Penduduk desa biasa dikenal dengan keramahan, keakraban antartetangga, dan solidaritas antara sanak famili. Sebagai perempuan desa nan jauh di belahan bumi Nusantara, saya sudah hafal bagaimana suka duka tinggal di desa. Namun, di sini, saya akan mengupas perihal dukanya saja sebagai bentuk mengeluarkan suara hati yang sedari lama bersembunyi rapat-rapat. Selain itu, tulisan ini juga sebagai bentuk kritikan saya untuk masyarakat pedesaan dengan harapan dapat memutus rantai kebiasaan yang menurut saya cukup meresahkan.
Saking solidnya masyarakat pedesaan, terkadang kehidupan orang lain pun turut diurusi. Hal ini tentu saja bukanlah suatu yang tabu bagi masyarakat desa karena memang sudah melekat dan membudaya. Awalnya, saya menganggap hal ini sebagai suatu kewajaran, sampai suatu ketika saya menginap berhari-hari di rumah teman yang ada di kota. Saat itu, saya merasa bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kehidupan di desa dengan di kota. Di perkotaan, masyarakatnya tidak terlalu ikut campur perihal kehidupan antartetangga. Pengalaman inilah yang kemudian mengubah mindset saya sebelumnya dan berpikir bahwa budaya “terlalu akrab” juga tidak boleh diabaikan dan dibiarkan mendarah daging begitu saja. Meski harapan untuk memutus kebiasaan tersebut memang sangatlah minim, diam saja juga bukanlah pilihan yang tepat. Perempuan Desa Berpendidikan © Anete Lusina from Pexels
Saya pribadi pernah merasakan pengalaman “terlalu akrab” tersebut. Suatu hari, pada saat Hari Raya, hari istimewa umat Islam yang seharusnya menjadi ajang maaf-memaafkan berubah menjadi ajang interview kritis bak forum Mata Najwa. Saya yang kala itu baru lulus SMA dan masih stres-stresnya berjuang untuk masuk perguruan tinggi, seketika menjadi pemeran utama protagonis yang tertindas dengan serbuan pertanyaan yang kelihatannya “care” seperti, “Kenapa gak langsung kerja aja sih? Padahal di luar sana banyak lulusan sarjana yang masih nganggur. Malah yang lulusan sekolah yang banyak kerja, meski kerjanya ya begitu-begitu aja sih, tapi kan yang penting kerja.”; “Kuliah jauh-jauh, ngabis-ngabisin duit ortu aja, ujung-ujungnya masuk dapur.”; “Kenapa sekolah tinggi-tinggi sih, toh nanti pas jadi istri bakalan ngelayani suami kan!”; dan masih banyak lagi yang dilontarkan. Sungguh solid bukan?
Baca juga: Apa yang Salah dengan #BekalUntukSuami?
Ucapan-ucapan seperti itu tentu sangat melekat pada setiap sel di otak saya, terutama ketika menyinggung tentang perempuan berpendidikan yang seolah masih dianggap miring dan diragukan. Rasanya, masyarakat desa selalu sangat kental dengan budaya patriarki. Di mana mereka menganggap bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi ujung-ujungnya akan sia-sia saja, karena masih ada laki-laki yang berperan sebagai tulang punggung keluarga nantinya. Dari sinilah, kita sebagai perempuan desa jangan pernah berpikiran untuk menyerah, dan teruslah berjuang untuk mendapatkan hak yang sama dalam berpendidikan. Setidaknya sampai memvalidasikan bahwa perempuan juga berdaya di setiap jalan yang dipilihnya.
Mempertahankan hak untuk berpendidikan
Kebanyakan masyarakat desa masih memegang mindset bahwa pendidikan itu tidak begitu penting. Sementara itu, fenomena yang sering kali saya jumpai adalah ketika laki-laki desa memilih untuk melanjutkan pendidikannya, ia justru didukung dan disemangati. Namun, ketika perempuan desa memilih untuk melanjutkan pendidikannya, ia malah mendapatkan respons sebaliknya. Kejanggalan ini tentu saja didapat dari hasil mengakarnya budaya patriarki di masyarakat. Anggapan bahwa laki-laki harus mandiri, pekerja keras, berkedudukan tinggi, harus bisa mencari nafkah untuk istrinya kelak, sudah sangat lumrah dan kesannya seperti sebuah kewajiban. Maka, tak heran ketika terdapat ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan dalam ranah pendidikan.
