar pelukan mereka tidak runtuh terberai dan agar semua rasa mereka disatukan dalam ilmu ajaib sanggama (Hal 286).
Lantas, di akhir cerita hubungan mereka berdua, Amongraga dan Tembangraras menjadi ulat, menyatu dengan semesta. Tiada. Lagi-lagi manunggal.
Amongraga berpaling ke istrinya. Tambangraras menangkap kedipan matanya. Dalam satu gerakan mereka segera berubah menjadi ulat, satunya jantan, satunya betina. Yang jantan cincinnya berwarna gelap dam berbulu, betinanya gelangnya merah dan gembur. Sultan Agung segera mengambil kedua ulat itu, dan menaruhnya di bumbung bambu yang cukup besar dan dalam.
Gelap di dalam bumbung, seolah bumi dibelah perutnya, sinar dibiarkan jatuh di dasar mayatnya. Untuk kali terakhirnya suara sang penyair bertanya:
Apa itu semesta? Apa itu rahasia?
Meja tak berujung disajikan pada cacing tanah?
Segala perlahan-lahan digerogoti Tiada?
(Hal 405)
Sebenarnya, saya lebih suka memandang kegiatan seks sebagaimana saya memandang makan dan minum: sebuah kebutuhan untuk hidup. Dengan demikian, kegiatan seks tidak memiliki kandungan moral (baik atau buruk). Sama tingkatannya dengan, misalnya, makan dan minum. Bisa saja buruk, bisa saja baik. Bergantung pada tujuan, kadar, dan kandungannya.
Dengan cara pandang “melepaskan diri dari konstruksi sosial”, kita meletakkan seks senetral mungkin. Artinya, ia tidak “lebih bernilai” atau “lebih tidak bernilai” dibanding aktivitas kehidupan yang lain. Sebab, bila dikaitkan dengan konteks tasawuf, setiap aktivitas maupun benda adalah setara kedudukan dan fungsinya. Muaranya satu: penyatuan pada ilahi.
Baca juga: Manusia, Pohon, dan Kehidupan
Lalu, jika seks dinilai lebih bernilai daripada aktivitas lain, maka bagaimana dengan mereka yang tidak atau belum berhubungan seks? Apakah lantas tidak dapat mencapai ‘penyatuan’? Kan nggak.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa seks adalah aktivitas yang tidak sesederhana makan dan minum. Ia penuh rahasia dan mendua. Dihujat, tapi digemari. Dijejali bisikan setan, tapi juga diizinkan Tuhan. Seks kerap menjadi simbol pemberontakan sekaligus ketaatan.
Karena sifat rahasianya ini, maka tidak ada jawaban yang pasti tentangnya. Bagi sebagian orang, kehidupan seksual adalah urusan pribadi dan pencarian tentang rahasianya, yang artinya urusan pribadi juga. Saya tidak bisa membantah. Bagaimanapun, ngelmu kuwi kalakone kanthi laku (Serat Wedhatama). Memahami hidup bisa mungkin karena kita menjalani hidup.
Namun, Serat Centhini telah menawarkan sesuatu yang berbeda. Ada tawaran lain dalam cara kita memandang seks: bahwa seks punya kaitan langsung dengan keilahian. Alih-alih menjauhkan manusia dari Tuhan (sepertinya, ini adalah pencapaian terakhir yang mungkin bisa diraih dalam hubungan seks, jauh lebih megah dari pada nge-seks atas nama cinta).
Silakan jika Anda berniat meniru Amongraga dan Tambangraras. Semoga tingkat hubungan seksual Anda berhasil mencapai tingkatan sir. Jika tidak pun, bukan urusan saya. Barangkali Anda lebih berkenan dengan berhubungan “atas nama cinta”. Tapi, saya berharap dan berdoa, kita tidak termasuk dalam golongan dengan cara pikir yang impoten, yang melihat seks sebagai pertemuan dua kelamin saja. Sebab, seks yang seperti itu pada akhirnya akan membusuk. Percayalah.
Lalu, bagaimana dengan penilaian moral? Mungkin Anda lebih paham daripada saya.
Ditulis oleh Abroorza A. Yusra
(Disunting oleh Perempuan Sufi)
Comments
Post a Comment