Pada 31 Oktober 2000, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1325 yang menekankan perempuan sebagai peran kunci dalam pencegahan dan resolusi konflik, sekaligus menyerukan partisipasi perempuan dalam upaya pembangunan perdamaian (peacebuilding).
Peacebuilding sendiri adalah fondasi untuk menciptakan keamanan manusia yang berkelanjutan dan pembangunan yang adil di negara-negara konflik. Di dunia, ada setidaknya 2 miliar perempuan yang tinggal di negara-negara terdampak konflik. Mereka berjuang sangat keras untuk membangun dan mempertahankan perdamaian.
Peran Perempuan dalam Perdamaian Dunia © Tima Miroshnichenko from Pexels |
Tanpa perempuan, tak ada kedamaian
Peran perempuan dalam membangun perdamaian begitu penting karena perempuan dianggap memiliki suara dan kekuatan untuk membuat perubahan. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa partisipasi perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik dapat meningkatkan hasil positif dalam menegakkan perdamaian dan keamanan dunia.
Namun, dua dekade setelah Resolusi 1325, nyatanya keterlibatan perempuan masih sering dikecualikan dari negosiasi perdamaian formal, pun dalam operasi pembangunan perdamaian. Terlebih, perspektif gender, partisipasi perempuan, serta perlindungan dan hak perempuan, termasuk dalam pencegahan dan pelucutan senjata, perlindungan pengungsian, pemeliharaan perdamaian, pembuatan kebijakan dan rekonstruksi; justru sering diabaikan.
Padahal, perdamaian adalah prasyarat bagi terwujudnya kesehatan, kesetaraan, dan keamanan manusia. Sebaliknya, kesetaraan gender adalah prediktor nomor satu perdamaian--melebihi kekayaan negara, tingkat demokrasi, atau identitas agama.
Secara representatif, semakin tinggi tingkat kekerasan terhadap perempuan menandakan semakin lemah tingkat keamanannya. Oleh karena itu, semakin lemah pula stabilitas suatu negara lantaran semakin besar kemungkinan untuk tidak mematuhi norma-norma dan perjanjian internasional.
Perempuan dan perdamaian dalam angka
Studi Council on Foreign Relations menunjukkan bahwa pada periode 1992–2019, rata-rata proses perdamaian besar di seluruh dunia hanya melibatkan perempuan sebanyak 13 persen untuk negosiator, 6 persen mediator, dan 6 persen untuk penandatanganan.
Namun, per 2020, perempuan hanya mewakili sekitar 10 persen negosiator dalam pembicaraan damai Afghanistan, 20 persen negosiator dalam diskusi politik Libya (tidak ada perempuan yang ikut serta dalam pembicaraan militer), dan 0 persen negosiator dalam proses perdamaian Yaman. Bahkan, sekitar 7 dari 10 proses perdamaian tidak melibatkan mediator perempuan atau penanda tangan perempuan.
Dengan kata lain, meskipun keterwakilan perempuan dalam parlemen nasional seluruh dunia telah meningkat dari 13,1 persen pada 2000 menjadi 24,9 persen pada 2020, faktanya di negara-negara yang terdampak konflik, keterwakilan perempuan di parlemen tetap lebih rendah, yaitu 18,9 persen pada 2020.
Adapun dalam operasi penjaga perdamaian PBB 2020, perwakilan perempuan hanya terdiri atas 4,8 persen militer dan 10,9 persen personil polisi. Ketimpangan tersebut bahkan lebih nyata lagi di era pandemi.
Di satu sisi, banyak analisis terkait bagaimana para pemimpin perempuan di seluruh dunia menunjukkan keberhasilan mereka dalam mengatasi pandemi COVID-19. Namun, di sisi lain, perempuan hanya memimpin 7 persen negara.
Selain itu, survei terhadap 30 negara dengan gugus tugas dan komite COVID-19 menunjukkan bahwa rata-rata anggotanya hanya 24 persen yang perempuan. Di negara-negara yang terpengaruh konflik, keterwakilan perempuan dalam gugus tugas COVID-19 bahkan lebih rendah, yaitu 18 persen.
Perdamaian lebih dari sekadar tak ada perang
Para peneliti perdamaian dan konflik telah membedakan dua bentuk perdamaian, yaitu positif dan negatif. Perdamaian positif didefinisikan sebagai tidak adanya kekerasan langsung atau pribadi, seperti perang, penyerangan, dan terorisme.
Sementara itu, perdamaian negatif mencakup tidak adanya kekerasan tidak langsung atau struktural, seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan kelaparan; termasuk kondisi kehidupan perempuan yang terdampak konflik dan perang.
Berlandaskan hal itu, perdamaian berkelanjutan semestinya bisa tercapai lewat partisipasi yang setara dari perempuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Akan tetapi, faktanya masih banyak yang perlu dibenahi terkait perdamaian perempuan, di antaranya:
Pada 2018, lebih dari 45.000 korban perdagangan manusia yang terdeteksi secara global didominasi sekitar 65 persen perempuan dan anak perempuan.
Pada periode 2015-2019, PBB telah memverifikasi 102 pembunuhan perempuan pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan serikat pekerja di 26 negara yang terpengaruh konflik (kemungkinan besar jumlah aslinya lebih banyak).
Pada 2019, PBB mendokumentasikan 2.838 kasus kekerasan seksual terkait konflik dan 96 persen di antaranya menargetkan perempuan.
