Sebelum drama Korea se-booming sekarang, saya sudah cukup aktif menonton drama Korea di televisi. Selain karena kualitas pemainnya yang bagus, saya juga melihat perfilman Korea terus berkembang pesat dibandingkan pertama kali saya menonton Endless Love yang diperankan Song Hye Kyo dan Song Seung Heon pada awal 2000-an.
Drama Korea Selatan © Arina Krasnikova from Pexels |
Sementara itu, saya juga merasa serial drama Korea yang sudah saya sebutkan di atas masih terasa “kosong” dan monoton karena hampir seluruh adegan berisi dialog tanpa musik. Hebatnya, dengan adegan minim score saja penonton bisa dibuat tertawa dan menangis, apalagi kalau perfilman Korea sudah seperti sekarang.
Tidak butuh waktu lama bagi Korea Selatan untuk bisa membuat masyarakat Indonesia makin jatuh cinta dengan serial drama dan para pemainnya. Sejak kemunculan Jewel in the Palace pada 2003, Korea mulai menghadirkan serial-serial drama bernuansa kolosal dengan jalan cerita yang tidak melulu soal percintaan. Selain mengangkat tema sejarah dan kebudayaan, serial drama kolosal di Korea juga lekat dengan nilai-nilai ekonomi dan politis. Tengok saja, berapa banyak drama kolosal yang mengangkat isu tentang kemiskinan, korupsi, dan kekuasaan?
Bagi saya, ada hubungan erat antara model pembangunan ekonomi Korea pada saat itu dengan tema-tema yang diangkat dalam perfilman di negara Ginseng tersebut. Pasalnya, pada 2000-an, Korea mulai membangun kerja sama perdagangan dengan Korea Utara yang disebut Kebijakan Sinar Matahari. Pada saat yang sama, beberapa perusahaan besar di negara tersebut juga diprivatisasi secara penuh sehingga mampu berinvestasi di berbagai negara.
Dalam perkembangannya, Korea Selatan diketahui menggunakan model pembangunan ekonomi gabungan antara capitalistic market dengan capitalistic state yang berprinsip growth first, distribution second. Artinya, militer, BUMN, dan pihak swasta (chaebol) berkoalisi memobilisasi perkembangan ekonomi dengan menggabungkan ideologi anti-komunisme, nasionalisme, dan modernisasi.
Sejak saat itu, Korea Selatan mulai tinggal landas menjadi negara industri authoritarian developmentalism yang berhasil keluar dari kemiskinan dengan memberdayakan 1) pemimpin yang kuat dan melek ekonomi, 2) pembangunan sebagai cita-cita, ideologi, dan obsesi tertinggi nasional, 3) kelompok elit teknokrat untuk mendukung pemimpin dalam merancang dan melaksanakan kebijakan, serta 4) legitimasi politik yang berasal dari keberhasilan pembangunan.
Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang menjalankan model pembangunan dan prinsip ekonomi tersebut. Taiwan, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia juga melakukannya. Sayangnya, Filipina dan Indonesia gagal membawa kemajuan ekonomi bagi masing-masing warga negaranya.
Mimetik, namun tetap kritis
Meski terus mengampanyekan nasionalisme dengan mengangkat topik sejarah dan kebudayaan negaranya, dunia perfilman Korea Selatan tidak tinggal diam melihat berbagai isu sosial yang berkembang, baik secara lokal, nasional, maupun global. Dalam perfilman Korea Selatan, narasi yang dihadirkan tidak hanya bersifat mimetik, tapi juga kritis.
Sebagai contoh, bisa kita lihat bagaimana Korea Selatan merepresentasikan perempuan dan gender dalam film atau serial drama mereka. Pertama, perempuan hampir selalu menjadi tokoh utama dalam film atau serial drama Korea; baik itu drama kolosal maupun modern, baik itu protagonis maupun antagonis. Satu narasi yang pasti diingat para pecinta drakor adalah bagaimana perempuan sering kali menjadi pemegang keputusan tertinggi dalam sebuah kerajaan, perusahaan, bahkan keluarga. Di lain pihak, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok marginal yang harus menghadapi beragam tantangan dalam hidupnya, mulai dari diskriminasi, bias gender, sampai pelecehan seksual.
Ada relasi yang kuat antara perempuan dan kekuasaan dalam kedua representasi tersebut. Di satu pihak, perempuan dianggap memainkan peranan penting dalam pembangunan (yang direpresentasikan oleh kekuasaan). Namun, di lain pihak, perempuan juga sering kali menjadi manusia kelas dua yang harus menghadapi objektifikasi, diskriminasi, dan relasi kuasa yang bercokol dalam dunia patriarki.
