Salah satu peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah Islam adalah Isra Miraj, yaitu perjalanan yang dilakukan Nabi Muhammad dari Masjidilharam ke Masjidilaksa dan dilanjutkan ke Sidratulmuntaha hanya dalam waktu semalam. Dari sinilah Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk melaksanakan salat lima waktu dan menyebarkannya kepada seluruh umat Islam.
Secara etimologi, Isra berasal dari kata saro yang artinya ‘perjalanan di malam hari’, sedangkan Miraj berasal dari kata aroja yang berarti ‘naik’. Artinya, Isra dan Miraj merupakan dua peristiwa berbeda yang terjadi dalam semalam. Sementara itu, burak sebagai kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad untuk melakukan perjalanan ini pun tentu sudah tidak asing lagi, terutama di telinga umat Islam.
Meski begitu, pemaknaan Isra Miraj dan burak sendiri tidak lepas dari kontroversi. Bagi sebagian orang, Isra Miraj adalah dogma; Nabi Muhammad pergi ke langit ketujuh dengan menggunakan kendaraan bernama burak. Titik, tidak bisa ditawar. Bagi sebagian yang lain, butuh interpretasi khusus yang lebih logis untuk bisa mengimaninya; mungkin, itu hanya kiasan yang merepresentasikan perjalanan spiritual Nabi Muhammad. Tanda tanya, belum ada jawaban. Sebagian dari sebagiannya lagi, butuh pembuktian untuk bisa menerimanya sebagai peristiwa besar dan mengimaninya sebagai perjalanan spiritual. Coba kita pikirkan. Tanda seru, belum ada tanggapan.
Nah, kamu yang mana?
Isra Miraj © Ali ArapoÄŸlu from Pexels |
Relativitas keimanan
Sewaktu kecil, mungkin sekitar usia tujuh atau delapan tahun, saya pernah berimajinasi tentang burak. Dalam imajinasi saya, burak adalah hewan berkekuatan super yang bisa meluncur ke langit ketujuh dengan kecepatan kilat seperti roket.
Seandainya saat itu sudah ada pesawat X-15 yang didapuk sebagai roket tercepat dengan kecepatan 7.273 kilometer per jam sekalipun, maka dibutuhkan waktu sekitar 48 jam agar Nabi Muhammad bisa menempuh perjalanan sejauh 350.000 kilometer (jika kita menganalogikan Sidratulmuntaha sebagai langit yang bisa kita lihat saat ini). Memikirkan hal tersebut, imajinasi saya undur diri dan saya pun sampai pada tahap menerima perjalanan Isra Miraj sebagai dogma.
Kalaupun perlu interpretasi khusus, saya bisa membacanya secara semiotis dengan Isra sebagai konsep hubungan horizontal antara Nabi Muhammad dengan manusia lainnya (habluminannas) dan Miraj sebagai konsep hubungan vertikal antara Nabi Muhammad dengan Sang Pencipta (habluminallah). Sampai di sini, mungkin saya bisa sedikit diam (meski belum terpuaskan).
Baca juga: Bolehkah Muslim Mengucapkan Selamat Natal?
Namun, perjalanan spiritual memang tidak pernah berhenti di satu halte. Memasuki usia belasan, saya mulai tertarik dengan teori relativitas yang diajarkan guru fisika saya semasa SMA. Namanya Pak Dede. Orangnya jutek dan galak. Saban ulangan fisika, saya selalu mendapat nilai di bawah 4. Tapi, Pak Dede tidak pernah menyerah. Berkali-kali ia mengajak saya berdiskusi, sampai akhirnya menganalogikan materi yang diajarkannya dengan dasar-dasar filsafat dan kehidupan sehari-hari.
Sejak saat itu, saya menyukai fisika dan meyakini bahwa sains tidak lahir hanya dari hasil pengamatan objek, tapi juga dari pengalaman subjek yang bersifat personal. Keyakinan ini semakin kuat ketika saya menonton film Einstein and Eddington, yang bercerita tentang perjalanan Einstein dalam menemukan teori relativitas dengan dukungan Eddington sehingga berhasil menemukan rumus e=m.c² yang hingga sekarang masih digunakan.
Dalam film tersebut, rumus e=m.c² tidak semata-mata lahir dari keinginan Einstein untuk membuktikan kesetaraan energi, massa, ataupun kecepatan cahaya sebagai fenomena alam. Di luar dugaan, rumus ini lahir karena adanya pertanyaan filosofis tentang keberadaan Tuhan yang selama ini bercokol di pikiran Einstein.
Saya ingin tahu bagaimana Tuhan menciptakan dunia ini. Saya tidak tertarik dengan fenomena ini atau itu, dalam spektrum elemen ini atau itu. Saya ingin tahu pikirannya. (The Expanded Quotable Einstein, Princeton University Press, 2000 hal.202)
Melewati malam-malam kelam, isolasi dunia luar, penolakan di dunia sains, dan kesulitan-kesulitan lainnya, Einstein berjuang untuk menemukan bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Hingga pada akhirnya, ia melihat Tuhan sebagai cahaya yang kemudian terdiferensiasi melalui rumus yang dihasilkannya. Pada tahap inilah Einstein mengamini keberadaan Tuhan dan kecepatan-Nya yang tak tertandingi (kecepatan cahaya).
Baca juga: Mengenal Shadow Work, Berteman dengan Sisi Gelap Manusia
Konsep teologi Einstein inilah yang kemudian membangunkan nalar saya untuk kembali memaknai Isra Miraj. Jika teori kecepatan cahaya itu ada dan diamini banyak orang, bukan tidak mungkin jika Nabi Muhammad juga mengendarai burak pada kecepatan cahaya dalam perjalanan Miraj-nya.
