Januari lalu, saya berulang tahun. Namun, berbeda dengan momen ulang tahun di tahun-tahun sebelumnya, kali ini saya berujar dalam hati, “Sepertinya saya sudah tidak butuh ucapan ulang tahun atau kado kejutan dari siapa pun.”
Mestakung. Tidak satu pun teman atau keluarga yang mengucapkan selamat seperti tahun-tahun sebelumnya, apalagi mengadakan pesta. Apakah saya kecewa? Tidak sama sekali. Hanya bertanya-tanya dalam hati, sedekat itukah pikiran saya dengan semesta?
Merayakan Eksistensi Tanpa Perayaan © Flora Westbrook from Pexels |
Saat masih kanak-kanak, pesta ulang tahun merupakan salah satu prioritas yang ingin saya capai. Pasalnya, hampir semua orang tua teman saya mengadakan pesta ulang tahun yang meriah untuk anak-anak mereka, baik di rumah maupun di restoran cepat saji.
Tapi, prioritas tersebut tidak pernah tercapai karena yang menjadi prioritas bagi kedua orang tua saya saat itu adalah kebahagiaan adik saya yang umurnya cuma terpaut setahun dengan saya. Pesta ulang tahun adik digelar, pesta ulang tahun saya ditiadakan.
Apakah saya kecewa? Ya. Terlebih, adik saya adalah laki-laki. Inilah yang semakin meneguhkan penis envy di dalam diri saya dan membuat saya berasumsi bahwa menjadi laki-laki jauh lebih istimewa ketimbang perempuan.
Beranjak remaja, cita-cita menggelar pesta ulang tahun di masa kecil tak kunjung reda, bahkan semakin merajalela. Apalagi, sweet seventeen-an menjadi salah satu tolok ukur eksistensi kaula muda saat itu (di lingkungan sekolah saya ya, bisa jadi beda dengan lingkunganmu 😊).
“Saya berpesta, maka saya ada.” Mungkin, itulah ungkapan yang tepat untuk mengejawantahkan pikiran dan perasaan saya saat itu.
Merayakan ulang tahun sama halnya dengan merayakan eksistensi, bagi saya saat itu. Namun, cita-cita untuk berpesta ulang tahun kembali kandas di perempatan jalan (lah, memang mau ke mana?). Jangankan buat mengadakan pesta ulang tahun dengan kado mewah seperti yang teman-teman saya gelar, bayar iuran bulanan sekolah saja sudah empot.
Apakah saya kecewa? Hm, sepertinya tidak. Saat itu, perasaan saya mungkin jauh lebih matang ketimbang saat masih kecil dulu. Tapi, saya mulai bertanya-tanya, “Apakah pesta ulang tahun hanya milik segelintir orang?”
Pertanyaan inilah yang mungkin menjadi benih-benih antikapitalisme di dalam pikiran saya kelak.
Perjalanan menuju cogito ergo sum
Menuju dewasa muda, orang-orang di sekitar saya tidak lagi menggelar pesta ulang tahun mewah di rumah atau restoran cepat saji. Sebagian orang mulai menggelar syukuran sebagai wujud kecintaannya pada Sang Pemberi Kehidupan, sebagian lagi merayakan ulang tahun dengan mentraktir teman-teman sekelas sebagai wujud rasa syukur yang lebih sederhana, sebagian lagi minta traktiran sebagai wujud rasa syukur karena telah dilahirkan sebagai orang miskin-yang-masih-bisa-berulang-tahun.
Saya yang mana? (Ayo, tebak!)
Saat itu, saya sedang kuliah di jurusan Sastra Indonesia yang konon katanya, isinya cuma anak-anak yang kalah bersaing saat seleksi penerimaan mahasiswa baru/SPMB (yah, ketahuan deh umur saya) sehingga mau tidak mau mesti kuliah di jurusan yang tidak terkenal sama sekali, yang kebanyakan mahasiswanya miskin papa.
Bergaul dengan orang-orang (yang katanya) miskin membuat pikiran saya tentang pesta ulang tahun sebagai wujud eksistensi semakin tereduksi. Pesta yang tadinya “ada” didekonstruksi menjadi “tiada”. Perayaan yang tadinya merepresentasikan “kehidupan” didemitifikasi menjadi perenungan atas “kematian”.