Inilah yang tadi saya sebut mimetik, namun kritis. Di satu sisi, perfilman Korea Selatan cenderung merepresentasikan perempuan sesuai dengan realitas yang ada, namun juga menggambarkan sisi lain perempuan yang bertolak belakang sebagai bagian dari narasi kritis terhadap relasi kuasa dan konstruksi sosial yang ada.
Misalnya, banyak serial drama Korea yang menggambarkan perempuan sebagai sosok independen, berorientasi pada karier, dan dihormati oleh masyarakat. Pada kenyataannya, Korea Selatan masih menjadi negara dengan tingkat ketimpangan gender yang cukup tinggi. Misalnya, perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan hanya 55 persen perempuan berusia produktif yang berpartisipasi secara aktif dalam angkatan kerja, jika dibandingkan dengan 77 persen jumlah laki-laki yang berpartisipasi dalam angkatan kerja.
Selain menyoal ketimpangan gender dalam dunia kerja, dunia perfilman Korea Selatan juga kerap mengangkat isu kekerasan seksual dan kesehatan mental. Bukan tanpa alasan kedua tema tersebut terus dikampanyekan dalam dunia perfilman Korea Selatan. Pasalnya, tingkat kejahatan seksual di Korea Selatan terus meningkat dan banyak korban yang kemudian harus menghadapi isu kesehatan mental setelahnya. Itulah sebabnya, Human Right Watch (HRW) menyarankan agar pemerintah Korea Selatan (bahkan mungkin negara lainnya) perlu berbuat lebih banyak dalam meningkatkan hukuman bagi terpidana kasus kejahatan seksual, meningkatkan jumlah perempuan polisi, jaksa, dan hakim, serta mengampanyekan isu kesetaraan gender secara luas.
Menariknya, saya melihat bahwa narasi kritis yang dihadirkan dalam dunia perfilman Korea Selatan ini cenderung dilakukan secara bertahap, perlahan-lahan, sampai akhirnya menjadi masif. Narasi yang awalnya dilihat penonton hanya sebagai penokohan dan alur cerita, perlahan-lahan berubah menjadi kesadaran kritis terhadap kondisi sosial saat ini. Coba kita hitung, berapa banyak serial drama Korea yang mengangkat isu tentang perempuan, kesetaraan gender, dan kesehatan mental? Saya yakin, hampir tiap film atau serial drama Korea mengangkat salah satu atau bahkan ketiga narasi tersebut.
Mimesis dalam dua cermin
Melihat hubungan yang kuat antara kondisi masyarakat Korea Selatan dengan apa yang direpresentasikan dalam dunia perfilman mereka, saya jadi penasaran ingin melihat bagaimana Indonesia melakukan mimesis dalam dunia perfilman.
Jika Korea Selatan berhasil (menurut saya) menjadikan film sebagai media kampanye sosial bagi masyarakatnya, bahkan masyarakat global, maka saya melihat sebaliknya dari Indonesia. Meski film bertema perempuan dan kesetaraan gender sudah bermunculan, masih banyak film dan sinetron Indonesia yang justru melanggengkan nilai-nilai patriarki. Contonya, beberapa sinetron yang sampai saat ini masih tayang di televisi cenderung menghadirkan narasi perempuan penurut yang berada di bawah kendali laki-laki kasar.
Saya pernah mendengar obrolan netizen tentang bagaimana sinetron memengaruhi pola pikir masyarakat, juga sebaliknya, bagaimana kondisi sosial yang ada saat ini digambarkan secara utuh (bahkan cenderung berlebihan) di dalam dunia perfilman Indonesia.
Menggambarkan realitas yang ada dalam sebuah film atau sinetron tentu bukan suatu kesalahan. Tapi, menjadikannya sebagai satu-satunya narasi adalah langkah yang sama sekali tidak tepat karena narasi inilah yang kemudian akan berkembang menjadi mitos bagi para penontonnya. Mimesis yang hanya menonjolkan kenyataan tanpa memberikan pesan moral yang bersifat kritik membangun inilah yang menurut saya menjadi alasan kenapa Indonesia nggak maju-maju.
Bagaimana menurutmu?
Referensi
Aziz, Azwirda, dkk. (2017). Fase Ekonomi Korea Selatan Menuju Tinggal Landas dan Faktor-Faktor Pendukungnya.
Ohno, Kenichi. (2007). The East Asian Growth Regime and Political Development.
Comments
Post a Comment