Baru-baru ini, dunia maya dipanaskan dengan konten yang “diklaim” sebagai ujaran kebencian kepada salah satu komunitas penyuka musik pop asal Negara Ginseng atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah Kpopers. Pasalnya, konten yang awalnya hanya menimbulkan kontroversi dari pihak Kpopers, lama-kelamaan makin melebar dan memanjang hingga netizen lain pun menganggapnya sudah keterlaluan. Dengan begitu, konten yang dibuat oleh TikToker dengan username @alinezad sukses menuai berbagai respons dari setiap kalangan, mulai dari kreator dakwah, kreator Kpop, kreator edukasi, kreator dokter, sampai kreator psikolog.
Kasus Ali Hamzah dan Kesehatan Mental © Tatiana from Pexels |
Kisah panjang ini bermula dari kasus M-net (salah satu stasiun TV Korea Selatan) yang menjadikan azan sebagai lagu remix. Hal itu tentu menuai kontroversi di kalangan umat Islam, termasuk @alinezad atau Ali Hamzah yang notabene adalah seorang kreator dakwah. Kemurkaannya tentang kasus tersebut sontak membuat dirinya menciptakan konten untuk melampiaskan emosinya. Namun, hal itu justru membuat semua Kpopers muslim Indonesia dibawa-bawa karena masih saja menyukai musik Kpop. Dikutip dari Akurat.co, Ali Hamzah menyinggung Kpopers muslim Indonesia dengan perkataan, “Udah tau sering begini, masih saja elu demen tuh Kpop Kpop-an! Di saat agama elu dihina, elu diem?”
Dari kalimat itu saja, dia sudah tidak memikirkan satu fakta bahwa jika bukan karena Kpopers yang mengangkat kasus ini, mungkin orang lain tidak akan pernah tahu kalau ada azan yang di-remix. Padahal, dengan diangkatnya kasus ini, tandanya Kpopers muslim Indonesia tidak tinggal diam jika agamanya dipermainkan. Akhirnya, makin lama kontennya pun makin keterlaluan hingga terkesan seperti ujaran kebencian yang dibalut dengan unsur agama. Contohnya, ketika dia sangat mudah mengafir-kafirkan orang lain. Konten provokasi tersebut ternyata membawa dampak negatif yang lumayan serius bagi netizen, apalagi di kalangan Kpopers.
Salah satunya yang terjadi kepada saya sendiri, yang mana saya juga termasuk Kpopers muslim Indonesia yang menyukai boy group bernama BTS. Semenjak naiknya kasus ini, saya selalu menjadi bahan gunjingan orang di sekitar saya, terutama adik saya dan teman-temannya. Setiap hari saya selalu diejek, bahkan dikafir-kafirkan, karena tetap menyukai musik Kpop meski tahu bahwa azan sudah dipermainkan. Rasanya mental saya sangat lelah dan merasa sakit hati karena setiap hari selalu disuguhi lontaran negatif seperti itu, yang sayangnya diucapkan oleh orang terdekat, bahkan hingga saat ini masih terus begitu. Sungguh sukses konten Ali Hamzah menimbulkan kebencian banyak orang kepada pihak Kpopers hingga mengguncang kesehatan mental akibat ujaran kebencian dari para pendukungnya.
Masalah memanas, kreator lain angkat suara
TikTokers lain tidak tinggal diam melihat konten Ali Hamzah yang makin lama makin meresahkan. Perlu diketahui, menurut beberapa kreator TikTok, sebelum muncul masalah ini, dia memang sudah berkali-kali melakukan sesuatu/membuat konten yang mengecewakan banyak orang. Netizen yang lama-lama geram melihat tingkahnya, akhirnya membuat petisi untuk memboikot Ali Hamzah.
Sembari masalah ini makin panas, konten kreator dengan username @thatnguyenguy membuat forum diskusi melalui Gmeet pada 13 September lalu. Tujuannya semata-mata untuk meluruskan dan membuat Ali Hamzah mengakui berbagai kesalahannya itu, lalu meminta maaf kepada netizen yang telah disinggung olehnya (yang mendapat dampak buruk darinya) dan diharapkan dia tidak akan mengulanginya. Forum tersebut dihadiri oleh Husain, Babe, Cinta Kuya, dan kreator lainnya. Diskusi berlangsung makin panas karena yang dibahas tak hanya seputar Kpopers dan pemboikotan, tetapi juga permasalahan lain yang pernah diperbuat olehnya.
Baca juga: Apa yang Salah dengan #BekalUntukSuami?
