Sepuluh tahun lalu, saya menulis sebuah novel tentang bagaimana perempuan menjelma bumi dan sebaliknya. Mungkin kamu juga sering menemukan bagaimana bumi dipandang sangat representatif perempuan (atau sebaliknya). Terbukti, tidak sedikit istilah tentang bumi yang dikaitkan dengan feminitas, mulai dari “ibu kota” sampai “ibu pertiwi”.
Sebagai representasi “ibu pertiwi”, bumi mengandung penanda kerahiman. Sesuatu yang secara spiritual memiliki divine feminine, yaitu energi keilahian yang bersifat lemah lembut dan terasosiasi dengan kodrat melahirkan, melindungi, merawat, memelihara, memaafkan, dan menyembuhkan.
Perempuan dan Bumi © Porapak Apichodilok from Pexels |
Dalam kosmologi timur, bumi dipandang secara feminin, sedangkan langit dipandang secara maskulin. Keduanya melambangkan hubungan dialektika yang saling melengkapi. Seperti halnya yin dan yang dalam filosofi kuno Tiongkok yang menggambarkan konsep dualisme yang saling berlawanan, namun juga saling bergantung satu sama lain.
Begitu juga dengan filsafat Samkhya, satu dari enam aliran filsafat Hindu āstika, yang mengemukakan hubungan dialektika serupa antara prakriti (alam) dan purusa (manusia).
Sayangnya, dalam praktik kehidupan modern, manusia cenderung memandang bumi sebagai entitas yang terpisah dari dirinya sehingga ada dikotomi antara manusia dan alam yang menghasilkan jarak antara dominan dan subordinat. Inilah yang kemudian menjadikan manusia merasa berhak atas bumi; berhak mengeksploitasi, bahkan merusak.
Tidak cukup sampai di situ, pandangan tersebut semakin berkembang dan beranak pinak menjadi budaya patriarki. Manusia tidak lagi dipandang sebagai entitas yang setara; tetapi menjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, yang kuat dan yang lemah, si kaya dan si miskin, dan banyak lagi.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan bumi dan perempuan sama-sama terjebak dalam lembah patriarki, ketika manusia melanggengkan dikotomi antara bumi dan manusia, juga laki-laki dan perempuan. Akibatnya, eksploitasi di mana-mana, krisis ekologi dan kemanusiaan tak terelakkan.
Penis envy vs. womb envy
Pernah mendengar istilah penis envy? Teori psikologis yang digagas Sigmund Freud ini menyatakan bahwa dalam perkembangan psikoseksualnya, perempuan merasa cemas dan inferior karena tidak memiliki penis seperti halnya laki-laki.
Gagasan inilah yang kemudian mengamini adanya ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki sehingga laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih sempurna karena ia memiliki penis, sedangkan perempuan harus bersifat submissive karena memiliki “kekurangan” yang hanya dimiliki oleh laki-laki.
Ketimpangan itulah yang kemudian menimbulkan kesadaran kolektif tentang laki-laki yang berhak berpikir, berucap, dan bertindak semaunya terhadap perempuan. Begitu juga manusia yang berhak atas bumi.
Namun, gagasan tersebut ditentang oleh psikoanalis Jerman, Karen Horney, yang mempertanyakan tentang di mana rahim perempuan disembunyikan. Teori inilah yang kemudian dikenal womb envy, yaitu inferioritas laki-laki terhadap kekuatan perempuan yang mampu mengandung, melahirkan, dan melindungi anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.
Dalam teorinya, Horney percaya bahwa Freud tidak membahas psikoseksual secara utuh sehingga mengabaikan kekuatan perempuan yang juga bisa menjadi “kecemburuan” tersendiri bagi laki-laki. Ia juga meyakini bahwa womb envy lahir ketika laki-laki menyadari bahwa mereka tidak memiliki kendali dan kekuatan atas hidup (kehidupan) seperti yang mereka kira.
Sejalan dengan itu, kritikus sastra asal India, Gayatri Chakravorty Spivak juga membahas womb envy dan bagaimana Freud mengabaikan kemampuan seorang perempuan. Istilah tersebut semakin meluas dengan hadirnya representasi atas kecemburuan laki-laki karena tidak mampu melakukan fungsi biologis seperti halnya perempuan, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui.
Akibat kecemburuan inilah banyak laki-laki yang menghabiskan waktunya di luar rumah dengan cara mengejar harta dan tahta. Itulah sebabnya, dunia kerja di luar rumah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat maskulin hingga saat ini. Bahkan, dalam pemikiran yang lebih luas lagi, kecemburuan ini dipandang sebagai alasan utama kenapa laki-laki menolak kesetaraan gender, menyudutkan tubuh perempuan dan seksualitas, menyalahkan perempuan atas kehancuran masyarakat, hingga terobsesi untuk mengontrol kesehatan reproduksi perempuan.
Rahim yang perlu diperjuangkan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perempuan dan bumi merupakan dua hal yang saling bertaut dengan kehidupan. Keduanya adalah benih kehidupan, baik dalam lingkup mikro maupun makrokosmos.
Peradaban dan pemikiran patriarki kemudian menyuguhkan konsep pembangunan yang hanya melihat laki-laki sebagai aktor kehidupan, tanpa melihat perempuan (sekaligus bumi) sebagai sumbernya. Bumi dieksploitasi, perempuan dihegemoni. Keduanya menjadi komoditas bagi kapitalis untuk mencapai harta dan tahta.
Kemampuan bumi untuk melindungi manusia dan kapabilitas perempuan untuk menjaga nilai-nilai kehidupan direduksi menjadi sebatas bagaimana sandang, pangan, dan papan tetap berjalan. Kehidupan ditiadakan, kekuasaan dihidupkan.
Baca juga: Manusia, Pohon, dan Kehidupan
Inilah yang terjadi pada perempuan dan bumi saat ini, dua entitas penting dalam kehidupan yang sama-sama memiliki sifat kerahiman. Wujud keilahian feminin yang seharusnya diperjuangkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan hidup.
Selamat Hari Bumi! Semoga kelak, bumi tak lagi dieksploitasi dan perempuan tak lagi dihegemoni, sebab keduanya sama-sama rahim, sumber kehidupan yang patut diperjuangkan.
Segala yg hidup memiliki ruh dan keinginan,
ReplyDeleteBegitu juga dengan bumi ini memiliki ruh dan keinginan ,bumi ini sebagai ibu karena cintanya kepada yg hidup di muka bumi ini yg juga memiliki ruh dan keinginan.
ruh dan keinginan itu abadi.
jika ruh dan keinginan dari manusia bertemu dengan ruh dan keinginan dari sebuah pohon apel ,apakah ruh dan keinginan dari manusia memerlukan gigi untuk makan apel?kan tidak.
apalagi jika ruh dan keinginan manusia bertemu dengan ruh dan keinginan dari bumi ini maka ini adalah nikmat yg dimaksudkan dalam alquran itu.
sudah tentu bagi mereka yg bukan perusak bumi adalah nikmat yg tidak terhingga.
ustadz sayyid habib yahya
Terima kasih sudah berbagi pengetahuan dan kebaikan, Ustaz 🙏
Delete