Manusia lahir sudah harus menanggung stigma. Merah muda untuk perempuan, biru untuk laki-laki. Memasuki usia anak-anak, perempuan diajarkan untuk membantu mengurus rumah, sementara laki-laki bermain saja. Memasuki usia remaja, perempuan disuruh bersaing dengan perempuan lain, siapa yang lebih cantik, cerdas, dan menarik. Belum lagi dijejali stigma “wajar laki-laki tak rupawan berpasangan dengan perempuan rupawan” tapi kalau sebaliknya? Heboh bukan main.
Memasuki usia dewasa, perempuan dituntut jadi dewi. Selain harus bisa mengurusi diri sendiri, mengurusi rumah, mengurusi laki-laki, mengurusi anak, mengurusi mulut tetangga, kalau bisa tetap tampil cantik kapan pun dan di mana pun. Akan selalu ada pembanding. Usahanya seakan tak pernah cukup. Sementara laki-laki? Ya nggak apa-apa, namanya juga laki-laki.Stigma Anak Perempuan © Pixabay from Pexels
Bukankah kita sering melihat konten media sosial yang saling menjatuhkan sesama perempuan? Dialog seperti, “Jadilah cewek yang serbabisa, yang bisa diajak makan di pinggir jalan, tapi diajak ke kondangan juga nggak malu-maluin”, juga dialog bernada, “Percuma cantik kalau nggak pinter”. Konstruksi sosial yang terlanjur terbangun di masyarakat ini bak buah simalakama. Siapa yang bersuara diteriaki liberal dan menentang agama. Padahal seharusnya, di setiap negara hukum, kesetaraan hak tanpa diskriminasi gender adalah sebuah kewajiban. Pelanggengan konstruksi sosial ini diterapkan sejak seorang anak perempuan dilahirkan. Mungkin di setiap strata sosial berbeda kasusnya, tapi bukan berarti tidak terjadi.
Baca juga: Dikandung 9 Bulan, Apakah Anak Harus Mengabdi Selamanya?
Diskriminasi penggolongan warna, tugas, hingga pikiran anak
Diskriminasi terjadi ketika seseorang diperlakukan tidak adil atas siapa dirinya, bukan atas apa yang dilakukannya. Beberapa bulan lalu, saya menjenguk teman saya yang baru saja melahirkan. Baru saja menginjak ruang tengah, mata saya disuguhi oleh banyaknya kado dan barang-barang baru yang didominasi oleh warna biru. Tanpa harus bertanya jenis kelaminnya, sepertinya kita sudah bisa menebak apa jenis kelamin sang anak. Ya, seorang bayi laki-laki sehat yang menggemaskan.
Baca juga: Karena KB adalah Hak Segala Bangsa
Di lingkungan tempat saya bertumbuh, segala bentuk penggolongan terhadap anak terlihat normal hingga saya menyadari adanya diskriminasi gender yang membentuk anak menjadi saling menyerupai. Seorang anak perempuan yang sudah memasuki usia sekolah, diajari untuk menyapu, mencuci baju, mencuci piring, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bahkan ketika saya duduk di sekolah dasar, pembagian piket kelas selalu diatur atas golongan gender. Biasanya perempuan yang menyapu, sementara laki-laki membuang sampah. Seorang anak perempuan di kelas juga biasanya ditunjuk sebagai bendahara dan sekretaris, sementara laki-laki bisa jadi seksi keamanan.
Baca juga: Jalan Berliku Kaum Perempuan dalam Mengakses Kedamaian dan Keamanan
Lebih jauh lagi, aturan seragam sekolah juga menjerat anak perempuan yang diharuskan memakai rok. Penggolongan ini mengharuskan anak perempuan menjadi sosok yang rajin, pintar mengatur keuangan, teliti, hingga rapi dan supportive bagai sekretaris kantor. Sementara laki-laki diharuskan menjadi sosok yang kuat dan pemberani. Selain itu, pada masa keemasan anak, tidak jarang terlontar kalimat “anak laki-laki nggak boleh cengeng” dan “anak perempuan nggak boleh kasar” sehingga terbentuklah konstruksi feminitas dan maskulinitas sejak dini.
Akibatnya, terbentuklah pola pikir anak yang menormalisasi stigma yang tumbuh bersama dirinya. Stigma anak perempuan akan menjadi supporter dan anak laki-laki akan menjadi pemimpin. Padahal, setiap anak berbeda, ia memiliki hak untuk bertumbuh dan memilih.
Ditulis oleh Ulya Haul, perempuan dengan mimpi-mimpinya yang terlahir di keluarga guru. Ia menikmati perjalanan kariernya di bidang digital, serta merintis usaha fesyen dan kecantikan. Ia juga masih berupaya membangun ruang pengetahuan bagi (siapa pun yang merasa dirinya) perempuan dan akan senang untuk berkenalan lebih dekat denganmu melalui Instagram @ulyahaul atau email ulyacalling@gmail.com.
Comments
Post a Comment