Setelah menyaksikan siaran ulang Gmeet yang tersebar luas di FYP TikTok, ada perkataannya yang menggelitik telinga saya. Ketika berdebat dengan Cinta Kuya (yang mewakili pihak Kpopers), dia mengaku jika ternyata berita tentang azan yang di-remix itu, ia ketahui hanya dengan mendengar dari salah satu platform media sosial saja, lalu langsung membuat konten murkanya tanpa kroscek dulu kedalaman beritanya. Inilah yang membuat dirinya lantas berakhir menyalahkan artis/lagu Kpop hingga berujung pada Kpopers Indonesia yang juga mendapat dampak buruk dari sikapnya.
Fakta sebenarnya, dari awal saya sebutkan bahwa yang salah adalah M-net. Dengan begitu, artis atau lagunya sudah pasti tidak salah karena yang namanya stasiun televisi pasti staf-staf di dalamnyalah yang merencanakan setiap program acaranya. Sama halnya dengan stasiun TV di Indonesia, yang para artis di dalamnya dipaksakan untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak tahu. Otomatis, artis Kpop pun tidak mengira akan terdapat lagu dengan azan yang di-remix karena pihak M-net yang mengeditnya. Namun, kurangnya informasi dan pengetahuan Ali perihal hal tersebut justru membawa dampak buruk yang berujung overhate kepada Kpopers.
Selain itu, masih banyak hal yang menggelitik dari cuplikan forum Gmeet tersebut. Namun, ada satu hal penting yang akan saya bahas selanjutnya terkait sikap Ali tersebut. Intinya, kasus ini menunjukkan bahwa lebih baik saring dulu informasi yang didapat sebelum di-sharing karena akibatnya akan fatal jika salah menginformasikan sesuatu. Apalagi, Ali termasuk salah satu influencers yang memiliki cukup banyak followers.
Semicolon yang ikut terseret
Di dalam PUEBI, semicolon atau tanda titik koma (;) adalah simbol yang digunakan sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara yang satu dengan kalimat setara lainnya, digunakan pada akhir perincian berupa klausa, atau untuk memisahkan bagian-bagian pemerincian dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda koma; saya interpretasikan bahwa tanda ini memberikan jeda pada kalimat yang belum akan diakhiri.
Lebih dari itu, tanda ini juga ternyata mengandung makna yang dalam bagi para pejuang mental illness. Simbol tersebut pertama kali dikaitkan dengan kesehatan mental oleh Amy Bleuel, yang pada April 2013 mendirikan organisasi bernama Project Semicolon. Berdirinya proyek tersebut semata-mata untuk memberikan dukungan kepada orang-orang yang berjuang mengatasi gangguan kesehatan mental seperti depresi, pikiran bunuh diri, keinginan self-harm, dan mental illness lainnya.
Baca juga: Self Harm: Jangan Hamiki Kami!
Lalu, kenapa semicolon yang digunakan sebagai simbol? Berdasarkan penggunaannya dalam penulisan, sebenarnya kita sudah dapat melihat makna tersirat di dalamnya. Yang artinya, bagi orang-orang yang mengalami mental illness, simbol tersebut adalah bentuk perjuangannya untuk mengatasi gangguan mental. Simbol tersebut menunjukkan bahwa tidak apa-apa jika berhenti sejenak, beristirahat sebentar, dan memberikan jeda bagi diri sendiri untuk pulih agar bisa bangkit kembali. Yang penting, tidak terlintas untuk mengakhiri kehidupan ini karena masih ada rangkaian hidup selanjutnya yang harus dilalui untuk bisa mencapai kebahagiaan dan akhir yang lebih baik.
Apa hubungannya dengan Ali Hamzah?
Sebagai informasi, di dalam Gmeet tersebut, ada pembahasan tentang masalah Ali dengan Jia. Masalah ini bermula dari komentar Jia pada postingan Ali Hamzah yang menuliskan, “Lucu lo anjir” yang kemudian dibalas oleh Ali dengan mengatakan, “Masi kecil udah pake semicolon, seberat apa hidup lo? Kuy istighfar, gaya bicara seperti anak ga beradab. Kebanyakan temen lo di sini juga gitu.”
Meski di dalam forum tersebut Ali mengaku jika dirinya salah karena telah membalas komentar Jia dengan perkataan demikian, konten baru yang diunggahnya setelah forum tersebut justru makin menuai kontroversi. Dari sinilah muncul berbagai konten tanggapan kontra Ali dari beberapa TikTokers yang ahli di bidangnya. Konten tersebut juga berhasil membuat darah saya mendidih, padahal permasalahan tentang Kpopers sebelumnya tak sampai membuat diri saya merasa seperti ini.