Padahal, sudah jelas bahwa setiap manusia itu berhak untuk mencari ilmu (termasuk dengan cara melanjutkan pendidikannya). Sebagaimana hadis Rasulullah Saw yang artinya, “Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR. Tirmidzi). Dari sini Rasulullah mengajarkan bahwa siapa saja boleh mencari ilmu di mana saja, karena dengan ilmu yang diperoleh nantinya dapat memudahkan seseorang dalam berjalan menuju surga-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah pun menegaskan jika setiap manusia memiliki hak yang sama untuk melanjutkan pendidikan terlepas dari apapun gendernya. (Sumber: Hadist Menuntut Ilmu dan Keutamaannya, Ditinggikan Derajat hingga Dimudahkan Jalan ke Surga)
Selain itu, hak mendapatkan pendidikan juga tercantum di dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 31 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Dengan demikian, sudah sangat jelas (baik dalam Islam maupun dalam peraturan negara), setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan setinggi apapun sesuai pilihannya. Dari sini kita sebagai masyarakat desa seharusnya melek akan pengetahuan dan menerima fakta, sehingga tidak ada lagi perlakuan diskriminasi dan membeda-bedakan antara perempuan dengan laki-laki tentang pilihannya dalam menuntut ilmu. (Sumber: Contoh Hak Mendapatkan Pendidikan)
Perempuan bukanlah robot, melainkan manusia yang berbobot
Tuhan saja menciptakan manusia disertai dengan kehendak bebas supaya mampu memilih jalan hidupnya dan bertanggung jawab atas pilihannya. Lalu, mengapa manusia (makhluk-Nya) malah selalu merasa bisa menggerakkan yang lainnya? Misalnya, anggapan sebagian masyarakat tentang percuma saja perempuan berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga dan melayani suami, karena suamilah yang harus bekerja mencari nafkah. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa budaya patriarki masih sangat kental dan pengetahuan masyarakat desa tentang pendidikan masih sangat minim sehingga tak jarang orang menganggap bahwa melanjutkan pendidikan itu hanya sebatas untuk mencari pekerjaan. Padahal, ada banyak hal lain yang akan didapat ketika berpendidikan setinggi mungkin, yang tentunya juga berguna untuk masa depan. Di antaranya adalah mengubah mindset, membangun relasi, mengasah skill, menemukan passion, meningkatkan kualitas diri, dan menunjang lapangan pekerjaan yang lebih luas. (Sumber: Inilah Alasan Mengapa Harus Berpendidikan Tinggi)
Menurut saya, masyarakat desa masih perlu untuk mengubah persepsi tentang tujuan melanjutkan pendidikan agar tidak terjadi kesalahpahaman kembali. Dengan begitu, perempuan yang memilih berpendidikan tinggi tidak akan lagi mendapat stigma seperti yang telah disebutkan di atas. Perlu diluruskan juga bahwa perempuan bukanlah robot yang bisa diatur seenaknya oleh orang lain di sekitarnya karena perempuan juga manusia yang sama-sama memiliki kemampuan dan segala keberdayaannya.
Jikapun perempuan yang berpendidikan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga setelah menikah, maka hargailah! Karena setiap ilmu yang ia dapat tentunya tidak akan sia-sia. Toh, ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya. Ibu yang cerdas nantinya akan menciptakan kepribadian yang baik untuk generasi penerusnya. Misalnya, perempuan memilih untuk tidak memiliki anak/belum punya keturunan, pastinya ilmu yang ia dapat juga berguna untuk hal yang lainnya karena setiap usaha dalam hidup tidak akan pernah percuma (apalagi perihal ilmu). Selain itu, menjadi ibu rumah tangga juga bukanlah suatu pilihan yang rendahan karena tugas seorang ibu rumah tangga sungguh sangat kompleks dan mulia.
