“Kau bisa nggak bertahan tidak mencicipi yang di luar?” Itulah kalimat pertama yang saya dengar dari Hotman Paris kepada Raffi Ahmad dalam sebuah obrolan yang dipublikasikan di akun Instagram @rafathar_raffi.
Percakapan seperti ini mungkin sering terjadi di lingkungan terdekat kita. Mungkin di pangkalan ojek, warung kopi sebelah rumah, atau pinggiran trotoar tempat banyak orang belum-atau-tidak-teredukasi-gender berseliweran.
Nahasnya, objektifikasi perempuan juga terjadi di kalangan praktisi hukum sekelas Hotman Paris yang seyogianya menjadi teladan untuk mengedukasi publik tentang pentingnya menghormati perempuan sebagai manusia, bukan sebagai benda yang bisa dijadikan objek.
Dalam cuplikan video tersebut, Nagita Slavina terlihat cukup sensitif mendengar pertanyaan Hotman dan menyela, “Wei, ayam goreng mungkin.”
Tapi, lagi-lagi, patriarki dan konstruksi maskulinitas toksik masih bercokol di benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satunya Raffi Ahmad yang kemudian menjawab, “Namanya laki-laki tergoda wajar.”
Membawa konsep gender dalam jawaban tersebut sama saja dengan mengamini bahwa apa pun yang dilakukan oleh laki-laki adalah wajar, baik benar maupun salah. Tapi, balik ke poin utama pembicaraan dalam tulisan ini, kalimat apa saja dalam obrolan Hotman Paris dan Raffi Ahmad ini yang menunjukkan bahwa dogma patriarki masih bercokol di pikiran masyarakat Indonesia?
“Dari 5 wanita cantik, yang akhirnya kau eksekusi ada nggak?”
Bukan cuma soal cicip-mencicipi. Hotman tidak segan-segan mengobjektifikasi perempuan dengan bertanya kepada Raffi, siapa perempuan yang pernah “dieksekusi” olehnya. Hm, sudah dicicipi, lalu dieksekusi. Sudah sangat terasa kan bagaimana bau maskulinitas toksik di sini?
Kalau Bang Hotman kebetulan baca tulisan ini, nih saya kasih tahu ya kalau kata ‘eksekusi’ berarti pelaksanaan putusan hakim; pelaksanaan hukuman badan peradilan, khususnya hukuman mati; atau penjualan harta orang karena berdasarkan penyitaan. Jadi, kalau Anda senang menggunakan diksi ini untuk menggambarkan hubungan dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka Anda adalah hasil eksekusi ayah Anda sendiri.
“Mungkin dia juga tergoda laki-laki lain, tapi saya nggak tahu.”
Belum selesai Nagita menjawab pertanyaan Hotman, Raffi Ahmad menimpalinya dengan kalimat kalau Nagita bisa saja merasakan hal yang sama dengan apa yang dialaminya. Hufft, ya kalau memang dia yang tergoda, kenapa harus berspekulasi orang lain juga melakukan hal yang sama?
Saya melihat ada penanda standar ganda dari pernyataan Raffi tersebut. Jika Raffi tergoda, maka itu adalah hal wajar karena dia laki-laki. Sementara itu, spekulasi terkait Nagita yang mungkin juga tergoda bisa menjadi justifikasi bagi Raffi untuk melakukan hal yang sama. Aman buat Raffi, buah simalakama bagi Nagita.
“Wanita itu suka sama kami-kami ini karena kami terkenal.”
Mendengar jawaban Nagita yang diplomatis, Hotman Paris langsung ngegas mengklaim bahwa dia dan Raffi sama-sama laki-laki yang punya karisma di mata para perempuan. Sayangnya, karisma yang dimaksud sangat bersifat banal. Bagi Hotman, kaum perempuan menyukai laki-laki seperti Hotman dan Raffi hanya karena mereka terkenal dan mapan.
“Tanpa kami rayu pun wanita berusaha mendekati,” ungkap Hotman merepresentasikan dirinya sebagai pihak yang dominan dan mampu menghegemoni kaum perempuan.
Kalimat tersebut jelas menunjukkan adanya relasi kuasa yang bercokol dalam pikiran Hotman. Ia melihat bahwa kekuasaan, apa pun bentuknya, mampu menguasai individu atau kelompok yang dianggapnya lemah.
Dengan kata lain, kalimat ini menasbihkan bahwa perempuan adalah entitas yang lemah dan dapat dengan mudah dikuasai oleh laki-laki lewat popularitas dan kemapanan.
“Berarti suaminya jago, bisa meredamkan segala situasi dan kondisi.”
Setelah sebelumnya mengatakan bahwa Nagita terlalu mencintainya sehingga mau memaafkan segala kelakuannya, Raffi kembali memunculkan penanda maskulinitas toksik dengan mencitrakan laki-laki sebagai manusia kelas satu yang “jago” menguasai perempuan sehingga apa pun kesalahan yang dilakukan laki-laki, perempuan akan selalu mengalah atau kalah.
Dalam obrolan tersebut, Hotman juga membandingkan antara perempuan yang mau menerima laki-laki yang mudah tergoda dengan perempuan yang mudah dibodohi oleh laki-laki yang suka berbohong. Menurutnya, perempuan pertama lebih baik ketimbang perempuan kedua. Tapi, laki-laki, bagaimanapun kondisinya tetap selalu nomor wahid.
Itulah beberapa kalimat bernada patriarkis yang saya temui di video tersebut. Bagaimana pengamatanmu?
Comments
Post a Comment