Sejalan dengan penemuan kecepatan cahaya Einstein, maka saya asumsikan bahwa Nabi Muhammad sudah lebih dulu melakukan perjalanan cahaya pada malam Isra Miraj.
Intinya, mau kamu melihat Isra Miraj sebagai dogma ya silakan, mau menginterpretasinya sebagai sesuatu yang lain monggo, mau mencoba membuktikannya juga boleh. Semuanya relatif. Pada akhirnya, sains tidak bisa membuktikan Tuhan itu ada atau sebaliknya. Yang tinggal hanyalah keimanan dalam beragam manifestasi.
Feminitas dalam Isra Miraj
Pernah nggak kamu bertanya-tanya kenapa Isra Miraj dilakukan pada malam hari? Saya sendiri pernah berpikir demikian dan berasumsi bahwa perjalanan spiritual akan lebih syahdu kalau dilakukan dalam suasana intim dan suasana intim hanya mungkin ditemukan jika tidak ada siapa pun atau setidaknya dalam kondisi sepi.
Mungkin itulah sebabnya pikiran manusia lebih sering melakukan “perjalanan” di malam hari sehingga banyak orang merasa lebih mudah berkonsentrasi dan melahirkan kreativitas di malam hari. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan malam sebagai momen kontemplasi atau muhasabah diri.
Dalam dunia spiritual, malam dipercaya memiliki kekuatan ilahiah yang lebih besar ketimbang siang hari. Itulah sebabnya, dalam syair-syair sufistik para hukama (orang-orang bijak), malam dijadikan sebagai momen yang tepat untuk melakukan tarekat dengan Tuhan.
Baca juga: Manusia, Pohon, dan Kehidupan
Kekuatan emosional yang pada awalnya membawa duka mendalam atas kepergian Khadijah bertransformasi menjadi kekuatan spiritual yang pada akhirnya membawa Nabi Muhammad pada perjalanan Isra Miraj. Di sinilah batas-batas antara kematian dan kehidupan dilampaui sehingga Nabi Muhammad dapat melihat Tuhan sebagai bagian dari dirinya.
Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar disebut sebagai manunggaling kawulo gusti, ketika manusia bersatu dengan Tuhan. Konsep sufistik ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia selalu dihadapkan pada dua hal yang berpasangan, seperti halnya baik dan buruk, hidup dan mati, siang dan malam, laki-laki dan perempuan.
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS Az-Zariyat:49)
Konsep itu pulalah yang bisa ditemukan dalam peristiwa Isra Miraj. Jika siang diasosiasikan dengan maskulinitas, maka malam adalah representasi feminitas (dalam Vedic Astrology, kualitas energi maskulin dalam jiwa manusia ditafsirkan sebagai matahari dan feminin direpresentasikan oleh bulan).
Jika siang hari diisi dengan aktivitas rasional dan maskulin seperti bekerja dan bersosialisasi, maka malam hari diisi dengan aktivitas berkualitas energi feminin seperti menyendiri dan berkontemplasi. Konsep penyatuan nilai-nilai maskulin dan feminin inilah yang saya lihat sebagai bagian dari personifikasi perjalanan spiritual Nabi Muhammad untuk tidak menempatkan energi maskulin dan feminin sebagai dua hal yang berlawanan, melainkan dua hal yang saling melengkapi, dalam struktur peribadatan.
Dengan demikian, membaca Isra Miraj tidak hanya mengimani perjalanan rasul, tetapi juga memaknai perjalanan spiritual manusia untuk menyatu dengan Tuhannya dan melihat segala sesuatu di dunia ini secara holistik.
Tapi, itu sih pendapat saya. Kalau pendapatmu?
Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar disebut sebagai manunggaling kawulo gusti, ketika manusia bersatu dengan Tuhan. Konsep sufistik ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia selalu dihadapkan pada dua hal yang berpasangan, seperti halnya baik dan buruk, hidup dan mati, siang dan malam, laki-laki dan perempuan.
ReplyDeletemenyatu bukan berarti seperti air dan sirup dan bukanlah juga menyatu pencipta dan yg diciptakan.
isra miraj adalah perjalanan spiritual yg dialami oleh nabi.
cahaya bertemu cahaya dan menyatu.
nama beliau bukanlah muhammad tetapi muhammadina.
Seandainya saat itu sudah ada pesawat X-15 yang didapuk sebagai roket tercepat dengan kecepatan 7.273 kilometer per jam sekalipun, maka dibutuhkan waktu sekitar 48 jam agar Nabi Muhammad bisa menempuh perjalanan sejauh 350.000 kilometer (jika kita menganalogikan Sidratulmuntaha sebagai langit yang bisa kita lihat saat ini). Memikirkan hal tersebut, imajinasi saya undur diri dan saya pun sampai pada tahap menerima perjalanan Isra Miraj sebagai dogma.
ReplyDeletePerempuansufi,
Alquran hanya membahas: malaikat,jin dan syeitan,tidak pernah membahas soal manusia karena alquran adalah bersifat ruhaniyah(cahaya).
nama-nama (orang) yg ada di alquran hanya pemikiran manusia saja.
''Muhammad'' menempuh perjalanan dengan cahaya malaikat yg ada pada dirinya dan cahay a malaikat jibril selalu menyertainya.
Jika saya mengutarakan siapakah ''Muhammad itu yg sebenarnya,saya yakin bahwa anda akan terlompat dari kursi anda karena selama ini yg diajarkan hanya pemikiran yg gelap soal beliau.
ustadz sayyid habib yahya
very nyc post
ReplyDeletebakasana
dhanurasana