Perempuan dan keamanan
Apa pun situasinya, keamanan perempuanlah yang paling terdampak dibanding laki-laki. Sebagai gambaran, pada 2019, selain terabaikannya kebutuhan pengobatan malnutrisi dan pencegahan, krisis pangan menyebabkan kelaparan akut pada perempuan meningkat menjadi 135 juta orang, dengan 60 persennya tinggal di negara konflik/ tidak aman.
Akibatnya, angka kematian ibu meningkat signifikan di negara-negara konflik seperti Myanmar, Sudan Selatan, Suriah, dan Venezuela (bahkan dalam beberapa tahun terakhir) -- Meskipun rasio kematian ibu di seluruh dunia turun 38 persen sejak 2000 (dari 342 menjadi 211 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup).
Pada perempuan pengungsi, studi terbaru IDMC yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa perempuan yang terpaksa mengungsi akibat perang maupun bentuk kekerasan lainnya, hidup dengan keamanan jauh lebih rentan dibandingkan laki-laki. Penyebabnya tak lain adalah lingkaran setan kehilangan mata pencaharian akibat lebih banyak yang menjadi pengangguran, hingga kehilangan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan, stres, dan mendapat KDRT.
Di luar konflik negara, migrasi terkait iklim telah meningkatkan risiko keamanan perempuan sekaligus beban perempuan karena harus mengeluarkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk merawat seluruh keluarganya.
Begitu pula yang terjadi di masa pandemi dan lockdown, perempuan dilaporkan menanggung beban ekonomi dan kesehatan jauh lebih besar, yakni sebanyak 3-7 kali lipat dibanding laki-laki. Mulai dari mengurus pekerjaan rumah tangga ditambah melakukan perawatan tak berbayar seperti mengurus anak dan keluarga yang sakit, hingga kehilangan pekerjaan.
Bahkan, data terbaru Organisasi Perburuhan Internasional menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19, kehilangan pekerjaan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.
Bantuan kepedulian terhadap perempuan yang masih rendah
Seperti halnya banyak orang yang mempertanyakan pentingnya kesetaraan gender, aksi kemanusiaan nyata dalam bentuk dukungan maupun pendanaan untuk mempromosikan peningkatan kemaslahatan perempuan ketimbang laki-laki nyatanya masih rendah.
Penelitian di Pengungsian Somalia menemukan bahwa kehadiran sekolah meningkat untuk anak laki-laki terlantar dari 29 menjadi 41 persen, tetapi menurun untuk anak perempuan terlantar dari 45 menjadi 29 persen.
Sementara itu, meskipun total bantuan bilateral yang berkomitmen mendukung kesetaraan gender di negara-negara rentan dan terdampak konflik terus meningkat, yakni mencapai USD 20,5 miliar per tahun antara 2017–2018, faktanya porsi bantuan yang didedikasikan khusus untuk program-program dengan tujuan utama meningkatkan hak-hak perempuan justru menurun menjadi 4,5 persen pada periode yang sama, yaitu dari 5,3 persen pada 2015–2016.
Hal ini menandakan kentalnya ketidakpedulian akan peran perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender sudah meresap dalam sistem masyarakat sehingga peran penting perempuan sering dipandang sebelah mata.
Perempuan dan perdamaian di Indonesia
Sejak 1957, Indonesia telah aktif berkontribusi mengirimkan pasukan perdamaian. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan pertama di Asia Tenggara, dan terbesar ke-7 di dunia dari 124 negara, dengan total 2.840 personel termasuk 158 penjaga perdamaian perempuan untuk bertugas di 9 misi perdamaian PBB.
Indonesia juga memprakarsai kelahiran Resolusi 2538 di bawah misi PBB untuk mempromosikan peran perempuan sebagai agen penjaga perdamaian. Kendati demikian, tingkat ketidaksetaraan gender tergolong masih tinggi di Indonesia. Terlebih, satu-satunya instrumen dalam merespon kondisi perempuan dan anak di wilayah konflik Indonesia, yaitu RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial), masih memiliki mekanisme yang lemah dan belum cukup dikenal.
Beberapa daerah rawan konflik dan pascakonflik Indonesia di antaranya ada di Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sulawesi Tengah.
Untuk itu, dalam menciptakan perdamaian dan keamanan berkelanjutan, perempuan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta berhak memperoleh bantuan kemanusiaan dan pembangunan yang sesuai. Tentunya dengan didukung oleh kerangka hukum dan kebijakan yang kuat.
Sebagai tambahan, menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan khususnya di Indonesia perlu ditingkatkan setidaknya dengan 3 cara, yaitu 1) mendobrak rintangan struktural maupun kultural terhadap peran perempuan; 2) memastikan adanya perangkat dan situasi yang mendukung pemberdayaan perempuan; dan 3) memperkuat jejaring global demi meningkatkan kepedulian global dan memperluas kesempatan bagi perempuan untuk berperan dalam perdamaian dan keamanan.
Yuk, dukung keterlibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan dunia!
Ditulis oleh Zoraya Ralie, seorang ibu rumah tangga yang concern terhadap isu perempuan dan kesetaraan gender demi kehidupan yang lebih bahagia. Hubungi Zoraya di Instagram @zorayaralie (Disunting oleh Perempuan Sufi)
Comments
Post a Comment