Baca juga: Mengenal Shadow Work, Berteman dengan Sisi Gelap Manusia
Dalam konten barunya tersebut, Ali Hamzah mengatakan bahwa semua orang telah dikecoh oleh Jia. Ali memperoleh informasi langsung dari orang tua Jia mengenai kondisinya, dan menurutnya, orang tua Jia mengklaim bahwa Jia tidak sedang mengidap mental illness. Hal ini membuat Ali memberikan peringatan kepada penonton (termasuk Jia) agar tidak sembarangan menggunakan semicolon. Selain itu, dirinya juga memperingatkan ibu Jia agar lebih mengawasi anaknya ketika bermain TikTok. Ali juga menambahkan bahwa menurut Kominfo, umur 13 tahun seperti Jia belum cukup umur untuk bermain TikTok.
Dari pernyataan Ali tersebut, saya melihat ada beberapa sikap Ali yang sebenarnya telah melanggar banyak hal.
Menembus privasi orang lain
Menurut saya, Ali sudah keterlaluan karena mengotak-atik kehidupan pribadi Jia dengan mencari tahu latar belakangnya (termasuk informasi keluarga dan kondisi mental Jia) dan ini sudah merupakan salah satu bentuk pelanggaran privasi (yakni: reverse). Padahal, orang tua Jia sendiri belum tentu tahu mengenai kondisi kesehatan mental anaknya.
Bentuk tindakan judgemental
Terlepas dari bohong/tidaknya Jia perihal kondisi mentalnya, itu bukanlah urusan kita. Kita sebagai seorang yang respect terhadap isu kesehatan mental seyogianya perlu berbaik sangka kepada orang lain, terlebih pada orang yang menggunakan simbol tersebut, karena kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pernyataan Ali terkait semua orang terkecoh oleh Jia merupakan bentuk tindakan judgemental kepada Jia karena seolah-olah Jia adalah pembohong karena sudah menggunakan semicolon. Padahal, setiap orang itu memiliki hak untuk menggunakan simbol tersebut. Siapa tahu, dengan menggunakan simbol tersebut, ia bisa bersemangat kembali menjalani hari-harinya.
Jika memang benar Jia berbohong, mungkin masalah hanya sampai di pernyataan yang judgemental. Tapi, kalau benar Jia adalah orang dengan masalah mental, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padanya? Alih-alih menyudutkan Jia yang menggunakan semicolon dan ibunya yang dianggap tidak memberi perhatian penuh kepada anaknya, bukankah sebaiknya Ali lebih dulu berhati-hati dalam menyebarkan berita dan berbicara?
Bukan lagi hanya tentang Ali dan Jia
Bagi saya, kasus ini bukan lagi hanya tentang Ali dan Jia. Lebih dari itu, masalah ini juga sudah menyeret para pejuang mental illness seolah-olah isu tersebut hanya layak dihadapi oleh orang tua. Padahal, mengutip Cahya Naurizza dalam TikTok-nya, menurut penelitian yang dilakukan Martin Seligman dan Jonathan Haidt pada 2019, masyarakat saat ini sedang mengalami krisis global. Semua kemajuan di berbagai bidang naik, tapi anjlok di urusan kesehatan mental. Pasalnya, tingkat bunuh diri di kalangan remaja putri usia 10-14 tahun meningkat 189% dan menjadi angka tertinggi selama 40 tahun terakhir.
Sebagai contoh, ada berita memilukan yang dipublikasikan pada 4 Oktober 2021 lalu. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa seorang siswa SD nekat bunuh diri karena diduga stres akibat banyak tugas di sekolahnya. Kasus ini menunjukkan kalau mental illness tidak mengenal usia.
Sudah saatnya kita melihat isu kesehatan mental sebagai sesuatu yang penting sehingga tidak lagi mendiskriminasi usia, jenis kelamin, atau latar belakang lainnya. Ajakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan agama tentu bukan hal yang salah. Tapi, alangkah baik jika dikatakan dengan cara yang tepat, bukan memojokkan atau menghakimi seolah-olah orang dengan isu kesehatan mental adalah manusia yang jauh dari Tuhan. Bukankah lebih baik jika kita mengatakannya dengan kalimat yang lembut? Misalnya, “Tidak apa-apa jika kamu bersedih, kecewa, marah, kesal, atau lagi merasa capek dan down. Aku siap mendengarkan, aku ada di sini bersamamu. Jika kamu ingin menangis, tidak apa-apa.”
Setiap orang telah dianugerahi kapasitasnya masing-masing. Bisa jadi, masalah yang menurut kita ringan, berat bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. Untuk itu, yuk mulai saring sebelum sharing!
Ditulis oleh Sibghatin Desi Maulida, mahasiswa semester akhir yang masih bekerja keras menyelesaikan tugas akhirnya karena judul tak kunjung di-ACC dosen. Saat ini aktif menjadi penulis di komunitas lain, menjadi panitia acara di berbagai kegiatan, dan mengemban amanah sebagai pengurus di beberapa organisasi kemahasiswaan dan komunitas di luar kampus.
Comments
Post a Comment