Sejak itulah saya mulai menghayati esensi eksistensialisme Heidegger yang mengatakan bahwa salah satu cara manusia dapat mencapai hidup yang otentik adalah melalui perenungan atas kematian, termasuk dengan menghabiskan lebih banyak waktu berkontemplasi di kuburan.
Dalam perjalanan tersebut, bukan eksistensi yang saya capai, melainkan nihil. Sejak memulai kontemplasi, saya dihadapkan pada polemik antara wujud dan tanwujud sehingga bukan jawaban yang saya dapat, melainkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang hidup. Di titik inilah saya mulai mengamini apa kata Descartes, “Aku berpikir, maka aku ada.”
Berakhir di halaman Epikuros dan Nietzsche
Ketika pikiran saya sudah sampai pada tahap ini, di situlah semesta kembali menggoyahkan iman saya terhadap nihilisme. Sebagian orang mulai tertarik dengan hari ulang tahun saya. Ada yang mengirimi saya kado dengan ucapan-ucapan manis nan puitis, ada yang menghadiahi saya kejutan tak beradab dengan pecahan telur dan taburan tepung terigu yang diaduk sampai kalis, dan ada juga yang membawakan kue sambil berdoa agar kebahagiaan saya tak pernah habis.
Apakah ini yang dinamakan perayaan? Ketika pikiran semua orang tertuju pada kebahagiaan dan mengesampingkan penderitaan. Mungkin, inilah momen yang oleh Epikuros dianggap sebagai hedone (kenikmatan), ketika kita tidak lagi merasa takut akan dewa-dewa, kematian, dan nasib di masa depan. Ketika yang kita pijak adalah rasa syukur di hari ini.
Esensi inilah yang oleh Nietzsche disebut sebagai “kematian tuhan”, ketika manusia dihadapkan pada dua pilihan: menghancurkan atau membebaskan. Bagi saya, nihilisme yang digagas Nietzsche sejalan dengan hedonisme yang digagas Epikuros karena keduanya sama-sama menjadikan eksistensi manusia sebagai subjek yang mesti dihargai kebebasannya.
Di satu sisi, perayaan ulang tahun menjadi momen kebahagiaan yang sering kali digelar untuk mensyukuri kehidupan. Namun, di sisi lain, ulang tahun juga merupakan momen perenungan yang mengajak kita untuk lebih dekat dengan kematian. Mungkin karena itulah sebagian muslim meyakini bahwa perayaan ulang tahun adalah bidah.
Kembali pada konsep perayaan ulang tahun yang kelihatannya remeh-temeh, namun sebenarnya menyimpan makna filosofis, saya dihadapkan pada pertanyaan awal: apakah merayakan ulang tahun berarti juga merayakan eksistensi saya sebagai manusia?
“Ah, cukuplah saya yang meyakini bahwa saya ada. Mau lewat pesta kek, lewat berpikir kek, atau bahkan bersenang-senang sekalipun.” Itulah premis yang kemudian saya jadikan tolok ukur eksistensi. Tak ada lagi dualisme karena mengutip apa kata Rendra, “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.” Dengan atau tanpa perayaan, manusia tetap ada.
Selang sebulan dari hari ulang tahun saya, beberapa teman mengirimi saya pesan singkat berisi, “Kamu mau kado apa?”
Sekitar delapan orang teman mengirimi saya pesan dengan pertanyaan yang sama persis. Hm, apakah ini pertanda komitmen saya terhadap nihilisme sedang diuji? Setelah dipikir berulang kali, nyatanya saya tidak menemukan apa pun yang saya inginkan. Apakah ini pertanda kalau saya sudah selesai dengan diri sendiri ataukah perjalanan eksistensialisme saya sudah sampai pada halte yang saya inginkan?
Lagi-lagi, pikiran saya kembali bermetakognisi. Baiklah, saya ingin pengetahuan yang lebih banyak. Maka, saya pun membalas satu per satu pesan dari teman-teman dengan jawaban yang sama, “Beliin buku aja, ya.”
Di titik inilah kemudian saya sadar bahwa menjadi nihil bukan artinya menjadi tidak ada apa-apanya atau tidak membutuhkan apa-apa. Menjadi nihil bukan artinya saya tidak eksis, lantas pesimis. Menjadi nihil, setidaknya bagi saya, adalah ketika saya sudah bisa merayakan eksistensi tanpa perayaan. Bagaimana dengan kamu?
Hmm.....
ReplyDelete