Skip to main content

The Power of Walking: Tersesat di Jalan Kebenaran

Bagi sebagian orang, berjalan kaki mungkin merupakan aktivitas yang cukup melelahkan dan membosankan. Apalagi jika orang-orang tersebut memiliki waktu yang sangat sempit untuk mengejar sesuatu, bisa dipastikan bahwa mereka akan lebih memilih menggunakan kendaraan ketimbang berjalan kaki. 

Namun, bagi saya, berjalan kaki bukan hanya bergerak melangkahkan kaki dengan tujuan tertentu. Berjalan kaki adalah seni melepaskan emosi yang baru saya tahu ternyata juga memiliki banyak manfaat secara intelektual dan spiritual.

The Power of Walking

The Power of Walking © Andrea Piacquadio from Pexels

Ketika saya merasa marah dengan suatu keadaan atau emosi negatif lainnya, saya memilih untuk menghabiskan waktu dengan berjalan kaki tanpa tujuan ketimbang menghabiskan energi untuk memendam kemarahan dengan berdiam diri di rumah. Saat berjalan kaki melintasi suatu tempat, saya tidak hanya melihat bagaimana tempat itu berdiri, tapi juga merasakan bagaimana energi yang ada di sekitarnya. Begitu juga ketika saya bertemu dengan orang-orang baru di tengah perjalanan, saya merasa energi saya kembali pulih dan emosi negatif saya pun hilang seketika.

Apakah semua orang merasakan hal yang sama ketika berjalan kaki? Saya tidak tahu. Tapi, dari apa yang saya baca, ternyata cukup banyak manfaat yang bisa kita dapat dari berjalan kaki. Bahkan, saya sudah merasakan manfaat-manfaat tersebut jauh sebelum saya mengetahui faktanya.

Dalam artikel berjudul Why Walking Help Us Think yang dipublikasikan di The New Yorker,  Ferris Jabr menulis bahwa ketika kita berjalan-jalan, performa memori otak dan perhatian kita bekerja lebih baik; sel-sel otak kita membangun koneksi baru, mencegah terjadinya penurunan fungsi otak seiring bertambahnya usia; dapat secara aktif mengubah kecepatan berpikir kita; dan membuat kita lebih cermat dalam mengamati berbagai macam hal yang ditemui selama perjalanan. Inilah yang pada gilirannya mampu membantu menghasilkan ide-ide dan wawasan baru.

Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, William Wordsworth, dan Aristoteles adalah para pejalan obsesif yang menggunakan ritme berjalan untuk membantu mereka menghasilkan ide. Sementara semua bentuk olahraga telah terbukti mengaktifkan fungsi otak, berjalan kaki juga terbukti dapat mendorong kreativitas.

Berjalan tanpa tujuan, dengan tujuan

Hm, gimana sih katanya berjalan tanpa tujuan; tapi dengan tujuan? 

Ya, awalnya saya pikir memang ketika ingin melepaskan emosi negatif yang sedang saya rasakan, saya berjalan tanpa tujuan. Secara fisik, mungkin benar, saya berjalan tanpa tujuan. Ke mana saja deh yang penting jalan!

Tapi, setelah saya pikir lebih jauh, pada akhirnya saya memang berjalan kaki tanpa tujuan karena memiliki tujuan, yaitu melepaskan emosi negatif. Selain tujuan tersebut, di tengah perjalanan, kamu mungkin akan menemukan manfaat lain selain tujuanmu. Misalnya, beberapa manfaat “berjalan tanpa tujuan dengan tujuan” berikut ini.

1. Menemukan perspektif baru

Berjalan tanpa tujuan secara tidak langsung mendorong saya untuk mencermati bagaimana matahari bergerak, angin berhembus, dan pepohonan bergoyang selagi saya berjalan. Saat itulah, otak saya berpikir betapa luasnya alam semesta ini dan saya pun merasa ada momen kebahagiaan yang tidak bisa saya dapatkan dari sekadar berdiam diri di rumah. Dengan perspektif tersembunyi seperti ini, saya berhasil menemukan semangat baru untuk menjelajahi berbagai tempat lain yang belum pernah saya kunjungi.

2. Terhubung secara positif dengan orang lain

Ketika berpapasan dengan orang baru di tengah perjalanan, saya merasa ada energi baru yang terhubung ke dalam diri saya, sekalipun kami tidak mengobrol sedikit pun. Momen inilah yang membuat saya lebih dapat melihat hal-hal di depan saya dengan perspektif yang sama sekali berbeda. Misalnya, ketika saya melihat sepasang muda-mudi sedang asyik berkencan, saya tidak melihat mereka sebagai tabu yang perlu dihindari atau ditertawakan. Saya melihat adanya kesenangan dari tawa mereka dan rasa cinta yang ada di lubuk hati mereka.