Baca juga: Jalan Berliku Kaum Perempuan dalam Mengakses Kedamaian dan Keamanan
Lebih lanjut, apabila perempuan (istri) berpendidikan memilih untuk berkarier setelah menikah, itu juga bukanlah suatu tindakan yang melangkahi suaminya. Akan tetapi, sebagai bentuk kepedulian untuk saling membantu meringankan tanggungan di keluarganya. Kuncinya adalah sudah ada kesepakatan (konsensual) antara suami dan istri atas setiap pilihan yang dijalani. Bukankah yang namanya rumah tangga harus saling peduli, berdaya, dan berproses bersama? Bukan malah merugikan salah satunya atau terdapat ketimpangan di dalamnya. Dengan begitu, jalan hidup yang dipilih oleh perempuan berpendidikan tetaplah harus dihargai bukan malah digosipin. Sebab ketika kuping suami telah panas terkena bara api yang keluar dari mulut tetangga, bukan tidak mungkin kalau hal itu akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga.
Sebagai tambahan, perempuan bukanlah manusia yang hanya ditugaskan untuk berdiam di rumah dengan melakukan pekerjaan domestik, lalu melayani suami, seolah-olah seperti robot yang diprogram. Memang taat kepada suami merupakan sebuah bentuk ketakwaan kepada Tuhan. Namun, jika dengan alasan ini sang suami (atau bahkan orang di sekitarnya) malah sewenang-wenang dan membuat perempuan tidak berdaya, tentunya hal itu sudah melangkahi batas. Bahkan, Rasulullah Saw saja sangat menghargai, menghormati, dan memuliakan perempuan. Dengan demikian, berhentilah menganggap perempuan dengan kaca mata patriarki, agar perempuan merasa aman, nyaman, dan tidak dihantui rasa khawatir untuk melanjutkan pendidikannya.
Baca Juga: Bias Gender dalam Buku Pelajaran Sekolah
Ketika perempuan melajang
Satu hal lagi yang juga sering saya jumpai di masyarakat adalah ketika perempuan melajang, memilih melanjutkan pendidikan, lalu menjadi wanita karier, masyarakat desa masih saja nyinyir dan terkadang menjadi provokator untuk keluarga si perempuan tersebut, yang akhirnya malah menimbulkan masalah di dalamnya. Padahal, jikapun perempuan memilih jalan tersebut, saya rasa pilihannya juga harus dihargai. Jadi, yuk kita hindari terlalu ikut campur dalam kehidupan orang lain karena kita tidak bisa memaksa orang lain untuk bertindak sesuai dengan ideologi kita.
Perlu digarisbawahi juga bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam merespons persepsi orang lain terhadap dirinya/kehidupannya. Daripada hanya menyalahkan orang lain karena baperan/suka memikirkan omongan orang lain, bukankah lebih baik jika kita menjaga sikap dan tutur kata terlebih dahulu? Sikap “terlalu akrab” tersebut malah akan menambah beban pikiran dan mengganggu kesehatan mental, lebih-lebih dapat menimbulkan masalah yang serius nantinya. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masing-masing dari kita hanya mengurusi diri sendiri dan memperbaiki diri. Banggalah kita sebagai perempuan yang berpendidikan di desa dan marilah berusaha melawan ketidak adilan yang merugikan perempuan!
Ditulis oleh Sibghatin Desi Maulida, mahasiswa semester akhir yang masih bertahan menjalani pembelajaran daring. Selama tinggal di rumah (desa), senantiasa mendapatkan perlakuan “terlalu akrab” dari orang sekitar. Namun, hal itu tidak mematahkan semangat untuk terus menuntut ilmu dan menjadi perempuan yang berpendidikan, berdaya, dan dihargai.
Comments
Post a Comment