3. Mendapat wawasan lain tentang makna hidup

Sering kali saya merasa lelah saat berjalan kaki, lalu memutuskan untuk rehat sejenak di lapak pedagang kaki lima. Pada saat itu, terjadilah komunikasi singkat antara saya dengan si penjual. Pembicaraan yang tadinya sebatas “Beli kopi 1” bergerak lebih dalam menjadi “Udah lama mangkal di sini, Pak?” yang kemudian berhasil membawa pembicaraan kami ke topik yang lebih dalam. 

Inilah momen yang paling saya suka dari berjalan tanpa tujuan: menemukan wawasan lain tentang makna hidup. Ketika saya menilai si penjual kopi sebagai orang yang terpaksa berjualan kaki di tengah teriknya matahari, lantas si penjual kopi dengan entengnya menjawab bahwa berjualan di tengah terik matahari adalah jalan kehidupan yang dia pilih untuk bersyukur pada Tuhan karena masih diberi rezeki untuk mencari nafkah atau sekadar bertegur sapa dengan sesama pedagang kaki lima lainnya.

4. Merasa lebih bersyukur dan bermakna

Dari perjalanan dan pembicaraan singkat dengan orang-orang asing inilah saya kemudian mendapatkan manfaat berjalan tanpa tujuan yang lebih besar ketimbang manfaat fisik lainnya. Saya merasa terhubung dengan alam dan orang-orang sekitar saya sehingga saya pun merasa lebih bersyukur dan bermakna. Bersyukur karena masih bisa berjalan kaki dan bermakna karena bisa bertemu dengan orang-orang baik seperti mereka.

5. Menemukan diri sendiri

Frederic dan Mary Ann Brussat dalam Spirituality and Practice menyebutkan bahwa berjalan telah memainkan peranan yang besar dalam kehidupan bakti orang-orang religius dari semua agama di dunia: doa dan latihan mantra sambil berjalan, ziarah ke tempat-tempat suci, berjalan di labirin, meditasi jalan, dan latihan spiritual informal.

Penelitian menunjukkan bahwa berjalan kaki dapat mencapai keadaan kesadaran yang sebanding dengan meditasi. Bahkan ketika kita tenggelam dalam pikiran saat berjalan, kita akan disadarkan untuk kembali ke momen “saat ini”. Dengan kata lain, berjalan tidak hanya menyadarkan kita tentang apa yang ada di luar diri, tapi juga apa yang ada di dalam diri.

Apakah kamu merasakan hal yang sama saat “berjalan tanpa tujuan dengan tujuan”? Share pengalamanmu di kolom komentar, ya.

Above all, do not lose your desire to walk. Every day, I walk myself into a state of well-being and walk away from every illness. I have walked myself into my best thoughts, and I know of no thought so burdensome that one cannot walk away from it. But by sitting still, and the more one sits still, the closer one comes to feeling ill. Thus if one just keeps on walking, everything will be alright.

― Søren Kierkegaard, Letter to Henrietta Lund, 1847

Comments

Bacaan Populer

Spiritual Awakening, Apakah Kamu Sedang Mengalaminya?

Bagi sebagian orang, istilah spiritual awakening mungkin terdengar asing. Tapi, bisa jadi mereka semua pernah atau bahkan sedang mengalaminya. Beberapa orang menyebutnya dengan istilah “pencerahan” atau “kebangkitan spiritual”, sebagian lagi menyebutnya “kesadaran spiritual”. Dalam tulisan ini, saya akan menyebutnya sebagai kesadaran spiritual karena bagi saya, setiap orang sudah mengalami perjalanan spiritual sejak lahir. Namun, tidak semua orang menyadarinya.  Sebagian orang mungkin akan merasakan kedamaian tersendiri saat mengalaminya, tapi ada juga sebagian orang yang justru merasakan hal-hal lain di luar kendali, seperti merasa ada yang berbeda dengan dirinya sendiri, kemelut pikiran dan hati, sampai merasakan adanya gangguan mental yang sering kali dianggap sebagai penyakit. Untuk lebih memahaminya, mari kita perjelas dulu batasan kesadaran spiritual ini! Spiritual Awakening © Retha Ferguson via Pexels Apa itu kesadaran spiritual? Ketika seseorang melalui kesadar...

Apakah Kamu Seorang Empath?

Pernah merasa cemas, sedih, atau marah tanpa sebab yang pasti? Atau bahkan merasakan gejala fisik yang kuat tanpa alasan logis? Mungkin, kamu adalah seorang empath. Sebelum mengenal diri saya sebagai empath, saya selalu merasa ada yang salah dengan diri saya. Terlebih, saya juga pernah disinyalir menderita kepribadian ganda di usia muda. Namun, pada saat itu, saya berpikir bahwa itu hanya sebagian kisah dari pencarian jati diri. Setelah berkelana sampai ke palung diri yang paling dalam dan bertemu sesama empath, saya pun sadar bahwa kami punya gift yang cukup unik dan mungkin tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sebelum mengenal diksi empath, saya lebih sering menyebut diri saya sebagai “energian”, yaitu orang yang punya sensitivitas tinggi terhadap energi. © Pixabay via Pexels Empath dan HSP Empath adalah orang yang sangat peka terhadap emosi orang-orang di sekitarnya sehingga merasakan emosi tersebut di dalam dirinya. Seorang empath cenderung melihat dunia secara berb...

Bukan Cuma Indigo yang Punya Sixth Sense

Beberapa kali saya tidak sengaja meramal kedatangan bencana atau kematian dan sering kali pula saya mengajukan pernyataan yang tepat saat pertama kali bertemu dengan orang-orang baru. Respon mereka rata-rata sama. Sama-sama bertanya, “Kamu indigo?” Padahal, tidak semua orang yang memiliki sixth sense atau indera keenam termasuk ke dalam kategori indigo. Ada juga beberapa jenis karakteristik jiwa yang dianugerahi kelebihan serupa. Nah, kalau kamu juga merasa atau sering disebut indigo, coba kenali karakteristikmu yang sesungguhnya. Apakah memang benar-benar indigo atau bukan.  © Pexels #1: Indigo Istilah anak indigo muncul pada era 1960-an dan 1970-an, periode revolusioner ketika terjadi perubahan dalam kesadaran dunia. Orang-orang indigo adalah orang yang tenang dan cinta damai. Mereka tidak menggunakan kekerasan untuk menaklukkan energi negatif, melainkan cahaya yang kemudian kita sebut aura. Mereka sangat sensitif baik secara emosional maupun lingkungan, serta dila...

Past Life Bukan Omong Kosong, Ini 11 Tanda Kamu Pernah Mengalaminya

Ketika kita memahami reinkarnasi sebagai pendewasaan atau evolusi energi jiwa, sebagian dari kita secara intuitif mengalami hal-hal yang berbeda dalam hidup yang mencerminkan usia energi yang dikenal sebagai jiwa.  Semakin kita dewasa, semakin kita berbakat dalam bidang kehidupan tertentu, maka semakin sering pula kita mengalami pengalaman kebangkitan spiritual. Berikut ini adalah beberapa tanda kalau kamu pernah bereinkarnasi. Past Life © Mike via Pexels #1: Mimpi berulang Mimpi adalah cerminan dari pikiran alam bawah sadar, sedangkan mimpi berulang-ulang kadang-kadang menandakan trauma, ketakutan, atau masalah yang sedang diproses oleh otak sebagai “urusan yang belum selesai”.  Mimpi berulang berpotensi menjadi refleksi dari pengalaman kehidupan masa lalu. Banyak orang mengklaim telah mengalami peristiwa tertentu, melihat orang tertentu, atau sering pergi ke tempat-tempat tertentu dalam mimpi mereka yang terasa sangat familiar.  Misalnya, saya sering kali...

Dalam Penciptaan Hawa, Tuhan Tak Patriarkis

Baru-baru ini, teman baik saya mengirimkan thread Twitter soal Hawa yang mendorong saya untuk kemudian mengenal perempuan pertama di muka bumi ini secara lebih dekat.  Sebagian dari kita mungkin sudah mendengar kisah bagaimana Adam diciptakan dan diperkenalkan kepada makhluk Tuhan lainnya semasa di surga. Bahkan, beberapa literatur menyebutkan bahwa Adam hidup sampai 930 tahun. Lalu, bagaimana dengan Hawa? Bagaimana ia diciptakan, diturunkan ke bumi, sampai akhirnya melahirkan manusia-manusia lainnya di muka bumi ini? © Luis Quintero from Pexels Benarkah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam? Menurut tradisi Yahudi , Adam dikecam sebelum dia dipertemukan dengan Hawa. Dalam buku abad pertengahan yang berjudul The Alphabet of Ben-Sira, disebutkan bahwa istri pertama Adam adalah Lilith yang marah dan kemudian bersekutu dengan setan sehingga Tuhan mengecamnya dan menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Konsep inilah yang kemudian mengonstruksi anggapan bahwa Hawa (perempu...